---
📖 Deskripsi: “Di Ujung Ikhlas Ada Bahagia”
Widuri, perempuan lembut yang hidupnya tampak sempurna bersama Raka dan putra kecil mereka, Arkana. Namun di balik senyumnya yang tenang, tersimpan luka yang perlahan mengikis keteguhan hatinya.
Semuanya berubah ketika hadir seorang wanita kaya bernama Rianty — manja, cantik, dan tak tahu malu. Ia terang-terangan mengejar cinta Raka, suami orang, tanpa peduli siapa yang akan terluka.
Raka terjebak di antara dua dunia: cinta tulus yang telah ia bangun bersama Widuri, dan godaan mewah yang datang dari Rianty.
Sementara itu, keluarga besar ikut memperkeruh suasana — ibu yang memaksa, ayah yang diam, dan sahabat yang mencoba menasihati di tengah dilema moral yang makin menyesakkan.
Di antara air mata, pengkhianatan, dan keikhlasan yang diuji, Widuri belajar bahwa bahagia tidak selalu datang dari memiliki… kadang, bahagia justru lahir dari melepaskan dengan ikhlas.
“Karena di ujung ikhlas… selalu ada bahagia.”
---
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon zanita nuraini, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 10 KELUARGA WIJAYA
Sore itu, rumah besar keluarga Wijaya diselimuti keheningan yang aneh — bukan tenang, melainkan menyesakkan.
Cahaya matahari sore menembus jendela kaca besar, menimpa tirai putih panjang yang bergoyang lembut tertiup angin taman belakang.
Semua tampak indah dan mewah… tapi di balik ketenangan itu, bara kecil sedang tumbuh, menunggu waktu untuk menyala.
Di ruang baca yang luas beraroma kayu jati dan buku-buku tua, Tuan Bram Wijaya duduk di kursi kerjanya.
Di tangannya, selembar kartu undangan makan malam keluarga yang berwarna krem tampak terlipat-lipat karena diremas terlalu lama.
Undangan itu — yang seharusnya menjadi acara ramah tamah biasa — kini terasa seperti keputusan yang akan mengubah segalanya.
Di kepalanya hanya satu kalimat yang berputar tanpa henti:
“Apa aku sudah membuat keputusan yang salah?”
Langkah sepatu hak tinggi terdengar menuruni tangga marmer, tegas, teratur, berwibawa.
Nyonya Cassandra Wijaya muncul dengan penampilan khasnya — gaun marun elegan, rambut tersanggul rapi, dan kalung mutiara yang berkilau di bawah sinar sore.
Ia tampak seperti wanita sempurna, namun sorot matanya tajam, dingin, dan menyimpan bara yang sama seperti di hati suaminya.
“Kau masih memikirkan hal itu, mas?”
Nada suaranya tenang, tapi setiap katanya mengandung tekanan.
Tuan Bram menatap istrinya, wajahnya penuh ragu.
“mih… aku tidak yakin ini benar. Raka sudah menikah. Dan kau tahu, apa yang akan terjadi kalau masyarakat tahu keluarga Wijaya ikut mencampuri rumah tangga orang lain?”
Cassandra mendesah pelan, berjalan mendekat, lalu berdiri di belakang kursi suaminya dengan tangan terlipat di dada.
“Ini bukan urusan orang lain, mas,” katanya dingin. “Ini tentang anak kita. Tentang Rianty.”
Nada suaranya meninggi sedikit di akhir kalimat — tajam dan menuntut.
“Bahagia dengan merebut suami orang?” suara Bram meninggi tanpa ia sadari.
Nada beratnya menggema di ruangan, membawa hawa dingin di antara mereka.
“mih… jangan butakan mata kita hanya karena kita orang tua.”
“Jangan gunakan kata merebut, mas,” potong Cassandra cepat.
Ia berbalik menatap suaminya, matanya berkaca namun tetap keras.
“Rianty hanya memperjuangkan apa yang seharusnya menjadi miliknya. Kau tahu, dia mencintai Raka sebelum lelaki itu menikah dengan perempuan kampung itu.”
Tuan Bram menatapnya tajam.
“Widuri bukan perempuan kampung,” ucapnya pelan tapi tegas — nada yang membuat udara seketika beku.
Cassandra mendecak, menepis udara seolah ingin menghapus nama yang disebut suaminya.
Namun sebelum ia sempat bicara lagi, pikirannya sudah melayang ke masa lalu.
Flashback On
Masa putih abu-abu — tahun-tahun yang penuh bunga dan luka pertama.
Rianty Wijaya, gadis cantik anak pengusaha besar, selalu menjadi pusat perhatian di sekolah elit tempat ia belajar.
Mobil mewah menjemputnya tiap pagi, teman-temannya memuja, guru-gurunya memuji. Semua hal tampak mudah untuknya.
Hingga suatu hari, datang murid baru — Raka Pratama, anak staf administrasi sekolah.
Berpenampilan sederhana, tapi ada sesuatu di matanya — ketenangan, kecerdasan, dan pesona diam yang membuat banyak gadis diam-diam menatapnya.
