Yang sudah baca novelku sebelumnya, ini kelanjutan cerita Brayn dan Alina.
Setelah menikah, Brayn baru mengetahui kalau ternyata Alina menderita sebuah penyakit yang cukup serius dan mengancam jiwa.
Akankah mereka mampu melewati ujian berat itu?
Yuk baca kelanjutan ceritanya 😊
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon omen_getih72, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 6
Malam pertama pernikahan Brayn menginap di rumah mertua.
Setelah makan malam ia mengobrol dengan Bagas sambil menonton sepak bola sampai mendekati pukul sebelas malam.
Sementara Alina sudah masuk ke kamar setelah makan malam.
Bagas seperti seorang ayah yang posesif. Ia bahkan tidak memberi ruang bagi Brayn untuk masuk kamar, seolah tidak rela jika keperawanan putrinya direnggut oleh sang menantu.
Sambil sesekali melihat tayangan televisi dan memberi sedikit komentar tentang permainan di lapangan, Brayn meraih ponsel. Mengetikkan pesan.
"Khumayra ... tidur belum?"
Beberapa menit menunggu, pesan akhirnya dibalas.
"Baru mau tidur."
"Tunggu sebentar, ya. Ayah kamu tidak membiarkan aku masuk kamar. Ada yang mau aku bicarakan berdua dengan kamu," balas Brayn.
"Aku mau tidur! Ngantuk! Besok saja."
Brayn mendesahkan napas panjang saat membaca pesan balasan dari istrinya.
Memainkan ponsel sambil menopang dagu. Mau langsung meninggalkan sang mertua juga tidak enak. Takut dianggap tidak sopan.
"Ya ampun, kalian masih nonton?" Maya menaikkan alisnya saat melihat suami dan menantunya masih duduk di ruang keluarga.
"Tanggung, lagi seru-serunya. Iya, kan, Bro?" ucap Bagas menepuk bahu Brayn.
Brayn hanya mengulas senyum, lalu menatap Maya dengan senyum kecut, seperti memberi sebuah isyarat.
"Tidak lelah kamu, Nak?" Maya menatap menantunya. "Mas, pengantin itu pasti lelah, butuh istirahat. Malah diajak nonton bola sampai malam begini."
"Loh, kan si Bro sendiri yang mau. Kamu tidak akan mengerti soal beginian," sahut Bagas tak terima.
Padahal faktanya, memang ia yang menahan Brayn dan memintanya tetap duduk bersamanya.
Paham situasi, Brayn sengaja menguap lebar-lebar di hadapan Maya. Bagas sempat menginjak kakinya di lantai.
"Tuh, kan. Brayn sudah lelah dan ngantuk! Jangan dengar Ayah, Brayn. Sana masuk kamar, istirahat!" ucap sang ibu mertua sambil menepuk bahunya.
"Terima kasih, Bu."
Tak menyia-nyiakan kesempatan Brayn langsung berdiri meninggalkan kursi yang sudah panas ia duduki. Tersenyum ke arah Bagas.
"Ayah, duluan, ya. Jangan terlalu banyak begadang, tidak baik untuk kesehatan."
Tak ada sahutan dari Bagas selain menatap lelaki yang sedang berjalan ke arah tangga menuju lantai atas. Kemudian melirik istrinya dengan mimik kesal. Menggaruk kepala.
Sedangkan Maya hanya tersenyum.
"Ayo tidur. sudah malam. Ingat, terlalu banyak begadang tidak baik untuk kesehatan!" ucapnya menirukan pesan Brayn.
Sementara Brayn terdiam sejenak menatap pintu kamar istrinya yang tertutup rapat.
Maju perlahan dan mengetuk pintu pelan.
"Assalamu'alaikum, Khumayra ... aku masuk, ya."
Tak ada sahutan, membuat Brayn memutar gagang pintu dan menengok masuk.
Alina tampak berbaring di tempat tidur dalam balutan selimut. Hanya kepalanya yang terlihat dari sana.
Brayn mendekat dan duduk di tepi pembaringan. Menyibak selimut hingga menampakkan wajah istrinya. Mengulas senyum, ia belai rambut halus sang wanita.
Membungkukkan kepala dan meniupkan sebaris doa di ubun-ubunnya. Karena Alina begitu lelap, sekalian saja ia cium kening.
"Masya Allah cantiknya ...."
Memeluk, mencium pipi dan ujung hidung sekali lagi. Matanya mengembun menatap wajah yang terlelap itu.
"Khumayrah-ku ... wanita kesayanganku...."
**
**
Jika Brayn sedang berbunga-bunga, berbeda dengan sang ayah mertua yang tampak sibuk.
Sudah 15 menit ia berjalan mondar-mandir di depan pintu kamar putrinya.
Ingin mengetuk pintu, namun urung. Pada akhirnya kembali berjalan mondar-mandir dengan gelisah.
