NovelToon NovelToon
Satu Malam Dengan Kakaknya

Satu Malam Dengan Kakaknya

Status: sedang berlangsung
Genre:One Night Stand / Hamil di luar nikah / Tukar Pasangan / Menikah dengan Kerabat Mantan
Popularitas:2.8k
Nilai: 5
Nama Author: Meldy ta

Dikhianati oleh pria yang ia cintai dan sahabat yang ia percaya, Adelia kabur ke Bali membawa luka yang tak bisa disembuhkan kata-kata.

Satu malam dalam pelukan pria asing bernama Reyhan memberi ketenangan ... dan sebuah keajaiban yang tak pernah ia duga: ia mengandung anak dari pria itu.

Namun segalanya berubah ketika ia tahu Reyhan bukan sekadar lelaki asing. Ia adalah kakak kandung dari Reno, mantan kekasih yang menghancurkan hidupnya.

Saat masa lalu kembali datang bersamaan dengan janji cinta yang baru, Adelia terjebak di antara dua hati—dan satu nyawa kecil yang tumbuh dalam rahimnya.

Bisakah cinta tumbuh dari luka? Atau seharusnya ia pergi … sebelum luka lama kembali merobeknya lebih dalam?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Meldy ta, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Istri Tanpa Keluarga

Hari-hari berlalu perlahan di rumah kecil itu. Adelia mulai menemukan ritme baru dalam hidupnya. Bangun pagi dengan mata sembab, menyalakan pemutar musik klasik, lalu membuat sarapan sederhana sambil mengelus perutnya yang semakin membuncit.

Reyhan, meski tidak tinggal sepenuhnya di rumah itu, datang hampir setiap hari. Terkadang hanya untuk makan malam, terkadang menginap dan tidur di sofa. Ia selalu membawa sesuatu—buah-buahan, buku pengasuhan, atau hanya senyuman lelah yang membuat Adelia merasa tidak sendiri.

Mereka mulai punya kebiasaan kecil. Memasak bersama di sore hari, menonton serial lama di malam hari, dan mendiskusikan warna cat terbaik untuk kamar bayi.

"Gimana kalau biru langit?" tanya Reyhan sambil membuka katalog cat.

Adelia menatapnya. "Kalau bayinya cewek?"

Reyhan mengedikkan bahu. "Kita kasih pilihan bebas warna dari kecil."

Adelia tertawa. "Bijak banget, calon ayah."

Namun di balik tawa-tawa ringan itu, ada beban yang perlahan tumbuh dalam hati Adelia.

Suatu siang, saat Reyhan sedang di kantor, ponsel Adelia berdering. Nomor tak dikenal muncul, tapi suaranya sangat dikenal—suara ibu mertuanya.

"Aku harap kau tidak terlalu nyaman dengan keadaanmu sekarang," suara itu dingin. "Kau mungkin sudah menikah dengan Reyhan, tapi jangan pernah berpikir kau bisa jadi bagian dari keluarga kami."

Adelia tercekat. "Aku tidak berniat merebut apa pun dari keluarga Anda."

"Bagus. Maka sebaiknya kau tahu tempatmu. Jangan biarkan kehamilanmu itu jadi tameng untuk memaksa anakku terus bersamamu. Dan tentang perusahaan, sekarang semua aset akan diturunkan ke Reno. Karena putra sulung kami sudah kehilangan akal hanya karena perempuan seperti kamu."

Klik. Sambungan terputus.

Adelia terduduk di lantai. Suara itu menancap lebih tajam dari yang ia duga. Ia tahu Ny. Jonathan tidak menyukainya, tapi tidak menyangka akan terus ditekan bahkan setelah menikah.

Malamnya, ketika Reyhan datang membawa makanan dari restoran favorit mereka, Adelia hanya diam.

"Ada yang salah?" tanya Reyhan lembut.

"Rey ... kamu pernah menyesal kehilangan warisan itu?"

Reyhan mengangkat alis. "Kenapa tanya itu?"

"Karena kamu seharusnya jadi pemimpin keluarga. Kamu pintar, dewasa, tangguh. Tapi karena aku, semua itu hilang."

Reyhan duduk di depannya. "Del, aku kehilangan hak atas perusahaan. Tapi aku mendapatkan keluarga kecil yang kuimpikan. Dan itu kamu."

