Mereka bilang, Malaikat ada di antara kita.
Mereka bilang, esok tak pernah dijanjikan.
Aku telah dihancurkan dan dipukuli, tapi aku takkan pernah mati.
Semua darah yang aku tumpahkan, dibunuh dan dibangkitkan, aku akan tetap maju.
Aku telah kembali dari kematian, dari lubang keterpurukan dan keputusasaan.
Kunci aku dalam labirin.
Kurung aku di dalam sangkar.
Lakukan apa saja yang kalian inginkan, karena aku takkan pernah mati!
Aku dilahirkan dan dibesarkan untuk ini.
Aku akan kembali dan membawa bencana terbesar untuk kalian.
- Damien Ace -
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ferdi Yasa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 5 Mungkin Salah Mengira
Rayyan baru kembali dari bulan madunya dengan Manda hari ini. Karena Alex dan Eve juga sempat pergi bulan madu, Rayyan tak mungkin meninggalkan perusahaan kosong.
Jadi, begitu Alex kembali, giliran Rayyan yang pergi bersama Manda. Ia bahkan tidak hanya mengambil cuti beberapa hari—melainkan satu bulan penuh.
Mengingat selama ini Rayyan nyaris tak pernah mengambil cuti, Alex memberikannya tanpa banyak tanya.
Namun sebelum Rayyan benar-benar kembali ke rumah, Alex sempat mengirimnya ke cabang perusahaan untuk menyelesaikan sedikit masalah di sana. Maka, baru hari ini Rayyan dan Manda benar-benar pulang.
Sebenarnya Manda sudah sangat lelah sejak tadi, tapi matanya langsung terbuka saat menyadari mobil mereka tidak mengambil jalan menuju apartemen Rayyan.
“Ray, kau mau mengajakku ke mana lagi?” tanyanya curiga.
“Pulang.”
“Tapi ini bukan jalan pulang.” Manda melirik sopir di depan, namun pria itu tetap diam. Ia menatap Rayyan lagi, dan suaminya hanya membalas dengan senyum samar.
Ini memang bukan jalan ke apartemen Rayyan—bukan juga ke apartemennya sendiri. Tapi Manda mulai mengenali arah itu. Mereka menuju kawasan tempat Alex tinggal.
Ia sempat berpikir kalau Rayyan hanya ingin mampir, tapi mobil itu malah terus melaju, melewati rumah Alex begitu saja.
“Ray, kita tidak—”
“Tidak. Aku sudah bilang, aku akan membawamu pulang.”
Mobil berbelok ke gang kedua, lalu melambat. Seorang penjaga gerbang segera membuka pintu begitu melihat mobil mereka datang.
Rumah itu berdiri anggun, dengan gaya yang mengingatkan Manda pada rumah Alex.
Halamannya luas, rerumputan hijau menutupi tanah, dan sebuah taman kecil mempermanis sudutnya.
Bukan rumah yang terlalu besar, tapi bagi Manda, tempat itu terasa sangat mewah dan hangat. Warna putih mendominasi seluruh bagian, memberi kesan bersih dan tenang.
“Ray … rumah siapa ini?” tanyanya, masih menatap bangunan itu dengan mata berbinar.
“Rumah kita. Mulai hari ini, kita akan tinggal di sini. Semua barang-barangmu sudah ada di dalam.” Rayyan tersenyum tipis. Tatapannya dalam, penuh kasih.
“Ray ….” Suara Manda bergetar. Air matanya menggenang, berkilau di bawah lampu halaman. Tanpa sadar, kedua tangannya melingkari leher Rayyan, memeluk pria itu erat-erat. “Terima kasih ….”
“Tidak. Aku yang berterima kasih karena kau sudah memilihku. Memberi rumah ini—itu kewajibanku sebagai suami.”
“Tetap saja aku ingin berterima kasih,” ucap Manda lembut, mencium pipi Rayyan sekilas.
“Hanya itu?”
“Apa?”
“Aku butuh ucapan terima kasih yang lebih dari itu.”
Manda terkekeh kecil. “Rayyan, kau sadar tidak? Sekarang kau jadi lebih cerewet.”
“Aku hanya cerewet pada orang-orang tertentu,” balas Rayyan sambil mengangkat tubuh mungil istrinya ke dalam gendongan. “Ayo, kita lihat kamar baru kita. Aku penasaran, kasurnya cukup nyaman atau tidak.”
