tidak mudah bagi seorang gadis desa seperti Gemi, untuk menjadi seorang prajurit perempuan elit di kerajaan, tapi yang paling sulit adalah mempertahankan apa yang telah dia dapatkan dengan cara berdarah-darah, intrik, politik, kekuasaan mewarnai kehidupannya, bagaimana seorang Gemi bertahan dalam mencapai sebuah kemuliaan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon mbak lee, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Danau berkabut
Aku masih ingat bahan obat yang Ki Paing berikan padaku waktu itu, aku mengumpulkan beberapa daun dan umbi yang sama, memerintahkan Lakso membuat api dan merebusnya di tempayan bekas,
aku juga mengambil beberapa buah ubi, dan memberikan pada anjing itu, Lakso menertawakanku
" serigala makan daging, kau pikir dia mau makan singkong rebus ?"
aku merenggut dan merasa dihina,
" Kau pikir aku akan dapat daging darimana, bahkan aku sendiri makan daging setahun sekali ketika perayaan, dia akan makan ubi itu atau mati kelaparan " kataku tegas.
serigala itu mulai mengendus rebusan setengah matang singkong, dan diluar prediksi dia memakannya, aku tertawa merasa menang.
beberapa pohon mengeluarkan getahnya, apabila tangan kami terluka ringan, getah pohon Ari-ari akan menjadi alternatif, karena luka anjing ini cukup besar, tidak mungkin bagiku untuk cukup mendapatkan getah, aku memutar otak dan menumbuk daunya, serigala itu menjadi baik kepada kami, walaupun masih takut aku coba menempelkan obat buatanku itu.
" dengar ini akan meringankan lukamu, aku berniat baik dan jangan melukaiku, atau aku akan marah dan membunuhmu dengan parangku , kau lihat kami berdua bersenjata " kataku dengan sedikit mengancam.
serigala itu diam tak bereaksi, aku mulai menempelkan tumbukan daun, sedangkan Lakso memberinya minum ramuan buatanku, kemudian kami berdua juga membelai halus kakinya yang tampaknya patah, lakso menyangga kaki itu dengan ranting dan mengikatnya dengan tali terbuat dari pelepah pohon pisang, setelah merasa cukup kembali kami meninggalkan serigala itu, tapi aku tiba-tiba begidik ngeri dan merasa beberapa pasang mata sedang mengawasi kami.
" ayo cepat " kataku memerintah
" ada apa ?" Tanya Lakso
" entahlah, aku merasa kita sedang diawasi " kataku.
setelah memasuki kampung barulah aku merasa lega,
" rumahmu rame sekali " rumah Ki Karsa berada di ujung desa hampir mepet ke hutan, dan rumah itu biasanya sepi hampir tanpa penghuni, Ki Karsa dan istrinya akan sering berjualan, dan Lakso biasanya di rumah sendirian, tapi hari itu aku melihat tiga orang dengan pakaian sedikit aneh berada di teras rumah keluarga itu,
" Siapa mereka ?" Tanya lakso
" Kenapa mereka berbaju seperti itu ?" kami mendekat dengan saling melempar tanya,
" siapakah paman-paman ini, dan sedang menunggu siapa ?" Tanya Lakso ketika kami sudah berada dekat dengan mereka.
" Apakah kalian pemilik rumah ini ?" Tanya seorang paman yang brewok, Lakso mengangguk
"Apa kau anak penjual garam?" Tanya paman yang lain, Lakso menggangguk tapi tampak mulai panik
" ada apa dengan kedua orang tua ku ?" Tanya lakso
" berapa umurmu?" tapi paman brewok itu tidak menjawab malah memberikan pertanyaan lain
" sembilan tahun" jawab lakso cepat, dengan jawaban cepat itu mereka saling mengangguk, seperti memberi kode satu dengan yang lain.
"ada apa dengan Bapak dan emak " kata Lakso mulai meninggikan suaranya,
" tidak ada apa-apa, kau ikut kami saja dulu nanti kau akan bertemu dengan orang tuamu " kata paman Brewok itu lagi, paman ini mencurigakan, aku memegang tangan Lakso,
" Tunggu, jangan percaya begitu saja, sebaiknya kita cari orang tua " kataku sambil memegang tangan Lakso dan mengajaknya untuk menghindari empat orang paman yang aneh itu.
tapi ketiga orang itu tidak melepaskan kami begitu saja,
" ahhh kenapa kalian terburu-buru" kata paman yang kurus dengan nada lebih lembut tapi mengejek kami, aku memegang parang dan tentu saja aku bersiap untuk melawan kalau paman-paman itu berniat jahat pada kami.