Sebuah sikap aneh dan berlebihan yang membuat Maya geleng-geleng kepala. Bagas bahkan berdiri kokoh di ambang pintu.
"Mau menginap di depan kamar pengantin baru?" Maya mendekati suaminya dengan melayangkan tatapan penuh selidik.
"Maya... sepertinya aku tidak siap."
"Tidak siap apa?" Sudut mata wanita itu kembali menyipit.
"Putriku satu-satunya di dalam kamar berduaan dengan laki-laki. Aku belum rela."
"Astaghfirullah!" Maya mencubit lengan suaminya keras-keras. "Yang di dalam sama anak kamu itu suaminya sendiri, Mas!"
"Aku tahu, tapi kenapa aku merasa anakku akan diterkam harimau buas?"
"Harimau apanya? Itu suaminya, Ya Allah ...," balas Maya mulai frustrasi dengan tingkah ayah posesif itu.
Selama ini Bagas memang sangat berlebihan dalam menjaga Alina.
Lelaki mana pun yang mendekati putrinya akan berhadapan dengannya.
"Sebentar, aku mau di sini dulu mengawasi." Bagas hendak mendekat untuk mengetuk pintu, namun Maya menarik lengannya.
"Jangan bikin malu! Kamu memang Ayahnya, tapi anak kamu sudah jadi hak suaminya."
"Jangan malam ini lah, kasihan Alina."
"Brayn itu dokter. Dia tahu Alina bisa atau tidak memenuhi kewajibannya sebagai istri."
"Kalau sudah berduaan mana dia peduli, sih?"
Maya menepuk dahi. "Ya Allah, Bapak satu ini," ucapnya gemas, lalu menarik lengan suaminya untuk kembali ke kamar mereka yang berada di lantai bawah.
"Aku mau nginap di depan kamar Alina saja! Takut Alina kenapa-kenapa."
Bagas melirik ke kamar lagi. Saat lampu utama kamar itu padam dan berganti lampu tidur yang temaram, ia semakin gelisah.
Mau diapakan Alina oleh Brayn?
"Tuh, kan ... si Bro mau apa matiin lampu?"
"Suka-suka mereka mau matiin lampu kapan saja. Ayo, tidur!" Maya menarik lengan suaminya.
**
**
Alina membuka mata secara perlahan, kemudian melirik arah jarum jam yang sudah menunjuk pukul sebelas malam.
Ia mengubah posisi tidur menyamping dan menyibak selimut, matanya tertuju pada pintu kamar mandi yang terbuka.
Brayn muncul di sana dengan hanya memakai handuk melilit pinggang, sama persis seperti yang ia lihat di hotel saat salah masuk kamar di pernikahan Rafa dan Mia bulan lalu.
Brayn pun menoleh dan tersenyum saat menyadari istrinya sudah terbangun.
Ia mendekat ke arah tempat tidur, membuat Alina memasang sikap waspada dan memeluk bantal di dadanya.
"Mau apa? Kamu sudah janji tidak akan sentuh aku sampai diizinkan," ucapnya dengan suara serak bercampur sisa kantuk.
Brayn malah tersenyum gemas. Apalagi saat melihat rambut panjang Alina yang sedikit berantakan dengan wajah polosnya. Justru terlihat semakin imut dan manis di mata Brayn.
"Bukan itu. Aku mau ajak kamu shalat bersama."
"Apa?" Alina masih memeluk bantal.
"Shalat bareng, Khumayrah."
Alina menunduk mendengar panggilan manis yang disematkan Brayn untuknya.
Beruntung hanya lampu tidur yang menyala sehingga pencahayaan kamar itu temaram. Jika tidak, rona merah wajahnya pasti akan terlihat jelas.
Terlebih, nada lelaki itu terdengar sangat lembut saat berbicara dengannya.
Berbeda dengan sebelum menikah di mana sang dokter terkesan lebih galak.
Brayn mengeluarkan sebuah kotak yang sudah dipersiapkan sebelumnya.
Ada mukena dan alquran yang sengaja ia beli sebagai hadiah pertama untuk istrinya di malam pernikahan mereka.
"Tadi sore sudah mandi, kan?"
"Sudah."
"Kalau gitu wudhu dulu, terus shalat bareng."
Menahan kantuk, Alina menyibak selimut. Menurunkan kedua kakinya ke lantai dan berjalan menuju kamar mandi.
Saat hendak membuka pintu, kepalanya tiba-tiba pusing, lalu disusul dengan tubuh yang mendadak lemas.
Ia hampir terjatuh, namun Brayn bergerak lebih cepat menangkap tubuhnya, sehingga Alina tak terjatuh ke lantai.
Pada saat yang lain terselamatkan justru hal lainnya tak mampu bertahan.
Handuk yang semula melingkar di pinggang lelaki itu pun melorot ke bawah.
"Aaa!" jerit Alina sambil menutup wajah dengan kedua tangan.
*********
*********
up lagi thor