Hari pertama Rianty melihat Raka di lapangan basket, jantungnya berdebar tanpa alasan.
Raka bermain dengan ekspresi datar, tapi setiap kali bola meluncur ke arah ring, gerakannya begitu tenang dan presisi, seolah dunia di sekelilingnya berhenti.
Rianty terpaku.
“Namanya Raka,” bisik teman sebangkunya waktu itu. “Anak guru yang baru pindah tugas ke sini.”
Sejak hari itu, perhatian Rianty hanya tertuju pada satu nama.
Ia mulai mencari cara agar bisa dekat — berpura-pura butuh bantuan belajar, menyapa di koridor, bahkan sengaja duduk di perpustakaan di meja yang sama.
Namun setiap kali ia mendekat, Raka selalu menjaga jarak.
Senyum sopan, tapi dingin. Tatapan tenang, tapi tak memberi ruang.
“Kenapa dia begitu dingin, ya?” Rianty pernah mengeluh pada temannya.
“Karena dia beda, Ty,” jawab temannya ringan.
“Cowok kayak dia nggak silau sama uang atau status.”
Justru itulah yang membuat Rianty semakin jatuh.
Ia yang terbiasa mendapatkan segalanya, justru semakin terpikat pada sesuatu yang sulit digapai.
Suatu sore, ia memberanikan diri menulis surat kecil — sederhana, berisi satu kalimat:
“Kalau kamu nggak keberatan, aku ingin jadi temanmu. Hanya itu.”
– Rianty
Namun surat itu tak pernah berbalas.
Raka hanya menatapnya sebentar, lalu berkata sopan, “Maaf, aku nggak mau bikin masalah.”
Sejak hari itu, Rianty terus berusaha, tapi semakin ia mendekat, semakin jauh Raka melangkah.
Hingga akhirnya, kabar itu sampai ke telinga Tuan Bram, ayahnya, yang khawatir reputasi keluarga terganggu karena gosip anaknya menyukai anak staf sekolah.
Dan keesokan harinya, keputusan dibuat.
Rianty dipindahkan ke sekolah lain — tanpa sempat berpamitan.
Hari-hari berikutnya terasa hampa baginya.
Raka lenyap, dan di hati Rianty tertinggal satu ruang kosong yang tak pernah terisi…
Hingga bertahun kemudian, takdir mempertemukan mereka lagi — kali ini bukan di sekolah, melainkan di kantor… dan Raka sudah menjadi suami orang.
Flashback Off
Suasana di ruang baca kembali hening.
Hanya suara jam dinding yang berdetak pelan, mengisi sela-sela napas berat dua orang tua itu.
Tuan Bram menatap istrinya dengan sorot lembut yang penuh luka.
“mih…” ucapnya perlahan. “Kita orang tua. Tugas kita bukan menghancurkan rumah tangga orang demi ambisi kita sendiri. Aku tahu kau mencintai Rianty… aku juga. Tapi caramu ini—”
“—Demi kebahagiaan anak kita, Bram!” potong Cassandra keras, suaranya bergetar.
Ia berbalik, menahan air mata. “Kau pikir aku tega? Aku tahu ini salah, tapi aku seorang ibu. Aku lihat anakku menangis setiap malam, menunggu cinta yang tak pernah berpihak padanya. Aku cuma… ingin lihat dia bahagia, meski hanya sekali.”
Tangis tertahan itu membuat Bram terdiam.
Ia tahu istrinya bukan wanita kejam — hanya ibu yang kalah oleh kasih dan rasa takut kehilangan anaknya.
Ia berjalan mendekat, lalu meletakkan tangannya di bahu Cassandra dengan lembut.
“Tapi, mih… kalau bahagia anak kita harus dibangun di atas kehancuran orang lain, apa itu masih bisa disebut bahagia?”
Kata-kata itu membuat Cassandra terdiam lama.
Bibirnya bergetar, matanya basah.
Namun gengsi menahan lidahnya untuk menjawab.
Mereka terdiam.
Cahaya senja perlahan meredup, menimbulkan siluet dua orang tua yang berdiri di antara cinta dan dosa.
Dan di lantai atas — dari balik pintu kamar yang sedikit terbuka — Rianty berdiri diam.
Ia mendengar setiap kata, setiap isak, setiap ketegangan yang memenuhi rumah itu.
Matanya berkaca, tapi di balik air mata itu, ada api kecil yang menyala.
Dengan suara pelan namun penuh tekad, ia berbisik pada dirinya sendiri:
“Aku nggak akan menyerah, Ma. Aku akan pastikan Raka jadi milikku. Sekalipun seluruh dunia menentangku.”
Senyum tipis muncul di sudut bibirnya — dingin, tapi mantap.
Bayangan Raka berputar di pikirannya, dan di hatinya…
bara itu menyala makin terang.
#TBC
author kasih agak panjang deh bonus buat kalian pembaca setia
Jangan lupa like komen vote and kirsan nyaa