Adelia menggigit bibirnya. "Tapi ... bagaimana kalau nanti kamu menyesal? Bagaimana kalau kamu sadar kamu lebih pantas dengan perempuan yang bisa diterima keluargamu?"

Reyhan memegang wajahnya. "Aku tidak butuh diterima siapa-siapa untuk tahu mana yang ingin kupeluk setiap malam."

Tapi kata-kata Reyhan hanya meredakan sesaat. Karena di dalam hatinya, Adelia mulai bertanya—berapa lama seseorang bisa bertahan tanpa keluarga?

Sementara itu, Reyhan yang selalu tampak tenang juga mulai dihantui kegelisahan yang tak bisa ia bagi dengan siapa pun. Ia mencoba bersikap biasa di depan Adelia, tapi jauh di lubuk hati, ada kekesalan yang menggerogoti.

Ia kehilangan kepercayaan yang sudah ia bangun bertahun-tahun. Ia seharusnya menjadi penerus perusahaan, seseorang yang ayahnya banggakan sebelum meninggal. Namun kini, semua tanggung jawab itu jatuh ke tangan Reno—adik yang ia tahu tak siap.

Reno memang cerdas, tapi terlalu impulsif, sering membiarkan emosi mengambil alih. Ia terlalu terburu-buru dalam banyak hal, termasuk dalam hubungan. Reyhan khawatir, bukan karena iri, tapi karena ia tahu Reno belum cukup dewasa untuk memikul beban itu.

Malam itu, setelah memastikan Adelia tertidur, Reyhan memutuskan untuk mengunjungi rumah besar keluarga Jonathan. Ia ingin bicara baik-baik dengan ibunya. Mungkin menjelaskan bahwa keputusannya menikahi Adelia bukan sebuah pemberontakan, tapi sebuah bentuk kedewasaan.

Namun, belum sempat ia mengetuk pintu ruang kerja ibunya, suara langkah sepatu hak tinggi terdengar dari arah ruang tamu.

"Reyhan?"

Reyhan menoleh dan menemukan sosok wanita yang sudah lama tak ia temui—Emma.

"Lama tak bertemu, Reyhan," ucap Emma lebih mendekat tanpa ragu.

Emma Clarissa. Nama yang sudah lama tak disebut dalam hidup Reyhan, namun tak pernah benar-benar hilang dari ingatannya.

Wanita itu berdiri dengan postur anggun, mengenakan dress hitam bodyfit dengan potongan dada rendah, rambut cokelat gelapnya tergerai, dan bibir merah yang tersenyum sinis. Wajahnya sangat cantik, matanya tajam, dengan aura percaya diri yang dulu pernah membuat Reyhan terpikat.

"Kukira kamu tidak akan pernah kembali ke rumah ini," ucapnya, matanya menyapu tubuh Reyhan dengan sorotan lama.

"Emma..." Reyhan berdiri kaku. "Apa yang kamu lakukan di sini?"

Emma tersenyum. "Aku diundang oleh tante. Ibu kamu, Reyhan. Katanya, ingin bertemu wanita yang lebih pantas untukmu."

Ia melangkah mendekat, jarak mereka kini tinggal satu tarikan napas.

"Aku dengar ... kamu sudah menikah?" suaranya lembut tapi menusuk.

Reyhan mengangguk. "Ya. Dan aku tidak menyesalinya."

Emma tertawa kecil, bukan tawa senang, tapi tawa menyindir. "Kau selalu membuat keputusan yang aneh. Tapi itu yang membuatku penasaran sejak dulu."

"Jika kamu ke sini hanya untuk bernostalgia, Emma, lebih baik aku pamit."

"Bukan nostalgia," potongnya cepat. "Aku ke sini ... karena aku ingin mengambil kembali sesuatu yang dulu aku buang."

Reyhan terdiam. Dan di ruangan itu, bayangan masa lalu dan masa kini mulai saling bersinggungan.

Reyhan tidak langsung menjawab. Ia mengamati Emma, mengingat jelas semua kenangan masa lalu yang menyakitkan namun juga pernah menggetarkan hatinya.

Nada itu menghujam seperti anak panah, dan Reyhan menarik napas dalam. "Dia tidak berhak menentukan siapa yang pantas untukku."

