Fahira Azalwa, seorang gadis cantik yang harus menelan pahitnya kehidupan. Ia berstatus yatim piatu dan tumbuh besar di sebuah pesantren milik sahabat ayahnya.
Selama lima tahun menikah, Fahira belum juga dikaruniai keturunan. Sementara itu, ibu mertua dan adik iparnya yang terkenal bermulut pedas terus menekan dan menyindirnya soal keturunan.
Suaminya, yang sangat mencintainya, tak pernah menuruti keinginan Fahira untuk berpoligami. Namun, tekanan dan hinaan yang terus ia terima membuat Fahira merasa tersiksa batin di rumah mertuanya.
Bagaimana akhir kisah rumah tangga Fahira?
Akankah suaminya menuruti keinginannya untuk berpoligami?
Yuk, simak kisah selengkapnya di novel Rela Di Madu
By: Miss Ra
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Miss Ra, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Part 18
Zidan akhirnya memutuskan untuk tidak masuk kantor hari ini. Ia menyerahkan semua urusan kepada asistennya, termasuk menunda rapat hingga besok atau lusa. Tanpa diduga, hari ini Zidan harus menghadapi masalah di rumahnya sendiri.
Di dalam kamar, Zidan masih berusaha menenangkan Fahira. Sementara itu, Viola duduk di meja makan bersama Ibu Zubaidah dan Eva yang bersiap berangkat ke kampus.
Viola menyuap nasi gorengnya perlahan sambil sesekali menatap mertuanya. Pikiran gadis itu penuh tanda tanya. Ibu Zubaidah yang merasa diperhatikan akhirnya menatap balik Viola.
"Ada apa, Vio? Kau mau tambah nasi gorengnya?" tanya Bu Zubaidah, tidak mengerti dengan tatapan menantunya.
"Tidak, aku hanya sedang berpikir saja," jawab Viola, masih mengunyah nasi di mulutnya.
"Berpikir apa? Tentang Fahira? Tidak perlu kau pikirkan. Dia memang selalu melawan ucapanku!" ujar Bu Zubaidah ketus.
Violq terdiam sesaat, lalu menatap sang mertua dengan ekspresi tenang namun tajam.
"Kalau aku tidak bisa hamil seperti Mbak Fahira, apa Ibu akan menyuruh Tuan Zayn menikah lagi untuk ketiga kalinya? Dan memperlakukan aku seburuk itu juga?"
"Uhuk-- uhuk-- uhuk!" Bu Zubaidah tersedak mendengar pertanyaan yang begitu blak-blakan itu.
Eva yang ikut mendengar langsung bereaksi, wajahnya memerah menahan emosi.
"Apa maksudmu?! Bicara yang sopan kalau dengan Ibu!" bentak Eva keras.
Viola hanya menatapnya datar sambil tetap menyuap nasi goreng ke dalam mulutnya.
"Ucapan mana yang tidak sopan? Aku hanya bertanya, tidak membentak ibumu," sahutnya santai.
"Walaupun tidak membentak, perkataanmu itu tidak sopan! Apa kau tidak diajari sopan santun oleh orang tuamu?!"
BRAAAK!
Viola menggebrak meja dan berdiri. Tatapannya tajam menusuk Eva. Meskipun yatim piatu, Viola tidak akan pernah membiarkan siapa pun merendahkan orang tuanya.
"Hei, kau! Dengar baik-baik ya, anak manja! Kau pikir perlakuanmu terhadap kakak iparmu itu sopan, hah?!"
Zidan yang masih di kamar bersama Fahira langsung menoleh ke arah pintu ketika mendengar keributan di luar.
"Astagfirullah--- ada apa lagi ini? Baru saja tenang, sudah ribut lagi!" gumam Zidan kesal.
Ia bangkit, mengajak Fahira keluar untuk melihat apa yang terjadi. Sesampainya di luar, mereka melihat Viola dan Eva saling menatap tajam di meja makan. Eva terlihat menenangkan ibunya yang masih batuk-batuk.
