NovelToon NovelToon
Zone

Zone

Status: tamat
Genre:Diam-Diam Cinta / Idola sekolah / Tamat
Popularitas:1.3k
Nilai: 5
Nama Author: Daisyazkzz

Wanita yang tidak percaya adanya hubungan dalam kata friendzone.
Apa itu friendzone? Apa gak aneh?

"Lo gak hadir sekali, gue bikin masalah."
-Nathan-

Alana tidak pernah menyangka.
diantara semua karakter diriku yang dia ketahui mungkin dia menyelipkan sedikit 'Rasa'.
aku tidak pernah tahu itu. aku cukup populer, tapi kepekaanku kurang.
dimataku, dia hanya sebatas teman kecil yang usil dan menyebalkan. aku tak pernah tahu justru dengan itulah dia mengungkapkan 'Rasa'.

pertemanan kami spesial.
bukan, lebih tepatnya, Friendzone dari sudut pandang 'Dia'.

#dont repost or plagiat this story ❗❗❗
jangan lupa komenn ^^

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Daisyazkzz, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

•posisi•

"Al, kamu sakit?"

Gadis itu menggeleng walaupun kepalanya ditutupi ransel diatas meja.

"Kalo sakit bilang ya? Atau kalo kamu lagi ada problem cerita, harus." Tukas Ola cemas, melihat ketua kelas mereka hanya diam sepanjang jam istirahat.

Alana benar-benar ingin menangis sebenarnya. Semua yang terjadi sehari lalu sangat kacau berantakan.

Hari ini pun Nathan tidak kelihatan. Dia tidak mengajukan izin, hanya Alana yang tahu kalau dia sedang menemani Eden di rumah sakit.

Bocah itu pingsan setelah mengalami

Hyperarousal, gara-gara dirinya dan Nathan yang sempat berdebat dengan suara tinggi.

Alana juga baru tahu, Selain memiliki perbedaan fisik, Eden juga memiliki penyakit mental lain.

Dia pingsan seharian dan sampai sekarang belum juga siuman.

"Al! Dipanggil kak Daniel!!"

Tiba-tiba Hajun datang, memanggil Alana dari pintu kelas.

Ola dan Bryan ikutan menoleh, bingung.

"Kenapa Jun?"

Hajun ogah menjawab, dia langsung pergi begitu saja.

Apa lagi plis? Gue capek banget.

Dengan langkah berat, Alana memaksakan diri pergi. Ola sempat mengantar sampai pintu.

Alana menemui Daniel di ruang OSIS. Mereka bicara empat mata disana. Berhadapan duduk di sofa.

"Al, Lo tahu kan gue percaya sama Lo?" Daniel membuka topik dengan pertanyaan, suaranya dingin.

Alana sempat menebak-nebak arah pembicaraan ini dalam hati.

"Hah? I-iya.."

"Lo tahu kan tanggung jawab Lo sebagai ketua kelas?"

Alana makin bingung dibuatnya.

"Iyalah."

"Apa alesan Lo biarin si Nathan bolos? Lo mau spesialin dia dari anak kelas yang lain mentang-mentang dia beda?" Suara Daniel meninggi.

"Gue tahu dia bolos sebelum pemeriksaan."

Saat itu, entah apa yang Alana pikirkan, dia malah diam membisu.

"Bolos itu bukan masalah remeh, Al. Gue ada buktinya juga dia bolos."

"Kak, kalo emang gitu, terus kenapa pas kakak mau cukur rambutnya, kakak malah berhenti dengar omongan Shireen? Bukannya sama aja kakak gak adil ya?" Balas Alana tegas.

Daniel berdecak sambil mengacak rambutnya.

"Ya...gimana lagi? Kalo dia kenapa-kenapa nanti bisa-bisa sponsor sekolah hilang."

"Terus apa bedanya kak?! Kalo kakak aja begitu, kenapa kakak malah marah kalau aku biarin juga?!" Seru Alana emosi.

