NovelToon NovelToon
Rush Wedding

Rush Wedding

Status: sedang berlangsung
Genre:Nikahmuda / Anak Yatim Piatu / Pernikahan Kilat / Kehidupan di Sekolah/Kampus / Dijodohkan Orang Tua / Slice of Life
Popularitas:3.2k
Nilai: 5
Nama Author:

Sebuah kecelakaan beruntun merenggut nyawa Erna dan membuat Dimas terbaring lemah di ruang ICU. Di detik-detik terakhir hidupnya, Dimas hanya sempat berpesan: "Tolong jaga putri saya..." Reza Naradipta, yang dihantui rasa bersalah karena terlibat dalam tragedi itu, bertekad menebus dosanya dengan cara yang tak terduga-menjodohkan Tessa, putri semata wayang Dimas, dengan putra sulungnya, Rajata. Namun Rajata menolak. Hatinya sudah dimiliki Liora, perempuan yang ia cintai sepenuh jiwa. Tapi ketika penyakit jantung Reza kambuh akibat penolakannya, Rajata tak punya pilihan selain menyerah pada perjodohan itu. Tessa pun terperangkap dalam pernikahan yang tak pernah ia inginkan. Ia hanya ingin hidup tenang, tanpa harus menjadi beban orang lain. Namun takdir justru menjerat mereka dalam ikatan yang penuh luka. Bisakah Tesha bertahan di antara dinginnya penolakan? Dan mungkinkah kebencian perlahan berubah menjadi cinta?

Drama baru

Pagi itu, Tessa terbangun dengan kepala yang masih berat setelah semalaman menangis.

Bayangan Rajata yang menciumnya dengan kasar kembali menyeruak. Dadanya sesak—marah dan takut bercampur jadi satu.

"Huh... harusnya gue tampar aja dia semalam," gumam Tessa pelan. Ia menghela napas panjang, lalu turun dari ranjang. Dengan langkah gontai, ia menuju dapur, berniat membuat sesuatu untuk memperbaiki mood-nya pagi ini.

Namun begitu membuka pintu kamar, langkahnya terhenti. Matanya membelalak melihat Rajata telungkup di sofa, masih tertidur lelap.

"Bukannya semalam udah gue usir? Ngapain sih masih di sini?!" desis Tessa, kesal sekaligus heran.

Ia memilih tak mau ambil pusing, apalagi repot-repot membangunkan Rajata. Baginya, sekarang Rajata adalah orang yang harus dihindari. Ia tak ingin kejadian semalam terulang lagi.

"Senggaknya kalau mau ciuman, minimal saling cinta dulu, kan..." pikir Tessa. Ia langsung menggeleng cepat. "Eh, mikir apa sih gue?!" desisnya pada diri sendiri, lalu berlalu ke dapur, mencoba menenangkan pikiran yang masih kacau.

Beberapa detik kemudian, ponsel Rajata berdering.

Drrrt... drrrttt...

Nama "Papa" muncul di layar.

Dengan mata masih setengah terpejam, Rajata meraba ponselnya. Begitu melihat siapa yang menelepon, kesadarannya langsung terkumpul. Ada trauma setiap kali ayahnya menelpon—takut kabar buruk datang lagi.

Ia menarik napas panjang sebelum menekan tombol hijau.

"Halo..."

"Halo, Ja! Kamu di mana? Kenapa Tessa nggak ada di rumah? Kamu lagi sama Tessa, kan? Kalian baik-baik aja, kan?"

Rajata menjauhkan ponselnya sejenak, telinganya berdengung mendengar rentetan pertanyaan sang ayah.

"Pa... bisa nggak nanya satu-satu? Ini masih pagi, lho," dengus Rajata kesal.

"Kamu di mana? Lagi sama Tessa, kan?"

"Iya, aku nginep di rumah Tessa, Pa. Menantu Papa aman, nggak usah khawatir."