"Ada apa ini?!" tanya Zidan tegas.
"Itu, Kak-- Kak Vio bicara tidak sopan pada Ibu sampai Ibu tersedak!" jawab Eva cepat.
Zidan menatap Viola, yang berdiri dengan tangan bersedekap dan senyum sinis di bibirnya.
"Vio--!" panggil Zidan tegas.
Viola mendekat dan menjelaskan dengan nada tenang.
"Aku hanya bertanya begitu, dan aku tidak membentaknya. Aku tidak bermaksud membuat Ibumu tersinggung."
Zidan menarik napas panjang, lalu berjalan menuju sofa ruang keluarga. Ia duduk dan memijat pangkal hidungnya, berusaha berpikir jernih.
"Ya Allah-- kalau semua berkumpul seperti ini, entah apa yang akan terjadi besok. Apa aku harus menyewa rumah lain untuk Fahira dan Viola?" gumamnya dalam hati.
Fahira yang melihat suaminya kebingungan mendekat dan berbisik lembut.
"Sabar, Bang. Mungkin ini ujian dari Allah untuk rumah tangga kita."
"Entahlah, Aira. Aku rasanya tidak bisa berpikir jernih. Sebenarnya apa yang diinginkan Ibu?" balasnya lirih. "Sebaiknya kita pindah saja. Lama-lama kepalaku bisa pecah kalau setiap hari seperti ini."
Eva yang mendengar justru menimpali dengan nada menyindir.
"Lihat itu! Kak Zidan sampai pusing gara-gara dua istrinya yang selalu melawan Ibu!"
"Eva! Bisa diam tidak! Kakak tidak pernah mengajarimu bersikap seperti itu pada yang lebih tua!" bentak Zidan marah.
"Tapi, Kak---"
"Diam!"
Eva terkejut, matanya memanas. Ia merasa tak dibela oleh kakaknya sendiri. Dengan kesal, ia menghentakkan kakinya, menyambar tas, lalu pergi menuju kampus tanpa menoleh lagi.
Ibu Zubaidah hendak mengejar putrinya, tapi langkahnya terhenti ketika Zidan memanggil.
"Bu! Bisa kita bicara sebentar?" Ibu Zubaidah menoleh dengan wajah khawatir.
"Sayang, dan kau, Vio. Kembali ke kamar masing-masing. Aku mau bicara dengan Ibu."
Keduanya menurut dan pergi ke kamar masing-masing. Zidan lalu menggandeng tangan ibunya menuju sofa.
"Bu, boleh Zidan bertanya sesuatu?" tanyanya pelan dengan tatapan kecewa.
Ibu Zubaidah mengangguk.
"Bu-- apa Ibu menyayangi Zidan?"
"Kenapa kau bertanya begitu, Nak? Tentu saja Ibu sangat menyayangimu."
"Kalau begitu, berarti Ibu juga bisa menerima semua keputusan dan pilihanku," ujar Zidan menahan emosi.
"Bu, Zidan sangat mencintai Fahira. Zidan juga menyayangi Ibu. Kalau harus memilih, aku tidak bisa. Karena kalian berdua sama-sama di hatiku. Tapi Zidan mohon, jangan lagi mengusik Fahira. Dia istri yang sangat aku cintai. Aku tidak bisa hidup tanpanya. Kalau sampai Fahira meninggalkan aku karena perlakuan Ibu, Zidan akan sangat kecewa--.dan mungkin tidak akan pulang lagi ke rumah ini."
Mata Ibu Zubaidah membulat. Air matanya menetes mendengar ultimatum putra yang paling ia sayangi itu. Ia mengusap wajah Zidan dengan lembut.
"Ternyata sebesar itu cintamu padanya, Nak-- bahkan lebih besar daripada cintamu pada Ibu," gumamnya pelan.