"Lo maunya gue yang nanti dilimpahin semua kesalahan, walaupun kalian pelaku?!"

Daniel menggebrak meja kencang.

"Al, ini gue cuma disuruh pak kepsek!" Serunya marah.

"Ha." Alana menyeringai.

"Berarti dia yang brengs*k."

"Lo bilang apa tadi?!"

Daniel melotot marah, giginya berkretakan.

"Al, Lo dicopot dari posisi ketua kelas dan dijatuhi hukuman skors selama sepekan!!!" Spontan Daniel membentak.

Alana balas memukul sekuat tenaga meja di hadapannya sampai retak hampir berlubang.

"Sialan!!!" Gadis itu berdiri kasar dengan kedua mata memerah menahan emosi.

"Meskipun Lo udah tau faktanya, Lo pasti tetap gak bakal hukum Nathan kan? Dasar pengecut bodoh."

Dia langsung buru-buru keluar dari sana, menutup pintu dengan suara sekeras mungkin.

'BRAK'

***

Dunia sampah.

Sekeras apapun kita berusaha berbuat baik, tak pernah dipandang. Tapi sekali saja orang rendahan kayak gue buat salah, semuanya seolah ingin gue binasa.

Kepsek penjilat.

Padahal, gue gak pernah biarin Nathan bolos, tapi dia kan emang susah dibilangin. Jadi gue harus apa?!

Hidup gue gini amat. Sendirian, kena masalah di sana-sini.

Ha~ah. Buat apa gue hidup? Bikin capek aja.

Insiden itu terus berputar di dalam otaknya.

Alana yang hilang kendali akhirnya langsung pulang ke rumah setelah Keluar dari ruang OSIS.

Masa bodoh dengan izin. Toh, ia juga besok mulai masa skorsing selama sepekan.

Gadis itu berbaring pasrah diatas karpet. Menatap langit-langit ruang tamu rumahnya.

Arga, Aysa, kakak kangen kalian. Gak ada kalian, kakak jadi kesepian. Gak ada temen cerita.

Pukul tiga sore. Alana masih bengong, isi kepalanya mendadak kosong. Ia juga jadi malas lanjut bekerja di rumah Nathan karena kejadian sehari lalu.

Tapi beberapa detik kemudian, hp nya berbunyi. Terus-menerus, walaupun Alana tidak berniat mengangkat telfonnya.

Pasti Nathan.

"Eh, Ola?"

Begitu melihat username nomor teleponnya, Alana buru-buru mengangkat.

"Kenapa la?"

"Alana kamu gak apa-apa? Maaf aku gak bisa bantuin. Soalnya aku juga takut. Maaf banget, Alana aku boleh ke rumahmu? Aku bawain sesuatu."

Ola ngomong seperti reporter berita yang membawakan rentetan kejadian.

Alana hanya tertawa lemah.

"Iya la, sini aja. Gue sendirian kok. Makasih ya."

"Alana, Bryan dapet skorsing juga karena bolos. Tapi Nathan enggak. Aneh banget lho." Tukas Ola, suaranya dipelankan.

Alana sebenarnya juga mulai berpikir. Ada sesuatu yang rasanya janggal.

"Iya, la. Nanti kita obrolin aja disini."

"Oke Al, Wait for me, okay!" Ola menutup telfon.

Seenggaknya Alana merasa agak lega sekarang. Ola pasti bisa sedikit menghibur. Setidaknya masih ada yang peduli.

Tumben Nathan gak telfon gue. Biasanya dia marah lagi kalo gue gak ngabarin kan.

Pintu rumah Alana diketok.

Dia buru-buru bangun dan membukanya.

"Cepet banget si Ola."

"Al!!"

Begitu pintu dibuka, Ola langsung melow, lompat memeluk Tubuh ramping Alana.

"Al, aku sedih banget!!"

Alana menepuk punggungnya sambil menyeret Ola masuk.

