"Karena sudah terlanjur. Bagaimana jika menambah bumbu di atas omong kosong itu?"
Asha menatap Abiyan, mencoba mengulik maksud dari lawan bicaranya. Kedua mata Asha bertemu dengan milik Abiyan, ada sirat semangat yang tergambar di sana.
"Menikahlah denganku, Ash!"
Asha seorang wanita yang hidup sebatang kara menginginkan pernikahan yang bahagia demi mewujudkan mimpinya membangun keluarganya sendiri. Namun, tiga hari sebelum pernikahannya Asha diberi pilihan untuk mengganti mempelai prianya.
Abiyan dengan sukarela menawarkan diri untuk menggantikan posisi Zaky. Akankah Asha menerima ide gila itu? Ataukah ia tetap memilih Zaky dan melajutkan pernikahannya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Cha Aiyyu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 6
"Hai." Asha mengangkat tangannya yang terbalut sarung tangan hitam.
Senyum hangat yang selalu ia tunjukkan pada pria yang sama, namun binar penuh cinta yang biasanya tergambar jelas di matanya kini tidak ada di sana. Matanya seolah kosong, tidak antusias sama sekali dan senyumnya hanya sebatas formalitas, atau keharusan yang ia paksakan.
Mata Zaky membelalak. Pria itu syok, dugaannya benar wanita yang sempat menarik perhatiannya adalah Asha. Selain itu, ia juga heran dengan penampilan dan yang paling membuatnya terkejut adalah rambut Asha.
"Kamu memotong rambutmu?"
Namun alih-alih menjawab Asha memilih kembali berseluncur mengangkat sebelah kakinya tinggi-tinggi lalu berputar di atas es. Zaky terpaku di tempat, ia merasa Dejavu. Dalam ingatannya ada seseorang yang pernah melakukan hal yang sama, kenangan itu begitu membekas di hatinya. Namun wajah orang itu samar, Zaky tidak begitu bisa mengenalnya.
Zaky mengikuti Asha, ia meluncur perlahan. Hanya bergerak mengikuti Asha dengan jarak yang tidak terlalu dekat. Asha melihat itu, ya— dari posisinya saat ia berputar, Asha bisa melihat dengan jelas di mana Zaky berada.
Beberapa kali Asha memutari arena ice skating dan di belakangnya Zaky masih mengikuti Asha dengan jarak yang sama. Tidak menjauh maupun mendekat. Asha perlahan berhenti, dan keluar dari arena. Zaky masih mengikuti Asha tanpa protes seperti yang biasa ia lakukan selama menjalin hubungan. Asha tahu betul pria itu sedang menahan diri.
"Kamu tahu, mengapa aku memintamu bertemu di sini?"
Zaky menggeleng, pertanyaan Asha mewakili apa yang sejak tadi dipikirkannya. Zaky diam menunggu Asha berbicara.
"Dari tempat ini aku memulai rasa cintaku padamu."
Zaky mengangkat sebelah alisnya, dahinya mengerutkan. Pria itu mencoba mengingat kembali momen-momen yang telah terlewati, jauh ke belakang hingga pertemuan pertamanya bersama Asha. Dalam ingatannya sama sekali tidak muncul momen kebersamaannya dengan Asha di tempat ini.
Zaky membuka mulut namun tidak sepatah kata pun keluar dari mulutnya. Asha lebih dulu berbicara. "Aku tahu kamu tidak akan menemukan aku dalam ingatanmu di sini. Tapi—" Asha mendongak, menatap dengan sendu yang samar di wajahnya.
"Kita pernah bertemu, jauh sebelum pertemuan pertama yang ada dalam ingatanmu."
Dahi Zaky semakin mengerut. Pria itu bahkan melupakan tujuannya. Ia lebih banyak diam sejak datang. Dan kini pria itu hanya menunggu Asha kembali berbicara dengan tenang, seolah berperan sebagai pria pengertian pada wanitanya.
Asha tersenyum kecut, ia tidak tahu bagaimana sosok Zaky yang sebenarnya. Pria pengertian yang selalu ditunjukkan di hadapan Asha atau pria penuh semangat saat bersama Rhea seperti yang Asha lihat malam itu, ataukah hanya seorang pria brengsek yang bermuka dua.
"Sudah sangat lama. Namun bagiku, kenangan itu sama sekali tidak memudar. Saat itu perasaanku berdebar penuh semangat. Kepalaku di penuhi dengan sosokmu. Apakah kita akan bertemu lagi, apakah kamu mungkin merasakan hal yang sama? Pertanyaan-pertanyaan seperti itu terus terulang dalam kepalaku. Aku selalu bersemangat saat datang ke sini. Berharap kita akan bertemu lagi. Sampai akhirnya kita bertemu lagi di momen yang lain. Jantungku berdebar kencang sekali saat itu, aku sangat senang." Asha menjeda kalimatnya sebentar, ia lalu menatap pada Zaky yang mengulas senyum. Entah apa maksud senyum itu?