“Jangan berpikir aneh-aneh. Kita baru sampai, dan aku tidak mau melakukannya. Lagipula, kau berkeringat.”
“Kau menolak, tapi di saat yang sama memberiku ide,” ujar Rayyan dengan senyum nakal. “Sekarang aku justru tertarik mencoba kamar mandinya.”
Para pelayan baru di rumah mereka berdiri berbaris di depan pintu, membungkukkan badan dalam sapaan hormat.
Rayyan hanya membalas dengan anggukan tipis sebelum melewati mereka. Ia sudah tidak sabar mencoba bathtub di kamar mandi.
“Setidaknya biarkan aku melihat rumah baru kita dulu,” kata Manda setengah protes.
“Kita punya banyak waktu untuk itu. Nanti kau bisa melihat sepuasnya. Sekarang kau juga berkeringat—aku harus membantumu membersihkan diri.”
“Aku bisa melakukannya sendiri.”
“Aku yang mengajukan diri, dan aku tidak ingat perlu meminta persetujuanmu,” balas Rayyan, sudut matanya berkilat licik.
Pria itu mendudukkan Manda di atas meja, lalu mulai melepaskan bajunya satu per satu.
“Tunggu sebentar. Jangan bergerak dari situ. Aku akan menyiapkan air untuk kita.”
Rayyan menunduk sedikit, melepas pakaiannya dengan hati-hati, lalu berjalan ke kamar mandi. Baru beberapa langkah, dia menoleh lagi—sekadar memastikan Manda tidak berpindah tempat.
“Ray, aku bukan anak kecil yang akan jatuh hanya karena duduk di sini.”
“Bukankah memang begitu?”
“Kau bilang apa tadi?”
“Tidak ada,” jawabnya cepat. Rayyan melepas kemejanya sepenuhnya, melemparkannya ke keranjang pakaian kotor sebelum menyalakan air dan mulai mengisi bak mandi.
Padahal setiap hari Manda melihat tubuh suaminya tanpa busana, tapi entah kenapa ia tak pernah merasa bosan. Punggung itu lebar, kokoh, seolah hanya tersusun dari otot dan tenaga.
“Memandangi saja tidak akan membuatmu puas,” ucap Rayyan tanpa menoleh, lalu mendekat dan mengangkat tubuh Manda, membawanya masuk ke dalam bak air.
Sementara itu, semua barang-barang mereka masih di mobil. Sopir sudah membawanya masuk, tapi hanya berani meletakkannya di sofa luar.
Pintu kamar pasangan itu tertutup rapat—tidak ada yang berani mengetuk.
Sampai waktu makan malam tiba, belum ada tanda-tanda dari mereka.
Makanan sudah siap, tapi tak seorang pun berani mengganggu. Akhirnya, pelayan memutuskan untuk menyimpan makan malam itu di lemari pendingin.
Namun belum lama mereka menutup pintu kulkas, Rayyan muncul, berjalan santai sambil mengenakan kausnya.
“Maaf, Pak. Kami pikir Anda tidak akan keluar. Kami baru saja menyimpan makan malamnya, akan kami hangatkan kembali sebentar,” ucap salah satu pelayan buru-buru.
“Tidak perlu. Istriku sudah tidur. Simpan saja di sana, hangatkan kalau nanti dia lapar. Kalau dia bangun, katakan aku pergi sebentar,” ujar Rayyan datar. Ia mengambil sebotol air dingin, meneguknya cepat, lalu pergi terburu-buru.
Baru saja Nic menghubunginya, mengatakan bahwa mereka sedang menunggunya di rumah Alex.
Untung jarak rumahnya tak jauh, jadi Rayyan tiba dalam waktu singkat.
Nic dan Alex tampak sedikit terkejut melihat kedatangannya yang begitu cepat.
“Aku baru kirim pesan, belum lima menit, tapi kau sudah muncul di sini. Apa kau memang bergentayangan di mana-mana?” Nic sambil menatapnya, menelisik.
“Kau sudah pindah ke sini, Ray?” tanya Alex.
“Baru saja.”
“Pindah? Ke mana?” Nic menatap mereka bergantian, tapi tak satu pun menjawab. Alex dan Rayyan malah berjalan melewatinya begitu saja.
“Hei! Aku masih bicara dengan kalian.” Nic mempercepat langkah, menyusul mereka.
“Aku pindah ke kawasan ini. Di gang kedua.” Akhirnya Rayyan menjawab tanpa menoleh.
