NovelToon NovelToon
Mirror World Architect

Mirror World Architect

Status: sedang berlangsung
Genre:Fantasi / Anak Genius / Horror Thriller-Horror / Epik Petualangan / Dunia Lain / Fantasi Wanita
Popularitas:2.2k
Nilai: 5
Nama Author: PumpKinMan

Satu-satunya hal yang lebih buruk dari dunia yang rusak adalah mengetahui ada dunia lain yang tersembunyi di baliknya... dan dunia itu juga sama rusaknya.

Rania (21) adalah lulusan arsitektur terbaik di angkatannya. Sekarang, dia menghabiskan hari-harinya sebagai kurir paket. Baginya, sarkasme adalah mekanisme pertahanan, dan kemalasan adalah bentuk protes diam-diam terhadap industri yang menghancurkan idealisme. Dia hanya ingin hidup tenang, mengabaikan dunia, dan membayar sewa tepat waktu.

Tapi dunia tidak mau mengabaikannya.

Semuanya dimulai dari hal-hal kecil. Bayangan yang bergerak sepersekian detik lebih lambat dari seharusnya. Sensasi dingin yang menusuk di gedung-gedung tua. Distorsi aneh di udara yang hanya bisa dilihatnya, seolah-olah dia sedang melihat kota dari bawah permukaan air.

Rania segera menyadari bahwa dia tidak sedang berhalusinasi. Dia adalah satu-satunya yang bisa melihat "Dunia Cermin"-sebuah cetak biru kuno dan dingin yang bersembunyi tepat di balik realita

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon PumpKinMan, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

BAB 31: JALAN TIKUS DI BAWAH LANGIT ORANYE

Pukul 03.34 dini hari.

*KLANG.*

Pintu kontainer ditutup oleh Rania untuk terakhir kalinya. Suara itu terdengar sangat keras di dalam gua beton "Elysian Spire", sebuah tanda titik yang final dan mematikan.

Kegelapan total kembali.

"Tetap di bayang-bayang," suara Rania memecah kegelapan. Datar. Tanpa emosi. "Jaga jarak tiga meter di belakangku. Jangan bicara. Jangan lari kecuali aku berlari. Dan jangan, dalam keadaan apa pun, menyalakan senter."

Santi, yang masih mencengkeram ban kempes kecil, menelan ludah. "Bagaimana kita—"

"Aku tidak perlu senter," kata RANIA. "Aku hafal jalan ini."

Dia melangkah keluar dari bayangan trailer. Dia adalah yang pertama.

Dia bergerak dengan efisiensi yang cair dan menakutkan, kakinya yang bersepatu kebesaran nyaris tidak menimbulkan suara di lantai beton yang berpasir. Amulet obsidian di balik kemejanya terasa dingin, menenangkannya, membisukan dunia Gema dan menjernihkan pikirannya.

Reza dan Santi mengikuti. Mereka adalah kebalikannya. Mereka *berisik*.

Reza gemetar begitu hebat hingga tiga botol air di ikat pinggangnya saling berbenturan pelan. *Klik... klik...* Dia buru-buru memegangi botol-botol itu, matanya melesat liar ke setiap sudut gelap lobi parkir.

Santi, yang tidak terbiasa bergerak diam-diam, menyeret sol sepatunya sedikit, dan napasnya terdengar pendek dan panik.

"Reza," desis RANIA tanpa menoleh. "Pegang botol-botol itu. Santi. Angkat kakimu. Kalian berdua terdengar seperti kerbau yang panik."

Perkataan itu, begitu dingin dan brutal, membuat keduanya terdiam karena malu dan takut. Mereka mencoba meniru gerakan Rania yang sunyi.

Mereka sampai di celah pagar seng yang telah dirusak Rania. Dia mengintip ke luar.

Jalanan itu kosong.

Tapi itu adalah kekosongan yang *salah*.

Kota itu tidak pernah setenang ini. Biasanya, bahkan pada pukul 3 pagi, akan ada suara truk sampah di kejauhan, atau raungan motor yang kesepian. Sekarang, satu-satunya suara adalah angin malam yang berembus pelan, membawa bau ozon dan abu yang samar. Dan, jika Rania berkonsentrasi, dia bisa mendengar gema sirene yang sangat jauh, bermil-mil jauhnya.

Dan langit... langit berdenyut.

Cahaya oranye sakit-sakitan dari Blok M, yang kini berada bermil-mil di belakang mereka, memancar ke bagian bawah awan-awan rendah. Itu menciptakan sebuah neraka palsu di atas kepala mereka. Cahaya itu memandikan jalanan dengan warna yang tidak wajar, membuat bayangan-bayangan melompat dari mobil-mobil yang ditinggalkan dengan cara yang grotesk.

Rania memberi isyarat tangan. *Maju.*

Mereka menyelip keluar dari lokasi konstruksi, satu per satu, dan langsung menekan diri mereka ke dalam bayang-bayang dinding ruko.

