"Dia, seorang wanita yang bercerai berusia 40 tahun...
Dia, seorang bintang rock berusia 26 tahun...
Cinta ini seharusnya tidak terjadi,
Namun hal itu membuat keduanya rela melawan seluruh dunia."
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon abbylu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Episode 7
Keesokan paginya, Madeline terbangun lebih dulu.
Cahaya matahari yang menembus tirai mewarnai kamar dengan rona keemasan, dan untuk sesaat, ia mengira semua yang terjadi hanyalah mimpi.
Namun saat ia sedikit menoleh dan melihatnya di sana, di sampingnya, tidur dengan damai, dada telanjangnya terlihat di balik selimut—ia tahu itu nyata.
Itu benar-benar terjadi. Setiap ciuman, setiap sentuhan, setiap bisikan di kulitnya…
Ia merasakan berat lengan Liam yang masih melingkari tubuhnya. Madeline tetap dalam posisi itu selama beberapa detik, memandangi wajahnya.
Ada sesuatu yang begitu lembut pada pria yang biasanya begitu percaya diri itu saat tertidur: rahangnya tampak rileks, bibirnya sedikit terbuka, sehelai rambut jatuh menutupi dahinya.
Dengan sangat hati-hati, Madeline melepaskan diri dari pelukannya dan duduk di pinggir ranjang. Ia meraih jubah tidurnya, membungkus tubuhnya yang masih sensitif, lalu menuruni tangga tanpa alas kaki.
Di dapur, ia mulai menyiapkan sarapan. Aroma kopi yang baru diseduh memenuhi udara, dan Madeline tak bisa menahan senyum yang muncul dengan sendirinya. Kulitnya masih terasa geli, seolah tangan Liam masih membelainya. Ia menyentuh bibirnya, mengingat kembali ciumannya, dan menghela napas pelan.
Ia sedang menyajikan telur ketika mendengar suara langkah kaki menuruni tangga. Tak perlu melihat, ia tahu siapa itu. Suaranya berbeda—penuh keyakinan. Liam.
Ia memeluk Madeline dari belakang tanpa berkata apa-apa, melingkarkan tangannya ke pinggangnya, lalu mengecup perlahan lekukan lehernya.
"Selamat pagi…" gumamnya dengan suara serak khas orang yang baru bangun.
"Selamat pagi juga untukmu," balas Madeline tanpa menoleh, berusaha tetap tenang meski sensasi dingin merambat di punggungnya.
"Harumnya menggoda…"
"Kamu lapar?"
"Sangat..." jawabnya, sebelum mencium pundaknya sekali lagi dan melepaskan pelukan untuk duduk di salah satu bangku dapur.
Keduanya sarapan dalam keheningan beberapa menit, hanya diiringi tatapan hangat dan senyum yang tak disembunyikan. Semuanya terasa nyaman. Aneh tapi nyaman. Seolah memang selalu begini. Seolah mereka sudah lama saling mengenal.
Namun kemudian Liam, dengan secangkir kopi di satu tangan dan tangan lainnya memainkan serbet, memecah keheningan.
"Besok sore kami akan melanjutkan tur. Eropa, lalu Amerika Selatan."
Madeline mengangguk dengan perasaan tercekat. Dia tahu saat itu akan tiba. Dia selalu tahu.
"Aku bisa membayangkan..." jawabnya, tanpa mengangkat pandangannya.
Dia mengamatinya beberapa detik, lalu menambahkan dengan suara lembut, tetapi langsung:
"Aku ingin kamu menemaniku."
Madeline menatapnya, terkejut.
"Apa?"
"Aku ingin kamu ikut denganku. Aku tidak ingin berhenti melihatmu... Aku tidak ingin ini berakhir di sini."
Dia meletakkan garpunya di samping, berusaha memahami besarnya makna dari kalimat yang baru saja didengarnya.
"Liam... aku tidak bisa."
"Kenapa tidak? Kamu bos untuk dirimu sendiri, anakmu sedang tidak di sini dan, kalau aku tidak salah ingat, kamu bilang semalam dia akan pergi sepanjang musim panas.
"
"Ya, tapi tetap saja... aku punya tanggung jawab di sini. Aku tidak bisa begitu saja menghilang."
"Tentu bisa. Kamu tak terikat pada siapa pun, Madeline. Tak ada yang benar-benar bergantung padamu selain dirimu sendiri. Kenapa tak mengizinkan dirimu untuk menjalani sesuatu yang kamu inginkan?"
Madeline menatapnya dengan bibir terkatup rapat. Keinginan itu memang ada, jelas sekali. Apa yang terjadi di antara mereka bukan hanya fisik. Ada koneksi, kedekatan, sesuatu yang lebih dalam dari sekadar ketertarikan.
Tapi ada juga rasa takut. Takut berharap. Takut keluar dari zona amannya. Takut kehilangan kendali yang susah payah ia bangun kembali.
"Dan apa yang akan kulakukan di sana?" tanyanya akhirnya, dengan suara sedikit mengecil.
"Menemaniku. Menjalani sesuatu yang baru. Aku tak tahu... mungkin bahagia. Apakah itu terdengar terlalu mustahil?"
"Bukannya aku tidak mau..." bisiknya, "Aku hanya tidak tahu apakah aku bisa."
"Kenapa kamu terlalu memikirkannya?" tanyanya sambil berjalan ke sisi lain meja. "Ikutlah denganku, Madeline. Aku tidak meminta janji apa pun. Hanya... ikut. Berhentilah terus menoleh ke belakang dan mulai hiduplah dengan apa yang ada di depanmu."
Ia menatapnya, jantungnya berdetak kencang tak terkendali. Ia bisa merasakan seluruh dirinya ingin mengatakan ya. Ingin mengambil risiko. Tapi keraguannya terus berteriak dalam kepala.
"Aku butuh waktu untuk berpikir."
"Kalau begitu pikirkanlah," kata Liam sambil tersenyum setengah, lalu mengecup keningnya, "Tetapi jangan terlalu lama."
Lalu ia berdiri, berjalan ke kamar mandi untuk mandi, meninggalkan Madeline sendirian di dapur. Madeline menunduk menatap piring di hadapannya, yang kini sudah dingin. Kata-kata Liam masih bergema di kepalanya seperti lagu yang mustahil dilupakan:
"Ikutlah denganku, Madeline."
Dan untuk pertama kalinya dalam waktu yang sangat lama, ia tidak tahu apakah ia harus tetap tinggal... atau melompat ke dalam ketidakpastian.