Terdengar helaan napas lega dari seberang. "Huh... syukurlah. Tapi kenapa nggak bilang dulu, sih?"

Rajata terdiam. Bayangan kejadian semalam melintas lagi di kepalanya, menyisakan sedikit rasa bersalah.

"Halo, Ja? Rajata?"

"Eh... iya, Pa. Halo."

"Kamu cepat pulang, ya. Nanti siang kita berangkat ke Bandung."

"Bandung? Ngapain, Pa?"

"Kamu lupa? Eyang ulang tahun. Seperti biasa kita rayakan di sana. Jangan lupa ajak Tessa juga. Papa tunggu di rumah."

Belum sempat Rajata menjawab, sambungan telepon sudah terputus.

Rajata masih menatap layar ponselnya yang gelap ketika suara berisik dari dapur membuatnya menoleh. Samar-samar, aroma susu cokelat hangat menyebar memenuhi ruangan.

Ia bangkit pelan, mengusap wajahnya yang masih terasa berat. Ada rasa asing yang menyelusup ketika menyadari siapa yang ada di balik aroma itu—Tessa.

"Lo... udah bangun?" tanya Rajata pelan.

Tessa tidak menjawab, hanya melirik sekilas sambil menuang susu cokelat ke cangkir.

"Gue... gue minta maaf soal semalam," ucap Rajata, suaranya sedikit berat. "Gue cuma... kebawa emosi."

Ia menarik napas, lalu melanjutkan dengan nada membela diri, "Lo juga yang salah. Kenapa mancing-mancing emosi gue?!"

Tessa sontak menoleh, tatapannya tajam menusuk Rajata.

"Lo mikir ini semua salah gue?" suaranya bergetar menahan marah. "Lo jalan sama Liora aja gue nggak pernah marah, kan?! Bahkan waktu lo ninggalin gue di kafe buat nemenin dia, gue diem aja."

Napas Tessa memburu. "Kenapa giliran gue jalan sama Juna, lo marahnya kayak orang nggak waras?!"

Rajata terdiam. Dahinya mengernyit, bingung. Dari mana dia tahu?

"Gue cuma nolongin Liora, nggak lebih!" bela Rajata.

"Juna juga cuma nolongin gue, nggak lebih!" balas Tessa cepat, suaranya penuh penekanan.

Lagi-lagi Rajata tak mampu berkata-kata. Mulutnya terbuka, tapi tak ada satu pun kata keluar.

"Selama hati lo masih ada Liora, hubungan ini nggak akan pernah berhasil, Ja..."

Setelah mengucapkan itu, Tessa melangkah keluar dapur. Lama-lama ia capek juga beradu mulut dengan Rajata yang bahkan belum bisa melepaskan masa lalunya.

Rajata masih terdiam di dapur. Kata-kata Tessa tadi terus terngiang di kepalanya, menusuk lebih dalam setiap kali ia mencoba mengabaikan. "Selama hati lo masih ada Liora, hubungan ini nggak akan berhasil, Ja."

Dahinya mengernyit. Dadanya terasa sesak. Ia mengusap wajahnya kasar, mencoba menyingkirkan perasaan tak nyaman yang terus membayangi.

Untuk pertama kalinya, Rajata benar-benar merenungi semua sikapnya terhadap Tessa. Tentang seberapa banyak luka yang sudah ia beri, dan seberapa keras Tessa berusaha bertahan di sampingnya.

***

Disisi lain, kereta api berhenti dengan suara mendesah panjang di Stasiun Bandung. Putri turun sambil menyeret koper kecilnya. Matanya celingukan mencari sosok ayah yang sudah lama tak ditemuinya.

"Putriiiii!!!" Suara berat tapi hangat memanggil dari kejauhan.

Putri menoleh cepat. Di sana, Herman berdiri dengan jaket tebal, lengan terbuka lebar. Senyum Putri langsung merekah.

"Ayah!" serunya, lalu berlari kecil menghampiri.