Rania mengambil titik terdepan. Dia tidak hanya berjalan. Dia bergerak seperti yang telah diajarkan oleh ribuan pengiriman: dari bayangan ke bayangan. Dia bergerak dalam ledakan-ledakan pendek, berlari melintasi celah terang di antara lampu jalan yang rusak, lalu membeku di balik bayangan tempat sampah atau pintu yang menjorok.

Jalanan yang seharusnya mereka lewati adalah kuburan mobil. Puluhan mobil ditinggalkan begitu saja, beberapa dengan pintu terbuka, seolah pengemudinya menguap begitu saja saat "Koreksi" terjadi. Lampu lalu lintas di setiap persimpangan berkedip-kedip tak menentu dalam pola yang rusak—merah, hijau, mati, hijau lagi—sebuah simfoni yang kacau balau.

"Ra..." bisik Reza, suaranya gemetar. Dia terus menatap ke langit. "Mereka... 'ikan-ikan' itu... apa mereka masih di sana?"

"Aku tidak tahu," kata RANIA, suaranya teredam. "Aku 'buta' Gema, sama sepertimu sekarang. Amulet ini memblokir mereka."

"Lalu... bagaimana kamu tahu kita aman?"

"Justru itu," kata RANIA. "Aku *tidak tahu*. Itu sebabnya aku mengasumsikan kita *tidak* aman. Fokus pada ancaman yang bisa kita lihat. Manusia."

Mereka harus menyeberangi jalan yang lebih lebar. Sebuah bulevar dengan empat lajur. Terlalu terbuka.

Rania menghentikan mereka di balik bayangan sebuah kios koran yang tutup. Dia mengamati.

Jalanan itu kosong. Sejauh mata memandang, hanya ada mobil-mobil yang mati.

"Oke," bisik Rania. "Kita akan menyeberang. Satu per satu. Aku dulu. Lalu Santi. Reza, kamu terakhir. Lari cepat ke toko fotokopi di seberang. Jangan berhenti. Pergi."

Rania menarik napas. Dia melesat dari bayang-bayang.

Dia berlari melintasi empat lajur. Gerakannya cepat, gesit, bayangan yang melintasi cahaya oranye.

Dia sampai di seberang. Dia masuk ke pintu toko fotokopi yang pecah. Dia memberi isyarat tangan. *Aman.*

"Oke, Santi. Sekarang," bisik Reza.

Santi mengambil napas. "Ya Tuhan, oke..." Dia berlari. Tas kameranya yang berat (kamera cadangan dan laptopnya) berayun-ayun di sisinya. Dia berlari dengan canggung, tapi dia berhasil. Dia meluncur ke dalam pintu, bergabung dengan Rania.

Sekarang giliran Reza.

Reza menatap jalan terbuka yang menakutkan itu. Dia membeku.

"Za! LARI!" bisik Rania dari seberang.

Reza akhirnya bergerak. Dia berlari.

Tapi kepanikannya membuatnya ceroboh. Kakinya tersandung bemper mobil yang ditinggalkan.

Dia jatuh.

*BRUK! KRAK!*

Dia jatuh dengan keras ke kap mesin mobil, dan salah satu botol air di ikat pinggangnya pecah, mengirimkan pecahan plastik ke mana-mana.

"Sialan!" desisnya.

Suara itu terdengar sangat keras di jalanan yang mati.

"Reza! Bangun!" teriak Santi.

Reza baru saja akan berdiri ketika suara lain bergabung—suara yang tidak seharusnya ada.

*Klang...*

Itu adalah suara dari gang di sebelah kiri mereka. Suara tutup tempat sampah logam yang bergeser.

Reza membeku. Rania, dari seberang jalan, mengangkat pipa rebar-nya, matanya menyipit ke dalam kegelapan.

Sesosok bayangan melangkah keluar dari gang.

Itu bukan tentara. Itu bukan Pria Berpayung.

Itu adalah seorang pria kurus, mengenakan pakaian compang-camping, mendorong gerobak belanja yang penuh dengan sampah elektronik.

Seorang pemulung. Manusia normal.

Pria itu menatap Reza yang jatuh, lalu ke Rania dan Santi di seberang jalan. Matanya liar karena ketakutan dan mungkin putus asa.

"Pergi..." desis pemulung itu, suaranya serak. "Pergi dari sini! Ini... ini wilayahku!"

Reza perlahan bangkit, tangannya terangkat. "Kami... kami tidak mau..."

"Pergi!" teriak pemulung itu, kini lebih histeris. Dia mengangkat sepotong pipa.

"Dia hanya ketakutan," bisik Santi pada Rania.

"Dia 'berisik'," balas RANIA. "Dia akan menarik perhatian."

Benar saja, di kejauhan, Rania melihatnya.

Dua titik cahaya. Lampu depan. Bergerak ke arah mereka. Cepat.

"Patroli!" desis Rania. "Reza! LARI! SEKARANG!"

Teriakan pemulung itu telah menarik perhatian patroli militer yang sedang menyisir.

Reza tidak perlu diperintah dua kali. Dia melesat melintasi sisa jalan, mengabaikan pemulung yang berteriak itu, dan melompat masuk ke pintu toko fotokopi, menimpa Rania dan Santi.

"Masuk! Masuk!" Rania mendorong mereka ke bagian belakang toko.