"Gue gak papa kok la, kenapa malah Lo yang berkaca-kaca? Haha.."

Ola mengangguk, mengamati sekujur tubuh Alana. Siapa tahu ada yang memar. Berita kalau dia melawan OSIS kan sudah menyebar satu sekolah.

"Al, jadi kamu serius diskors sepekan?"

Alana mengangguk, mulutnya penuh dengan donat varian rasa yang dibawa Ola sampai sekotak besar.

"Laper ya Al? Kamu belum makan?" Tanya Ola, tertawa melihat pipi Alana menggembung seperti ikan buntal.

"Iya La. Makasih ya. Oh iya, kalo ada pelajaran yang baru, gue bisa minta tolong Lo rekam gak? Buat gue pelajarin sendiri di rumah."

"Oke Al." Ola menatap Nanar wajah sahabatnya.

"Al, kamu gak kesepian?"

Pertanyaan itu keluar begitu saja, Ola jadi panik saat Alana tiba-tiba terdiam.

Iya, gue rasanya pengen ikut nenek aja ke alam lain, sama Arga dan Aysa.

Air mata Alana mulai menetes, dengan ekspresi wajah kaget sekaligus malu.

Gadis itu buru-buru mengusapnya, tertawa dipaksakan.

"Ha, nggak-"

"Al, jangan ditahan terus. Inget, aku ada disamping kamu." Ola memeluk Alana seerat mungkin, tersenyum menenangkan.

Dan air mata Alana tumpah seketika, mengalir deras untuk semua kesulitan ini, seolah membalas dendam.

"Al, dari awal harusnya kamu ceritain. Kan aku bisa bantu minimal ngehibur kamu, oke? Jadi cerita coba sekarang?"

Alana sesenggukan menangis di bahu Ola. Jujur saja, rasanya lega. Selama ini Alana memang berusaha kelihatan kuat agar image nya tidak jatuh, meskipun di depan Ola.

Tapi sekarang, mulutnya bercerita begitu saja tentang semua yang ia alami semenjak kematian dua adiknya.

Mulai dari Nathan, Alana menjelaskan tentang pekerjaannya disana, adik Nathan yang unik, keanehan sikapnya, dan pertemanan ia dengan Raven.

Ola mengangguk-angguk mendengarkan dengan serius.

"Aku mikir, semenjak kedatangan si murid baru, kamu jadi kesusahan tanpa sebab yang jelas. Apa itu ada hubungannya ya?"

Memang iya, Alana sangat yakin.

Ini aneh. Padahal sebelumnya, kalau ada yang bolos di kelas, OSIS tak begitu peduli atau guru sekalipun, tapi kali ini beda. Seolah ada sesuatu yang membuat masalahnya semakin besar sampai Alana ikut terkena hukuman.

Dilengserkan dari posisi ketua kelas. Dan keanehan yang dirasakan Alana dari Shireen.

"Entah, gue gak tahu. Kenapa jadi begini, gue nyerah La."

"Al, aku sama Bryan juga lagi cari tahu. Pokoknya kalo ada yang aneh kita pasti ngontak kamu." Ucap Ola, mengelus rambut Alana dengan tangan mungilnya.

"Btw, kamu tahu nggak maksud omongan Shireen waktu itu? Emangnya Nathan anak dari Claudia Rissa? Aku gak terlalu percaya."

Alana mendengus pendek.

"Maaf la, sebenarnya gue udah tau semua tentang itu. Tapi gue kasihan sama Nathan kalau seandainya kejadian seperti dulu terulang lagi."

Ola tak mengerti, menatap polos.

Flashback on.

"Kenapa kamu nangis disini?"

Tubuh mungil anak cowok itu menggeliat sedikit. Kedua tangannya gemetar, menciut.

"Eh, kamu gak malu ya? Masa nangis!" Dengan senyum lebarnya, Alana berjongkok dan menepuk-nepuk bahu dia.