“Sungguh? Kenapa aku baru tahu? Mungkin aku juga harus pindah ke sini.”
“Tidak ada unit kosong untukmu,” potong Alex cepat.
“Kenapa tidak?”
“Karena aku yang memberikan rumah itu untuk Rayyan. Dan aku akan memastikan tidak ada unit tersisa di sekitar sini untukmu. Kalau kau tinggal di dekatku, Damien dan Daisy tidak akan pernah mau pulang. Lebih baik kau dan Nelly tetap di tempat kalian sekarang.”
“Ck! Tapi mungkin kau benar. Dua anakmu itu … semakin dewasa, semakin berbahaya.”
Mereka masuk ke ruang kerja Alex. Pintu tertutup rapat, menyisakan keheningan berat yang hanya dipecah oleh suara langkah mereka.
Mengenai Laura, Alex langsung mengambil tindakan. Saat itu juga, ia memerintahkan agar keberadaan wanita itu dilacak.
Tak lama, Rayyan mendapat kabar: Laura menaiki kereta menuju kampung halamannya—dan kereta itu telah berangkat lima menit yang lalu.
Rayyan menatap layar ponselnya beberapa saat sebelum memutus sambungan. “Dia pergi setelah mendengar kabar kematian Eldy, tanpa sekalipun menengok makamnya. Ada kemungkinan besar dia akan kembali lagi, Tuan.”
“Masukkan dia ke daftar hitam,” perintah Alex datar. “Jika dia terdeteksi memasuki kota ini lagi, segera laporkan padaku. Jangan beri dia celah, sekecil apa pun.”
Nada suaranya keras, tapi di balik itu tersimpan sesuatu yang lebih dalam—kewaspadaan dari seseorang yang sudah terlalu mengenal bahaya bernama Laura.
Ketegangan di ruangan itu terhenti sejenak ketika ponsel Nic berdering.
“Nelly.” Ia berdiri, melangkah ke dekat jendela, menjauh sedikit dari mereka.
“Iya, Nell?”
“….”
“Kenapa? Ada sesuatu?”
“….”
“Aku akan segera pulang.”
Nada suaranya berubah tajam, dan itu cukup untuk membuat Alex menatapnya serius. “Ada masalah?” tanyanya.
“Nelly memintaku pulang. Aku harus pergi sekarang.” Nic segera mengenakan blazernya, meraih kunci mobil, lalu keluar tergesa.
Nelly memang tidak menjelaskan banyak, tapi nada suaranya tadi—cemas, nyaris panik—tidak seperti biasanya. Dan itu cukup membuat Nic tak tenang.
Begitu tiba di apartemen, ia langsung menemukan Nelly duduk di ruang tamu, menunggunya.
“Nic ….”
“Ada apa? Anak-anak baik-baik saja?” tanyanya cepat.
“Mereka tidur. Tapi ….”
Nic mendekat, menarik pinggang Nelly ke dalam pelukannya. “Katakan saja.”
Nelly menatapnya dengan ragu. “Aku tidak yakin … tapi aku merasa ada seseorang di bawah sana. Dia berdiri lama, menghadap ke arah apartemen ini.”
Nic segera berjalan ke jendela, menyingkap tirai.
“Di sana, Nic!” Nelly menunjuk ke arah gang di depan apartemen. “Aku melihatnya beberapa kali. Dia berdiri di situ, menatap ke atas.”
“Kau melihat wajahnya?”
“Tidak. Dia memakai jaket hitam dengan tudung kepala dan celana panjang. Tapi … mungkin aku salah lihat. Aku tidak yakin.”
Nic memperhatikan jalan di bawah—kosong. Hanya beberapa pejalan kaki lewat dengan langkah acak.
Ia menutup tirai, mengusap punggung Nelly perlahan. “Sudahlah. Jangan khawatir. Aku di sini. Tidak ada yang akan terjadi padamu.”
Melihat wajah Nelly yang masih tegang, Nic menggandeng tangannya, membawanya ke kamar. Damien dan Daisy sudah lelap di kamar sebelah, napas keduanya tenang dan teratur.
Malam semakin larut ketika telepon dari Alex masuk.
Nic menjelaskan apa yang baru saja terjadi.
Setelah mendengarnya, Alex terdiam lama, matanya menatap ke satu titik tanpa fokus.
“Ada masalah dengan anak-anak?” Rayyan memecah diam itu.
“Tidak.” Alex menatapnya sekilas. “Di mana Edgar sekarang?”
***