Mereka bertiga berjongkok di balik mesin fotokopi besar yang mati, tepat saat lampu sorot Humvee menyapu bagian depan toko.

Jantung mereka berdebar kencang. Mereka mendengar Humvee itu melambat.

"Lihat itu?" suara seorang tentara terdengar dari luar. "Pemulung sialan. Hei, kamu! Pergi dari sini! Ini zona karantina! Jam malam!"

Pemulung itu berteriak lagi, kali ini dalam ketakutan.

"Tembak peringatan!"

*BRAP-BRAP!*

Suara tembakan senapan serbu memecah malam. Reza menjerit tertahan.

Mereka mendengar suara gerobak belanja yang didorong dengan panik, lalu suara langkah kaki pemulung itu yang berlari menjauh.

Humvee itu berhenti di depan toko mereka selama sepuluh detik yang terasa seperti sepuluh tahun. Lampu sorotnya menyorot langsung ke jendela yang pecah, menyapu interior yang gelap.

Rania, Reza, dan Santi menahan napas. Mereka tersembunyi di balik bayangan mesin.

"Tidak ada apa-apa," kata suara tentara itu. "Ayo. Sektor ini bikin aku merinding."

Suara mesin diesel meraung. Lampu sorot bergerak pergi. Humvee itu melanjutkan perjalanannya.

Mereka menunggu dalam keheningan selama lima menit penuh.

"Oke," kata RANIA akhirnya, suaranya gemetar—sedikit saja. "Ayo pergi. Kita sudah terlalu 'berisik'."

Mereka menyelinap keluar dari pintu belakang toko fotokopi, kembali ke labirin gang-gang tikus.

Satu jam kemudian, basah oleh keringat dingin dan di ambang kelelahan total, mereka sampai di jalanan tempat mobil Santi diparkir.

Itu ada di sana. Sebuah sedan abu-abu biasa. Utuh. Terlihat sangat normal di tengah kota yang gila itu.

"Ya Tuhan..." bisik Santi, berlari kecil ke arahnya.

"Tunggu!" perintah Rania, menariknya kembali ke bayangan. "Jangan gegabah. Amati dulu."

Mereka menunggu. Lima menit. Tidak ada yang bergerak. Tidak ada Pengamat berpayung. Tidak ada patroli.

"Bersih," kata RANIA. "Oke, Santi. Ini bagianmu. Reza, kamu awasi jalan ke arah timur. Aku awasi barat. Santi, lumpuhkan mobilnya. Kamu punya... tiga menit."

"Aku hanya butuh dua," kata Santi, adrenalin jurnalistiknya bercampur dengan teror.

Mereka bergerak. Reza dan Rania mengambil posisi di sudut-sudut gang, memindai jalanan.

Santi berlari ke mobilnya, membuka kuncinya dengan *bip* pelan. Dia membuka pintu, menyalakan lampu interior (Rania meringis), lalu membuka kap mesin dan bagasi.

"Sialan, Santi, matikan lampunya!" desis RANIA.

"Aku butuh cahaya untuk melihat kotak sekringnya!" balas Santi.

Dari bagasi, Santi mengambil kotak peralatannya. Dia berlari ke depan, membuka kotak sekring di bawah *dashboard*. Tangannya bergerak dengan presisi yang mengejutkan, merobek panel.

"GPS... telematika... modul *on-board*..." gumamnya pada dirinya sendiri.

*KLIK. KLAK.*

Dia menarik dua sekring besar.

"Itu melumpuhkan pelacaknya," bisiknya. "Tapi aku harus memutus antena cadangannya..."

Dia kembali ke bagasi.

"Satu menit!" desis RANIA.

"Aku tahu! Aku tahu!"

Santi merobek lapisan karpet di bagasi. Dia menemukan kabel hitam tipis. Dia mengambil tang potongnya.

*SNIP.*

"Selesai," katanya, terengah-engah. Dia membanting bagasi dan kap mesin hingga tertutup.

"Masuk," perintah RANIA.

Rania dan Reza melesat dari posisi mereka. Mereka bertiga masuk ke dalam mobil. Santi di kursi pengemudi, Rania di kursi penumpang, Reza di belakang.

Santi mengunci pintu. *KLIK.*

Mereka aman. Terkurung dalam kotak logam yang kini *offline*.

Santi memasukkan kunci ke kontak. Jantungnya berdebar. Apakah dia memotong kabel yang salah? Apakah dia baru saja membunuh mobilnya sendiri?

Dia memutar kunci.

Mesin itu menyala dengan dengungan yang sehat dan normal.

Reza tertawa, tawa histeris yang penuh kelegaan.

"Bagus," kata RANIA. "Kerja bagus, Santi."

Itu adalah pujian pertama yang dia berikan.

"Sekarang," lanjut Rania, menunjuk ke depan. "Keluar dari sini. Pelan-pelan. Jangan menarik perhatian. Bawa kita ke 'Kota Hantu'."

Santi menginjak pedal gas, dan sedan abu-abu yang kini menjadi hantu digital itu meluncur diam-diam ke dalam malam yang disinari cahaya oranye.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!