"Aduh... geulis pisan ayeuna mah! Beuki gedé, beuki matak reueus!" (Aduh... cantik banget sekarang! Makin besar, makin bikin bangga!)

Herman memeluk putrinya erat. Aroma minyak kayu putih khas ayahnya masih sama seperti dulu.

"Ayah... ah, udah ah jangan dipeluk lama-lama. Nanti dilihatin orang," protes Putri pura-pura malu.

"Hahaha... cuekin we atuh. Kapan deui bisa meluk anak sendiri?" (Hahaha... cuekin aja. Kapan lagi bisa meluk anak sendiri?)

Mereka berjalan menuju mobil. Di perjalanan, Herman terus bertanya.

"Jakarta kumaha? Betah teu? Enak?"

"Betah sih, yah. Tapi... kangen Bandung. Di sana mah riweuh terus," jawab Putri sambil memandangi jalanan kota Bandung yang mulai padat.

"Makanya sok we ulin ka dieu. Di dieu mah aya ibu, aya Ayah..." (Makanya sering-sering main ke sini. Di sini ada Ibu, ada Ayah...)

"Iyaaa..." Putri nyengir.

Sampai rumah, suara ibunya, Bu Rifa, langsung terdengar dari dalam.

"Putriiii! Ayeuna mulang? Sini peluk ibu"

Putri tertawa kecil, melepas sepatunya dan langsung memeluk ibunya.

"Aduh ibu, kangen pisan..."

"Kuring ogé kangen pisan, Nak." (Ibu juga kangen banget, Nak.)

"Eh, dahar heula sana! Ibu masak sayur asem karesep Putri." (Eh, makan dulu sana! Ibu masak sayur asem kesukaan Putri.)

Herman ikut nimbrung, "Heueuh... dahar loba atuh, biar rada nambahan beratna. Tingali teh ayeuna langsing teuing.

" (Iya... makan banyak ya, biar agak nambah berat badannya. Lihat tuh sekarang kurus banget.)

Putri tertawa kecil, "Ayah mah ada-ada wae."

Meja makan penuh dengan aroma sayur asem dan sambal terasi yang bikin perut Putri langsung keroncongan. Ia tersenyum kecil, ingat masa-masa waktu kecil sering rebutan lauk sama ayahnya.

Makan yang banyak, Put," kata Rifa sambil menyendokkan ikan teri ke piring Putri.

"Iya, Bu," balas Putri pelan, mulai menyuap nasi ke mulutnya.

"Gimana Jakarta?" tanya Rifa lagi, matanya mengamati Putri penuh rasa rindu.

"Hidup di Jakarta susah, Bu... saingannya anak orang kaya semua." Putri menghela napas panjang, nada suaranya terdengar lesu.

Herman mengerutkan dahi. "Susah gimana maksudnya? Kamu nggak betah di sana?"

"Bukan nggak betah, Yah. Tapi Putri kadang malu aja kalau mau buka hape di depan umum."

"Malu kenapa?" tanya Herman.

Putri menunduk, jarinya memainkan sendok. "Soalnya yang lain hapenya pada iPhone semua... aku mah cuma Android versi lama pula. Kadang mereka suka ngeledek."

Herman mendengus kesal. “Ah dasar anak-anak kota, gengsinya kelewat tinggi. Nggak usah peduliin mereka, Put.”

Padahal, di antara Tessa, Diana, dan Raisa—tidak ada satu pun yang pernah mengejek atau merendahkan Putri. Mereka selalu memperlakukan Putri sebagai sahabat, tak peduli dia naik motor butut atau ponselnya Android keluaran lama. Tapi entah kenapa, setiap kali duduk bersama mereka di kafe yang Instagramable, Putri selalu merasa seperti ada jurang lebar memisahkan dirinya dengan ketiga sahabatnya.