Gadis kecil itu tertawa kecil. Rasanya lucu banget melihat seorang anak cowok kelas dua SD yang masih suka menangis, cengeng.

Meskipun ia tidak kenal, tapi Alana yang dasarnya supel menghampiri begitu saja.

"P-pergi sana!"

Kaget, Alana tersentak. Tiba-tiba anak cowok ini mendorongnya.

"Eh, kok kamu galak? Tapi cengeng? Gimana sih!" Ia malah makin tertawa lebar.

Anak cowok itu mengangkat kepala, menatap Alana dengan kedua mata biru berkaca-kaca.

"Wah, matanya biru! Coba liat dong!"

Alana langsung heboh sendiri. Ternyata anak cowok ini bermata biru jernih. Seperti warna lautan.

Akhirnya lama kelamaan mereka mulai akrab semenjak pertemuan di belakang gedung kelas SD dimana dia menangis sendirian hari itu.

Alana sering mengajaknya main, meskipun anak cowok itu agak pemalu dan selalu dijemput oleh sopirnya lebih cepat setelah pulang sekolah.

Semuanya berjalan baik-baik saja. Sampai Alana kecil menemukan dia kembali menangis sendirian di tempat yang sama.

Alana mendatanginya sambil menggendong bayi kucing.

"Eh, kok nangis lagi? Sebenernya kamu kenapa sih? Cerita dong, kan kita temen!"

Gadis itu memaksanya bercerita, dia lebih senang menatap matanya lama-lama, daripada fokus mendengarkan curhatan nya.

"Kamu nggak dengar ya? Kenapa menatap aku terus?" Akhirnya anak cowok itu sadar Alana hanya menatap matanya saja.

"Nggak kok, aku denger kok. Jadi kenapa kamu nangis?" Sanggah Alana dengan santainya.

"Kan sudah aku jelaskan tadi. Aku dijauhi hari ini karena nggak bawa uang jajan."

"Uang jajan? Kamu biasanya bawa berapa?" Tanya Alana lagi.

Anak cowok itu menggigit bibir.

"Dua-ratus..."

"Hah?! Uang jajannya banyak banget?! Oh, jadi temen kamu cuma mau dijajanin aja ya? Jahat sekali!!" Alana memasang tampang kesal.

Gadis itu tiba-tiba berdiri, "aku titip dulu kucing nya sama kamu ya."

Anak cowok itu makin bingung. Entah kemana dia pergi, tapi keesokan harinya semua berubah.

Mereka kembali menemaninya meskipun ia tak bawa uang, bahkan Alana kecil makin berani datang langsung ke kelasnya dan mengajak ngobrol dengan santai.

Tapi semakin lama mengenalnya, anak cowok itu mulai mengetahui sisi lain kehidupan Alana.

Dia hanya anak miskin yang tinggal berdua dengan neneknya di rumah kecil.

Dia hebat. Gadis kecil itu pintar dan tidak menyerah pada takdir, dia masuk ke sekolah sekarang karena beasiswa khusus, dan berkali-kali menempati posisi juara satu.

Fakta kedua, anak cowok itu baru tahu, dialah juga yang menolongnya selama ini. Dia membuat semua anak kelas dua berlutut tak berdaya dengan caranya sendiri.

Padahal badannya lebih kecil dari mereka, wajahnya juga imut. Tapi keberanian yang mampu membuatnya bertindak sendiri.

Flashback off.

Ola tertawa terbahak-bahak memegangi perutnya.

"Oh Nathan itu dulu cengeng banget!! Pas gede jadi nakal plus kurang ajar gitu! Wkakak!!"

Mereka sama-sama tertawa. Rasanya seru mengenang masa lalu.

"Kamu barbar banget, Al! Wakakaka!!

"Iya, asal Lo tahu. Sekarang dia jadi tengil gini, kenapa ya? Apa efek puber?" Alana bertanya di tengah tawanya.

Mereka makin berisik, apalagi suara tertawa Ola agak cempreng.