" kami bersenjata, lepaskan kami atau kami akan melawan " bentaku
tapi dengan bentakanku berderailah tawa dari ketiga orang paman itu, baginya mungkin aku hanya anak-anak tidak tahu diri, aku bersiap dan semakin yakin kalau mereka datang bukan dengan niat baik.
kami mundur bersamaan dan lari menuju perkampungan yang lebih ramai, tapi baru beberapa langkah ketiga paman besar itu sudah menghadang langkah kami, aku mulai memegang parang dan mengacungkan kepada mereka, parang karatan punyaku kemudian dibalas dengan pedang mengkilat punya mereka, kalau boleh aku sempat merasa kagum dengan pedang milik paman itu, pasti barang mahal.
melihat kami terkepung mereka terkekeh, aku berteriak sekuat tenaga
" tolong ... orang jahat ... tolong "
kemudian tanpa berbasa-basi dengan sekali gerakan, jatuhlah parang kami berdua, mereka memiting Lakso dengan sangat mudah, tapi aku tidak bisa diam begitu saja, tanganku kebas tapi kepalaku tidak, aku langsung menubruk paman yang memegang Lakso, sebentar paman itu mengaduh dan sesaat Lakso pun terbebas, hanya beberapa detik kemudian Lakso sudah berhasil mereka piting lagi dan diseret dengan paksa ke kuda mereka.
Setelah menubruk sebentar aku oleng, tapi melihat temanku dibawa orang yang tidak kukenal, aku menjadi marah sekali, sekali lagi aku menghambur kepada paman itu, memegang betis kakinya dan kami saling bertahan, paman itu berusaha melepaskan pelukanku dari kakinya, sementara aku terus bertahan, sampai aku benar-benar menggigit paman itu dengan semua tenagaku, paman itu menjerit-jerit dan sebelum aku tiba-tiba merasa sakit sekali di tengkuk, kemudian terasa dingin ... pandanganku mengabur sambil melihat Lakso naik kuda bersama paman-paman besar itu.
Aku berada di dekat danau berkabut, tapi aku tidak tahu ini dimana, aku hanya sendirian disana, aku menoleh kesekitaran tapi tidak menemukan apapun,
"Apa aku di surga ?" tanyaku kepada diri sendiri, aku mencoba mencubit langanku dan terasa sakit,
" bukan mimpi " gunamku lagi.
aku kemudian mengelilingi danau itu berharap menemukan sesuatu, sampai aku melihat sebuah gubuk di tepi danau, dengan sedikit berlari aku mendatangi gubuk itu, kemudian seorang nenek tua yang mirip nenekku keluar, nenek ini sangat mirip nenek hanya saja tidak mempunyai tompel sebesar anak tikus di dekat kupingnya, dan mempunyai rambut yang masih hitam, tidak seperti nenek yang rambutnya putih dengan anak rambut yang sering keluar dari sanggulnya.
" nenek ini dimana ?" tanyaku tanpa menyapa
nenek itu mengkerutkan kedua alisnya
" Kau bocah nakal kenapa bisa sampai disini ?" Tanya nenek itu
" aku Gemi nek, dari Desa Bubusan " kataku kemudian memperkenalkan diri
" aku tidak pernah dengar nama desa itu " kata nenek itu sambil mengibaskan tanganya
" aku belum mati kan nek? ini bukan di surga kan nek ?" tanyaku lagi
" aku tidak tahu " kata nenek itu
" ini dimana nek? " ulang pertanyaanku
" aku tidak tahu " kata nenek itu
" Apa yang nenek tahu? " tanyaku semakin penasaran
" kamu bernama Gemi dari Bubusan " katanya sesuai perkenalan, aku sangat frustasi
" Apakah ketiga paman itu membawaku dan membuangku disini? bagaimana nasib Lakso " gumanku, aku tidak bisa mendapatkan informasi dari nenek aneh ini, aku tidak melihat luka di badanku atau tengkukku yang sakit sebelum pingsan,
aku menghempaskan pantatku ke tanah, duduk disana beberapa waktu mencoba menganalisa apa yang sebenarnya terjadi padaku.