Terakhir kali mereka nongkrong di kafe, hanya Putri yang tidak memesan makanan. Ia bilang perutnya masih kenyang, padahal sebenarnya matanya terus melirik ke arah spaghetti milik Tessa. Ah... seandainya saja dia punya uang lebih, tentu saja dia juga ingin memesan. Tapi apa daya, isi dompetnya bahkan hanya cukup untuk bayar sewa kos bulan depan.

'Kenapa sih, Ayah harus lahir di keluarga pas-pasan kayak gitu?' desis Putri dalam hati. Rasa kesal sekaligus malu membuncah tanpa bisa ia bendung.

Herman mengamati wajah anaknya yang tiba-tiba murung. "Kamu dengar nggak, Put?"

Eh... iya, Yah." Putri buru-buru menyuap lagi nasinya, berusaha mengalihkan pandangan dari tatapan Herman yang makin serius.

"Tempat kosmu gimana? Aman?" tanya Herman.

Putri menggeleng pelan. "Nggak enak banget,Yah. Sering bocor kalau hujan, berisik pula. Aku mau pindah..."

Herman mendesah panjang. Suaranya agak berat ketika menjawab.

"Sabar dulu ya, Put. Nanti kalau warisan Ayah udah cair, Ayah janji cariin kamu tempat kos yang enak. Nyaman, nggak kayak sekarang."

Putri spontan meletakkan sendok. "Ayah mah janji-janji mulu... Dari dulu juga begitu. Emang warisan Eyang belum cair, Yah?"

Rifa yang sedari tadi diam, ikut menatap suaminya. "Iya, Yah... Bapak meninggal udah hampir delapan tahun. Katanya tinggal nunggu proses aja waktu itu."

"Belum." Herman menjawab singkat, nadanya datar.

Ruangan mendadak hening. Hanya suara kipas tua yang berdecit di pojok ruang makan. Putri menunduk, menahan rasa dongkol yang menguar di dadanya.

'Belum-belum mulu. Apa sih yang sebenernya Ayah tunggu?' batinnya.

Yang Putri dan Rifa tidak tahu, sesungguhnya warisan itu sudah diberikan sejak lama oleh Candra Kalani. Namun semua habis digunakan Herman untuk berjudi dan foya-foya.

Candra Kalani, pemilik peternakan sapi perah terbesar di Bandung, dulu dikenal sebagai pengusaha sukses dengan harta melimpah. Ia memiliki dua anak kandung—Herman dan Widya—dan satu anak angkat yang dibesarkannya sejak kecil—Adi.

Namun setelah Candra sakit keras, usahanya perlahan merosot. Tidak ada dari Herman maupun Widya yang mau melanjutkan. Anak angkatnya pun sudah pergi jauh dari Bandung sejak bertahun-tahun lalu karena sering berselisih dengan Herman dan Widya soal perusahaan dan warisan keluarga.

Semenjak itu, keluarga Kalani tak pernah benar-benar utuh lagi.

Tak lama, terdengar suara dari arah depan rumah. Pintu pagar dibanting agak keras, disusul langkah cepat-berat di teras.

Putri menegakkan badan. Suara itu... ia sangat hafal.

"Ehhhhh... si Putri udah pulang?" terdengar suara nyaring seorang wanita.

"Kirain bakalan jadi anak kota terus, ye? Jangan sombong sama urang kampung atuh, Put," lanjutnya sambil tertawa.

Putri menarik napas panjang. 'Ah, bibi Widya... nggak berubah dari dulu.'

Widya masuk tanpa mengetuk pintu, menenteng kantong plastik berisi beberapa botol air mineral. Pakaiannya modis tapi kusut, lipstiknya merah menyala seperti biasa. Seorang janda dengan satu anak laki-laki, yang suaminya entah sudah meninggal atau kabur dengan wanita lain—tidak ada yang tahu pasti.

"Putriiii, cicing bae... tumben arurang pulang!" Widya meraih tangan Putri lalu menepuk-nepuk pipinya. "Anak kota ayeuna mah pasti geus pinter gaya, nya?" katanya lagi setengah meledek.