"Dan kamu tahu kali ini pun aku masih berdebar."
Senyum Zaky semakin mengembang, bahkan sebagian dari giginya yang putih terlihat.
"Jika dulu di tempat ini aku berdebar karenamu, rasa cintaku tumbuh untukmu. Kali ini aku berdebar karena ingin mengakhiri itu semua. Aku akan menyerah pada cinta itu." Kali ini Asha mengulas senyum. Senyuman lebar yang sengaja ia buat meski sangat sulit.
Senyum Zaky luntur, wajahnya kembali mengerut. "Apa maksudmu?"
"Mari akhiri hubungan kita. Pernikahan itu aku tidak menginginkannya lagi," jelas Asha mantap.
"Jangan bercanda, Ash. Aku tahu kamu kecewa, hanya karena aku terlambat menjemputmu— "
Belum selesai Zaky berbicara Asha lebih dulu menyela. "Terlambat?" Alis Asha terangkat sebelah. Zaky sadar ia salah merangkai kata lalu buru-buru meralat kalimatnya.
"Maaf, bukan hanya terlambat tapi aku sangat terlambat menjemputnya. Aku minta maaf untuk itu. Tapi, ayolah pernikahan kita hanya tinggal menghitung hari. Jangan bercanda untuk itu!"
Asha menaikkan satu oktaf suaranya. "Aku bercanda. Aku membatalkan pernikahan hanya karena itu. Coba tanyakan pada dirimu, bukankah kamu juga tidak menginginkan pernikahan ini?"
Zaky terdiam, pertanyaan Asha memang benar. Namun, ia tidak bisa mengatakannya. Tujuannya menemui Asha adalah untuk membujuknya agar melanjutkan pernikahan mereka. Ia tidak mungkin mengangguk dan mengatakan jika ia memang tidak menginginkan pernikahan itu.
"Sudahlah! Kita sama-sama tidak menginginkannya. Jadi aku tidak akan mengubah keputusanku."
"Tapi, Ash. Ibuku sangat menginginkanmu menjadi menantunya. Beliau sangat berharap pada pernikahan kita. Dan—"
"Soal itu. Kamu urus saja sendiri, yang jelas keputusanku tidak akan berubah."
"Tapi ... "
"Jika yang kamu khawatirkan perihal perusahaan. Jangan khawatir! Aku tidak akan ikut campur dalam hal itu. Kamu dan keluargamu yang lebih tahu tentang perusahaan. Kalian bisa menjalankannya seperti biasa."
Zaky cukup puas mendengar jawaban Asha, namun egonya masih menguasai. Ia perlu dalih kuat untuk memberi jawaban pada ibunya. "Setidaknya jelaskan alasannya!"
"Kamu yang paling tahu soal ini, bukan?" Zaky mengerut, ia tidak paham dengan maksud Asha. Namun alih-alih menjelaskan Asha hanya tersenyum kecut dan melempar pertanyaan lain. "Memaksakan sesuatu yang tidak diinginkan itu sangat tidak nyaman, bukan?"
Zaky tidak menjawab pertanyaan Asha. Tangannya masih menggenggam sarung tangan yang tadi sempat ia lepas. Matanya kosong ... terpaku pada sosok di hadapannya— Asha.
Kalimat itu biasa saja, pelan tanpa nada yang menuntut, sederhana namun bagi Zaky seolah itu adalah tamparan paling halus yang pernah ia terima. Tamparan yang membuatnya tersadar dan mengingat berbagai macam momen kenangannya bersama Asha.
Sesuatu diam-diam meremas hatinya. Namun, itu apa Zaky sedikitpun tidak yakin dengan perasaannya. Ia hanya merasa setuju dengan apa yang tadi sempat dilontarkan oleh Asha.
Zaky masih mematung, entah merenungi kalimat Asha atau mungkin pria itu kesal. Tidak ada yang tahu apa yang membuatnya menutup mulut rapat-rapat, tidak membiarkan kalimat setuju yang sejak tadi menari-nari di pangkal lidahnya untuk lolos dari mulutnya.
Ia kembali tersadar ketika Asha sudah sangat jauh melangkah, meninggalkannya yang masih berdiam. Wanita itu melangkah tanpa menoleh. Wanita itu benar-benar kokoh dalam pendiriannya. Itu baik baginya yang juga tidak menginginkan ikatan pernikahan, namun bukan hal baik untuk ibunya.
Zaky membuang napasnya kasar, mengacak rambutnya yang tersisir rapi. Ia tahu, merayu Asha jelas tidak akan membawa hasil yang baik. Kalimat terakhir Asha menyentil hatinya namun mengakui hal itu membuatnya merasa kalah. Dan Zaky tidak suka itu.
Zaky berjalan cepat ia berniat menyusul sosok Asha yang hanya terlihat punggungnya saja. Ia bahkan sampai setengah berlari.
Namun, tunggu! Asha masuk ke dalam mobil. Mobil siapa itu? Lalu siapa pria di balik kemudi itu?