Ini tentang TIGA TRILIUN...
yang dipermainkan oleh DIMITRY SACHA MYKAELENKO, hanya demi satu tujuan:
menjebak gadis yang sejak kecil selalu menghantui pikirannya.
Dialah Brea Celestine Simamora—putri Letkol Gerung Simamora, seorang TNI koplak tapi legendaris.
Pak Tua itulah yang pernah menyelamatkan Dimitry kecil, saat ia bersembunyi di Aceh, di tengah api konflik berdarah.
Kenapa Dimitry sembunyi? Karena dialah
pewaris Mykaelenko—BRATVA kelas dunia
Kepala kecilnya pernah di bandrol selangit, sebab nama Mykaelenko bukan sekadar harta.
Mereka menguasai peredaran berlian: mata uang para raja, juga obsesi para penjahat.
Sialnya, pewaris absurd itu jatuh cinta secara brutal. Entah karena pembangkangan Brea semakin liar, atau karena ulah ayah si gadis—yang berhasil 'MENGKOPLAKI' hidup Dimitry.
Dan demi cinta itu… Dimitry rela menyamar jadi BENCONG, menjerat Brea dalam permainan maut.
WARNING! ⚠️
"Isi cerita murni fiksi. Tangung sendiri Resiko KRAM karena tertawa"
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Yuni_Hasibuan, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Jadi Gembel Demi Misi? Sudah biasa.
***
“Udah, gak usah sok formal gitu. Kalian pikir ini era kerajaan Joseon?”
Kim Jun cuma bisa nunduk, kasih isyarat minta maaf. Tapi Dimitry nggak peduli.
"Terus, kenapa berdua? Biasanya cuma sendiri?" Tanya Dimitry sekali lagi.
"Lengkapnya ber-tujuh Tuan. Keluarga besar memutuskan untuk menambah personel. Karena ancaman terlalu besar, terlalu berbahaya untuk anda. Mereka bahkan berharap, anda bersedia pulang ke sana, Tuan." Jawab Kim Jun.
“Pulang? Ke Rusia? Jangan mimpi! Di sini rumahku. Di sana? Aku bukan siapa-siapa. Dan mereka juga nggak punya hak minta kembali sesuatu yang udah pernah mereka buang.”
Nada Dimitry keras, tapi lelah. Ada luka lama di balik kata-katanya.
“Kalau begitu, kami asumsikan Anda setuju soal peningkatan pengamanan?”
“Terserah. Yang penting tetap tak terlihat. Jangan bikin kehebohan lagi seperti hari ini. Kalian lancang beran muncul sambil bikin rusuh.”
“On it, Tuan.” Sahut keduanya serempak.
"Lalu siapa target kalian hari ini?" Tanya Dimitry tiba-tiba.
Kim Jun Hwan agak kaget mendengar pertanyaan,,, setahunnya berdasarkan laporan, Dimitry paling malas berurusan dengan segala urusan pengawalan. Dia nggak peduli.
"Kenapa tuan bertanya?"
"Aku cuma mau tau seperti apa wajah musuhku. Jadi, kalau pun aku mati, aku gak akan mati penasaran." Ucap Dimitry datar.
“Mereka tidak akan bisa menyentuh Anda. Selama kami masih hidup.”
Kim Jun menjawab mantap, nyaris seperti janji suci.
“Jangan Takabur. Pernah dengar kata itu, kan? Takdir bukan di tangan kalian.”
“Kami hanya berusaha sekuat mungkin.”
Yang menjawab sekarang ini bukan Kim Jun, tapi Yannick. Bule itu ternyata ngerti Bahasa Indonesia juga.
“Jadi... siapa dia? Orang yang pengin aku mati saat ini?”
Yannick menatap lurus ke arah Dimitry, lalu berkata pelan.
“Namanya Renggo. Dia lebih buruk daripada kabar kematian,, dia menikmati menyiksa target, sampai mereka sendiri berharap mati.”
Dimitry hanya mengangguk kecil.
“Owhh, orang sakit ternyata.”
Tanpa ekspresi. Seolah kabar itu cuma sebutir pasir lain dalam hidupnya yang sudah terlalu penuh debu.
Tiba-tiba ponselnya berbunyi. Nama Raffael muncul di layar.
“Dede, di depan rumahmu ada bapak-bapak norak lagi nyamar jadi gembel. Tanya tuh, ke antek-antek ayahmu, itu orangnya mereka apa bukan? Kalau bukan, sekalian ku ringkus bawa ke kantor polisi.”
Dimitry melirik ke arah dua orang pengawalnya. Keduanya langsung menggeleng pelan. Menjelaskan 'Bukan bagian dari mereka.'
Dimitry berdiri pelan. Awalnya cuma diam di tempat, mikir.
Lalu langkahnya mengarah ke jendela.
Iseng. Tapi ada rasa penasaran juga.
Dan...
Begitu matanya nyangkut ke sosok yang lagi duduk di seberang jalan, pakai jaket buluk, topi butut, duduk nunduk seperti ngemis tapi auranya seperti mau nyulik presiden...