Tiba-tiba untuk kedua kali, hp Alana kembali berdering.

"Haduh, sakit perut kebanyakan ketawa. Ha-siapa? Raven??!!"

Raven! 

Pas sekali suara pintu rumahnya diketok dari luar. Alana buru-buru berdiri membukakan.

Alana excited banget. Itu siapa ya?

Ola menunggu.

"Rav!! Makasih udah Dateng!! Sori ya, gue bingung mau cerita ke siapa lagi selain elo."

Cowok itu berpostur tinggi. Rambutnya Hitam pekat menutupi sedikit alis tebalnya yang tergurat rapi, garis wajahnya sedikit tegas sekaligus cuek.

Saat bicara dengan Alana Ola langsung tahu umurnya masih dibawah enam belas. Dan itulah sosok Raven.

Beda ya. Kalo Alana ngobrol sama dia kelihatan santai dan nyaman. Kalau sama Nathan pasti bawaannya emosi terus dia. Aneh, walaupun Alana bilang mereka dulu sempat jadi teman dekat, tapi jelas-jelas Raven melihatnya dengan arti lain.

Ola mulai berteori sendiri. Soal ini ia lebih paham, dari novel-novel yang pernah dibacanya.

"Ola? Gue Raven. Panggil kak aja nih?" Tiba-tiba dia menyapa Ola dengan hangat, sangat berlainan dari gurat wajahnya.

"Boleh. Salam kenal." Sahut Ola ramah. Mengangguk antusias.

Anehnya, Raven sangat pandai mengubah suasana. Bocah itu bahkan jago sekali membuat mood Alana naik. Selain pintar mencari topik.

Mereka fokus mengobrol sampai waktu terus berputar. Jarum jam di angka delapan malam. Raven memesankan ayam krispi dari restoran untuk mereka.

Setelah makan, Raven ikut membantu membuang sisa sampah.

"Sumpah makasih banget Rav. Gue gak tahu harus bilang apa." Tukas Alana sambil menepuk pundak Raven yang berjongkok mengambil kunci motornya di sofa.

"Santai kak. Gue gak masalah. Udah malem, kakak tidur cepet ya. Gue balik dulu! Oh iya, Kak Ola, gue duluan!"

Malam itu, Raven mengubah semuanya. Ola menatap punggung kekar itu sampai menghilang di kegelapan, dan jantungnya mulai bergedup kencang.

Green flag boy?

Karena Alana masih kesepian dan juga sudah malam, Ola memutuskan menginap disini. Dia meminjam setelan piyama merah punya Alana.

Sebelum tidur, Ola terduduk di pojok kasur memikirkan sesuatu.

"Al..."

Alana yang sedang bersandar sambil membaca buku pelajaran menyahut acuh.

"Hm?"

"Kalo.... seandainya Raven...."

Kali ini Alana beringsut mendekat.

"Apa?"

Ola menatap kedua mata Alana.

Bagi Alana, Raven itu siapa? Apa dia tahu perasaan yang dipendam Raven?

"Apa lihat-lihat? Gue cantik ya."

"Al, kenapa kamu gak percaya friendzone?" Ola bertanya serius. Sekejap menghilangkan seringai bangga Alana.

"Karena gue gak pernah ngalamin? Dan hidup gue udah susah, hal-hal kayak begitu cuma bikin beban. Gue gak peduli. lagipula kalau berteman yaudah cukup sebatas itu aja." Jawab Alana. Raut wajahnya mendadak ikut serius.

Aku gak pernah tau apa yang ada dipikirannya. Alana itu mungkin memang menyukai hidup monoton. Apa itu enak? Seru? Bagiku tidak. Tapi, kenapa dia sangat susah diajak berhenti sejenak? Apa dia sekuat itu? Lantas, kenapa kamu tadi menangis, Alana?

Terus. Ola hanya terus-terusan berpikir mencari jawabannya sendiri malam itu.

***

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!