Emma berjalan ke arah meja, duduk santai seperti pemilik rumah. "Tapi aku setuju dengan ibumu. Kau terlalu berharga untuk dijatuhkan oleh seorang wanita seperti dia ... siapa namanya? Adelia?"

Reyhan mengepalkan jemari. "Jaga ucapanmu."

Emma tertawa pelan. "Masih sama. Kamu tidak pernah bisa marah terlalu lama. Itu yang dulu membuatku bosan."

"Dan itu alasanmu pergi? Karena aku tidak cukup menggelegar seperti dunia dramamu?"

"Bukan karena kau tidak cukup. Tapi karena kau terlalu tenang, Reyhan," jawab Emma dengan jujur. "Aku ingin pria yang bisa membuatku merasa hidup. Kamu ... terlalu datar. Kamu mencintai dengan tenang, dengan sabar, dengan ritme yang membosankan. Aku butuh seseorang yang seperti badai."

Reyhan mengangguk pelan. "Dan aku butuh seseorang yang mencintai tanpa drama."

Keduanya terdiam sejenak. Ada emosi yang menggantung di udara—bukan cinta, tapi kenangan yang menolak dilupakan.

"Kau masih mengingat kita, Reyhan?" tanya Emma tiba-tiba. "Saat kita ke villa? Saat kau hampir kehilangan dompetmu di stasiun? Dan kita tidur di sofa hostel karena kamar penuh?"

Reyhan menatap ke luar jendela, mengingat detik-detik itu. "Aku ingat. Tapi aku juga ingat bagaimana kamu bilang aku membosankan di depan semua temanmu."

Emma menunduk sejenak, lalu tersenyum pahit. "Mungkin aku salah, Reyhan. Mungkin justru pria tenang sepertimu yang lebih cocok jadi ayah dan suami."

"Tapi kamu datang terlambat, Emma."

Ia berdiri, berjalan pelan ke arah Reyhan, lalu berhenti hanya beberapa langkah dari tubuh pria itu. "Terlambat bukan berarti tidak bisa kembali, bukan?"

"Kita bukan buku cerita yang bisa dibuka ulang."

"Tapi hatimu belum sepenuhnya tertutup. Aku bisa lihat itu."

Reyhan menggeleng. "Hati ini mungkin masih mengingatmu, tapi tidak merindukanmu. Aku sudah memilih jalanku."

Emma menatapnya lama, lalu mendekatkan wajahnya. "Kalau suatu hari kamu sadar bahwa kamu salah memilih ... aku masih di sini."

Reyhan tidak menjawab. Ia hanya berbalik, meninggalkan Emma di ruang tamu, sambil membawa satu pertanyaan dalam hati: benarkah ia sudah benar-benar bisa lepas dari masa lalu?

1
Adinda
lanjut thor
Adinda
sudah del lebih baik cerai saja
NurAzizah504
seromantis ini dibilang datar?! /Sob/
NurAzizah504
mantapppp
NurAzizah504
dan kamu termasuk salah satunya
NurAzizah504
kali aja reyhan memiliki firasat kalo adel hamil
NurAzizah504
hai, Thor. aku mampir nih. jgn lupa mampir di lapakku juga, ya. 'Istri Kontrak Sang Duda Kaya'. terima kasih ^^
NurAzizah504
hayo, Del. tanggungjawab tuh /Facepalm/
NurAzizah504
ya ampun /Sob/
NurAzizah504
wah, ada juga ya kasus begini. hubungan hambar lah istilahnya
NurAzizah504
ini bukan lagi ditusuk. tp ditikam berkali2
Adinda
cerai Saja del suami kamu gak perduli sama kamu,kamu keguguran saja dia tidak tau karena asyik dengan jalangnya
Adinda
cerai saja adelia untuk apa sama suamimu tukang selingkuh
Cindy
lanjut kak
Adinda
cerai aja del tinggalin reyhan buat apa bertahan kalau dia bersama dengan jalangnya terus
Adinda
pergi adelia tinggalin reyhan buat apa bertahan sama pria yang tidak bisa lepas dari masalalu
Cindy
lanjut kak
Adinda
lebih baik adel tinggalin reyhan dan cerai tak usah punya urusan sama keluarga itu lagi
Cindy
next
Cindy
lanjut
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!