"Baiklah. Ibu tidak akan lagi mengusik kedua istrimu. Ibu juga tidak akan bicara apa-apa dengan mereka, kecuali kalau benar-benar perlu."
Setelah mengatakan itu, Bu Zubaidah berdiri dan berjalan pergi meninggalkan Zidan yang masih duduk diam.
Zidan menghela napas panjang. Berurusan dengan tiga wanita sekaligus membuat kepalanya serasa berputar. Ia pun bangkit dan berjalan menuju kamarnya.
Fahira yang duduk di tepi kasur segera menghampiri begitu pintu terbuka. Ia memeluk suaminya erat.
"Sabar, Bang," bisiknya lembut.
"Aku akan pergi keluar sebentar. Aku harap hal seperti ini tidak terjadi lagi," ucap Zidan pelan.
Ia melepaskan pelukan Fahira, mengambil kunci mobil di atas nakas, lalu berjalan keluar rumah untuk menenangkan diri. Fahira hanya bisa berdiri di tempat, menatap kepergian suaminya dengan hati yang penuh harap.
~~
Setelah Zidan pergi, suasana rumah itu perlahan menjadi tenang. Tidak ada lagi suara bentakan atau perdebatan yang memecah udara. Hanya terdengar detik jam dinding dan angin lembut yang sesekali menyelinap lewat celah jendela ruang tamu.
Fahira masih duduk di tepi tempat tidur dengan wajah lelah. Viola di kamarnya hanya menatap langit-langit, memikirkan kata-kata Zidan dan sikap Ibu Zubaidah. Sedangkan sang ibu sendiri, memilih berdiam di kamar, berdoa dalam hati sambil menahan sesak di dada.
Di tengah keheningan itu, Viola mulai merasa lapar. Sejak pagi tadi, ia belum makan apa pun lagi karena suasana rumah yang terus menegangkan. Dengan hati-hati ia menuruni tangga, berusaha tidak menimbulkan suara.
Langkahnya perlahan, tapi suara anak tangga tetap berderit pelan di setiap pijakan. Viola menoleh ke kanan dan kiri, memastikan tidak ada yang memperhatikannya. Setelah sampai di bawah, ia menuju dapur.
Aroma nasi goreng sisa sarapan tadi masih tercium samar. Viola membuka kulkas, mengambil beberapa bahan sederhana_ telur, sosis, dan sedikit sayuran. Ia mulai memasak dengan tenang, menyalakan kompor dan mengocok telur dalam mangkuk kecil. Suara minyak panas yang meletup di wajan membuat suasana dapur sedikit hidup.
"Lumayan-- buat ganjal perut," gumam Viola sambil mengaduk masakannya.
Namun, tanpa ia sadari, Fahira, terbangun karena aroma harum yang tercium dari arah dapur. Perutnya yang sejak pagi belum diisi membuatnya ikut tergoda. Ia mengenakan cardigan dan berjalan keluar kamar, langkahnya pelan tapi pasti menuju dapur.
"Siapa yang masak?" pikir Fahira sambil mengerutkan kening.
Begitu sampai di ujung koridor, Fahira melihat sosok Viola berdiri di depan kompor, rambutnya yang terurai menutupi sebagian wajah, tangan sibuk membalik sosis di wajan.
"Viola?" panggil Fahira pelan.
Viola menoleh cepat, sedikit terkejut, lalu tersenyum tipis.
"Oh, Mbak Fahira-- maaf, aku kebetulan lapar. Nggak ganggu, kan?"
Fahira mendekat sambil tertawa kecil.
"Ganggu sih nggak, cuma aku kira tadi Ibu. Kupikir rumah ini belum tenang, eh ternyata kamu yang ada di dapur."
Viola hanya membalas dengan tersenyum.
...----------------...
Bersambung....
ko jadi gini y,,hm
jalan yg salah wahai Zidan,emang harus y ketika kalut malah pergi k tempat yg gak semestinya d datangi,Iyu mah sama aja malah nyari masalah..
dasar laki laki
drama perjodohan lagi