Tanpa basa-basi, matanya langsung tertuju pada piring-piring yang masih berisi ikan teri dan tumis kangkung.

"Eh, makanan masih banyak, ya? Alhamdulillah! Saya makan di sini ya, Kak. Laper pisan."

Seperti biasa, tanpa ragu Widya menyendok nasi sendiri ke piring.

Putri hanya diam, menatap sendoknya. Sudah sering kejadian seperti ini: setiap kali bibi Widya datang, pasti ada saja yang diminta.

“Ada info apa, Wid?” tanya Herman begitu mereka sudah duduk berdua di teras. Suaranya pelan tapi tajam.

Putri sudah masuk ke kamar untuk istirahat, sedangkan Rifa sibuk di belakang rumah, membereskan piring-piring kotor.

“Huh!” Widya menghela napas panjang, bibirnya mengerucut sebal. Ia menyalakan rokok dan menghembuskan asapnya dengan kasar.

“Si Adi teh punya anak. Jadi warisannya jatuh ke tangan anaknya ketika dia meninggal.”

Herman mendongak cepat, kedua matanya membulat. “APA?” suaranya meninggi, tapi buru-buru ia merendahkan lagi, takut terdengar ke dalam rumah.

“Gimana bisa? Selama ini kita pikir warisan itu udah clear buat kita berdua… kalau si Adi meninggal”

Herman mengusap wajahnya kasar, napasnya terdengar berat. “Sia-sia usahaku kemarin…” desisnya pelan tapi penuh amarah. Tangannya mengepal di atas meja kayu, seolah sedang menahan letupan emosi yang siap meledak.

Dulu, Herman adalah sosok yang disegani di kampung. Rumah besar, mobil mewah, dan segala fasilitas hidup pernah ia nikmati tanpa harus bekerja keras.

Namun, semua itu runtuh ketika pabrik ayahnya mengalami penurunan drastis. Perlahan bangkrut, menyisakan puing-puing kenangan yang terus menghantui Herman. Kini, ia hanya seorang mandor di sebuah pabrik roti kecil di pinggiran kota. Gengsinya tercabik-cabik setiap kali harus mengangguk-angguk pada atasan yang dulu bahkan tak selevel dengannya.

Widya mendengus, menghembuskan asap rokoknya ke udara malam. “Jangankan kamu, aku juga capek, Kang. Hidup begini terus…” Suaranya terdengar getir.

Hidup Widya pun tak kalah nelangsa. Setelah ditinggal suaminya—ia harus banting tulang sendiri untuk menyekolahkan anak semata wayangnya.

Sesekali ia manggung di cafe-cafe kecil, jadi penyanyi pengisi acara. Tapi itu pun tidak pernah pasti, bayaran sering molor, bahkan kadang hanya dibayar dengan makan gratis. Akhirnya, ia bergantung pada Herman. Lelaki itu yang menanggung sebagian besar biaya sekolah anaknya.

Mereka berdua pernah punya segalanya. Namun sekarang, yang tersisa hanyalah amarah dan penyesalan. Semua harta yang dulu ditinggalkan Candra Kalani telah habis mereka hambur-hamburkan untuk foya-foya. Mobil mewah dijual, rumah besar digadaikan, uang ratusan juta ludes untuk pesta dan belanja barang-barang mahal yang kini tak bersisa.

Dan kini… harapan terakhir mereka hanya satu: harta peninggalan Adi.

Anak angkat Candra yang, ironisnya, justru mendapat bagian warisan lebih besar dari mereka berdua.

“Si Adi itu licik,” gumam Herman, matanya menyala. “Udah bukan darah daging Bapak, tapi dikasih bagian segede itu. Gimana bisa dulu Bapak sebodoh itu ?”

“Kita harus cari anakna si Adi, Kang. Ulah nepi ka warisan jatuh ka manehna sorangan!”