Muka Dimitry langsung nge-freeze.
Matanya membesar. Nafasnya mandeg sepersekian detik.
“Gila... itu dia?”
Jantungnya langsung sprint.
Ada rindu. Ada heran. Ada marah. Ada pengin lempar sendal juga.
Campur aduk rasa pokoknya. Seolah otaknya baru aja dilempar ke dalam blender.
“Dede? Kok diam? Orang itu bukan suruhan ayahmu ya? Tak tangkap aja sekalian?” Tanya Raffael heran.
“Coba aja tangkap. Tapi jangan nangis kalau kamu dikurung di penjara militer.”
Suara Dimitry terdengar ringan. Tapi senyumnya... bukan senyum biasa.
“HOLY SHIT!!”
Raffael langsung teriak panik dari seberang telepon.
“Jadi dia LEBIH BAHAYA dari antek-antek ayahmu?! Sudah ya, aku pergi dulu. BYE!!”
Klik.
Telepon di putus, Raffael langsung cabut gak pakek mikir dua kali.
"Siapa dia, Tuan? Saya asumsikan... Anda pasti kenal?" tanya Yannick, bingung saat melihat ekspresi Dimitry berubah-ubah — padahal sedari tadi, muka Dimitry selalu datar.
"Udah, jangan banyak tanya. Cepat enyah. Dia itu hadiah dari Tuhan, karena seminggu ini aku sudah jadi anak baik," gumam Dimitry, matanya tak lepas menatap sosok pengemis gadungan di luar pagar.
Prajurit-prajurit elit yang ditugaskan ayah Dimitry segera menghilang tanpa suara, seolah tau diri.
Sementara Dimitry buru-buru ngaca. Rambut? Oke. Wajah? Aman. Bau mulut? Dicek pakai tangan. Siap!
Dia mood banget ingin menemui sosok pengemis yang terhormat.
Sementara di luar pagar, yang di kira Rafael adalah sang "pengemis" ternyata adalah Letkol Gerung Simamora.
"Woy, tolong pastikan lagi deh! Masa iya, lokasi GPS terakhir anak itu ada di sini? Yang betul aja kalian!" bentaknya pada seseorang di seberang telepon, yang lagi diminta melacak GPS seseorang.
Yup, Pak Mora sedang dalam misi rahasia. Mencari salah satu saksi kasus yang menghilang. Terus, kenapa harus Pak Mora yang Tentara itu yang cari? Bukannya mencari orang ilang itu tugas Polisi?
Maaf ya sayang... 'saksi' yang satu ini jelas beda. karena kasusnya sendiri masih dalam Yurisdiksi dan terkait dengan militer.
"Pak, kami sudah cek berkali-kali. Ponselnya Mas Nathan masih aktif di situ. Titiknya nggak bergerak dari setengah jam lalu. Dia masih di dalam," jelas suara di seberang, pelan tapi pasti.
Pak Simamora telan ludah kasar. Tatapannya menyapu habis rumah terlewat megah itu. Dalam hati berkata, 'Tapi kek nya mustahil Nathan punya koneksi dengan pemilik bangunan sebesar ini?'
"Kalian tau ini rumah siapa?" tanyanya curiga.
Yang di seberang sempat diam, lalu akhirnya buka suara.
"Ehm... rumah Dimitry Sacha Tobingga, Pak. Yang artis itu. Selebriti top."
Pak Simamora auto mencak-mencak.
"Lah terus, kalian tau itu rumah artis kondang? Tapi malah bilang Nathan ada di situ? Jangan mengada-ada, lah? Jauh kali latarbelakang mereka berdua."
"Kami nggak berani ngada-ada, Pak. karena... teknologi gak bisa bohong. Sekarang giliran Bapak sendiri yang pastikan keberadaanya," jawab suara itu, masih tenang.
Pak Simamora tarik napas. Logikanya bilang semua ini absurd.
Tapi karena kasus ini akan terhambat kalau saksi nggak ketemu, Pak Simamora gak bisa ragu terlalu lama. Ia matikan telepon, lalu pelan-pelan buka pintu pagar dan mulai menyusup masuk sambil mengamati rumah besar itu dengan mata waspada — layaknya pasukan intai lagi turun gunung.
Sayangnya, misi penyusupan itu gagal total.
Karena belum sempat ngintip-ngintip lebih jauh, pintu utama rumah justru sudah terbuka duluan.
Dan di sana, berdiri Dimitry... lengkap dengan senyum manis yang terlalu ramah untuk situasi genting kayak gini.
"Selamat pagi, Pak Letkol Gerung Simamora," ucap Dimitry ringan, seolah menyambut tamu kehormatan.
Pak Simamora langsung nge-freeze. Kaget, kagok, sekaligus jengkel karena strategi penyergapannya bubar jalan bahkan sebelum mulai.
"Pa… pa… pagi. Kau kenal aku?" tanyanya kaku. Niatnya sih mau jadi aktor galak, tapi senyum Dimitry yang kayak model iklan pasta gigi itu malah bikin gugup sendiri.
***