✨jangan lupa like dan komen dong biar aku makin semangat drop lanjutannya😋

Bonus Rajata tidur dirumah Tessa xixi

1
IG : @dadan_kusuma89
sepatu kamu tampokin aja ke muka dia Tessa ! 😁
IG : @dadan_kusuma89: 😄😄😄, takutnya malah sepatunya yg rusak ya ?
Muffin: Jangan dong sayang sepatu ya hah
total 2 replies
Opi Sofiyanti
kak ini Sunda nya Sunda mna??? asa rancu ngadangu na.... 😂😂😂😂
Muffin: kwkkw mohon dimaklumi karena bukan orng sudna asli 🙏🏼
total 1 replies
Opi Sofiyanti
nyesek bgt y Tess......... hrs nya... hrs nya ini mah y, rajata g udh nolong2 lg s ulet ke2t.. mo apapun alesan nya, biar g di salah arti kan...
Opi Sofiyanti
se mini itu kah Tessa???? 😂😂😂
Muffin: Tingginya 165cm kak kwkw
total 1 replies
sjulerjn29
thor namanya sama🤭😂
jangan2...
Muffin: Aduh mana sama bar bar nya haha jangan jangan iyaaa lagi🤣
sjulerjn29: jangan jangan raisa cerita ku temenan sama tessa🤭
total 3 replies
⭐⍣⃝𝖕𝖎ᵖᵘ 𝙿𝚊𝚝𝚛𝚒𝚌𝚔_
So switt
Rezqhi Amalia
smngt thor
SHanum
ya begitulah rasanya tidur di sofa selamat, skrg tau kan rasanya
SHanum
/Sob//Sob//Sob/
SHanum
bu Renata punya anak gadis juga loh, coba bayangan klu anak ibu yg digituin
SHanum: nnti bilangin ke bu Renata ya
Muffin: Iya yaaa nggak mikir kesana mungkin dia kak kwkw
total 2 replies
SHanum
Ya Allah jangan sampai aku dipertemukan calon mertua seperti bu Renata /Sob/
SHanum: Aamiin..
/Facepalm//Facepalm/
Muffin: Semoga yaaa kak. Semoga dipertemukan dengan mertua yang baik. Btw ini renata blm apa apa loh hehe
total 2 replies
SHanum
seperti ini yang dinamakan sahabat sllu ada baik suka maupun duka
SHanum
mulai nih breaking news/Facepalm/
Ningsih,💐♥️
baru awal jadi menantu, sudah dimusuhi mertua....
kasihan, malang benar nasibmu Tessa
Muffin: Ada rajata nnti yang jadi pahlawan kesianhannya kak hehe
total 1 replies
Opi Sofiyanti
kadang orng tuh hrs di gtu in dl y, br keluar tanggung jwb nya...
Muffin: Bener sih. Emng harus dikasih paham dulu br ngerti
total 1 replies
Opi Sofiyanti
🥰🥰🥰🥰
Dewi Ink
kasian Tessa, punya mertua kayak Renata
Muffin: Justru yang diindosiar itunudh dibuat soft banget kak. Realitanya lebih parah. Pantengin aja terus Renata nnti aku kasih paham mertua kalo di real life gimana aslinya kekw
Dewi Ink: seperti kisah indosiar/Grin/
total 3 replies
Lonafx
nahh gini kan keren si Rajata 😎 Semoga bisa selalu jadi pelindung Tessa dari mertua yg terdeteksi 'bukan mertua idaman'/Facepalm/
Lonafx: kalau nakal, getok aja palanya Thor 😅
Muffin: Semoga rajata baik terus yaa😌😌
total 2 replies
Ella
Mertua modelan bgni cocok suntik rabies klau bukan krna ulah suamimu, tesa tdk akan jdi anak yatim piatu.dasar nene garong🤣
Muffin: Nah bener, agak gatau diri emng hehe
total 1 replies
Alsyafara Khalisa
baru di awal bab udah di buat mewek aja.
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!