"Aku mau jadi Istri Om!" kalimat itu meluncur dari bibir cantik Riana Maheswari, gadis yang masih berusia 21 Tahun, jatuh pada pesona sahabat sang papa 'Bastian Dinantara'
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Galuh Dwi Fatimah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Interview oleh Om Bas
Pagi Senin pun tiba. Rumah keluarga Raden terasa sedikit lebih sibuk dari biasanya.
“Riri, kamu udah siap belum?” teriak Rahayu dari bawah sambil menyiapkan sarapan.
“Bentar, Ma! Aku lagi setrika baju!” balas Riri dari kamarnya.
Raden yang sudah rapi dengan jas kerjanya melirik jam dinding. “Riri, jangan lama-lama. Papa gak mau kamu telat di hari pertama kamu interview kerja.”
“Papa tenang aja, aku udah bangun dari subuh kok,” jawab Riri dengan nada agak ngantuk.
Rahayu mendengus. “Bangun subuh tapi baru siap jam segini. Cepet sana dandan! Kamu itu cewek, jangan asal kalau keluar rumah.”
“Ma, ini aku udah makeup-an tipis kok,” sahut Riri sambil berlari kecil ke ruang makan dengan rambut masih setengah kering.
Raden tertawa kecil melihat kelakuan anak gadisnya. “Ya ampun, kamu kayak mau ke kampus, Ri. Bukan interview.”
“Emang harus banget ya berpenampilan formal? Aku kan cuma mau interview bagian Humas Pa, bukan jadi direktur,” keluh Riri.
Rahayu langsung menatap tajam. “Justru itu, kalau kamu tampil asal-asalan, nanti mereka pikir kamu gak serius. Ingat, ini perusahaan besar, Ri..”
“Iya iya, Ma. Aku ganti baju deh kalau gitu,” ucap Riri pasrah, lalu berbalik ke kamar.
Beberapa menit kemudian, Riri keluar mengenakan blouse putih rapi dan celana bahan hitam. Rambutnya dikeringkan sempurna dan diikat setengah.
Raden mengangguk puas. “Nah, gitu dong. Anak Papa jadi kelihatan profesional.”
“Cakep juga kalau kamu niat, Rih,” timpal Rahayu.
“Ya iyalah, aku kan anak Papa,” kata Riri sambil tersenyum manja.
“Udah, ayo berangkat. Papa anterin sekalian ke kantor,” ajak Raden.
Di dalam mobil, Riri menggigit bibirnya gugup. “Pa, kira-kira Om Bastian tahu gak ya kalau aku yang interview hari ini?”
“Pasti tahu lah. Dia kan bosnya. Tapi kamu jangan grogi. Anggap aja kayak ngobrol sama keluarga,” kata Raden.
“Gimana aku gak grogi, Pa… dia tuh, ya… gimana ya…,” Riri terdiam, pipinya sedikit memerah.
“Kenapa? Kamu naksir Om Bas?” seloroh Raden sambil tertawa.
“Pa! Ih, gak lucu!” seru Riri panik.
Rahayu yang duduk di kursi depan melirik lewat kaca spion. “Jangan aneh-aneh, Riri. Fokus ke interview kamu, bukan ke bos Papa.”
“Iya Ma, aku serius kok,” jawab Riri cepat, meski dalam hati bayangan wajah Bastian kembali muncul.
Sesampainya di depan gedung perusahaan Bastian, Riri terpana melihat gedung tinggi dan megah itu.
“Gila… gede banget kantornya,” gumamnya pelan.
“Udah, jangan bengong. Sana masuk. Papa udah infoin HRD-nya,” kata Raden sambil menepuk bahunya.
Riri menarik napas panjang. “Oke… Riri bisa. Semangat!”
“Good luck ya, Nak. Bikin Papa bangga,” ucap Raden hangat.
“Semangat, jangan bikin malu keluarga,” timpal Rahayu setengah mengancam.
“Iya, iya… doain aku sukses,” ujar Riri sambil melangkah masuk ke gedung dengan jantung berdegup kencang.
Riri melangkah masuk ke lobi gedung tinggi itu dengan gugup. Pendingin ruangan yang sejuk tak cukup meredakan jantungnya yang berdetak cepat. Matanya sibuk melihat ke kanan dan kiri, kagum pada interior modern dan elegan.
“Selamat pagi, ada yang bisa saya bantu?” sapa resepsionis dengan senyum profesional.
“P-pagi. Saya… Riana Maheswari. Ada jadwal interview hari ini,” jawab Riri terbata-bata.
“Oh, Mbak Riana ya. Silakan isi daftar tamu dulu, nanti saya panggil HRD-nya,” ucap resepsionis ramah.
Riri mengangguk, lalu mengisi formulir dengan tangan sedikit gemetar. “Duh… kenapa sih tangan gue kayak anak SD mau lomba nulis puisi,” gumamnya pelan.
Beberapa menit kemudian, seorang wanita muda berpakaian rapi datang menghampirinya. “Mbak Riana ya? Saya Ayu, dari HRD. Mari saya antar ke ruang tunggu interview.”
“Iya, Mbak. Terima kasih,” jawab Riri sambil mengikuti langkah cepat Ayu.
Di ruang tunggu, beberapa kandidat lain duduk rapi dengan map dan CV di pangkuan. Riri menelan ludah. “Wah, mereka semua kelihatannya serius banget…,” bisiknya dalam hati. Ia duduk, merapikan blouse yang ia kenakan dan menarik napas dalam-dalam.
Tak lama, Ayu kembali keluar. “Mbak Riana, giliran Anda ya. Silakan ke ruang meeting 3. Interview-nya langsung dengan tim HR dan… Pak Bastian.”
“M-maksudnya… Om Bas… eh, Pak Bastian ikut juga?” Riri hampir terpeleset.
Ayu hanya tersenyum. “Iya, kebetulan beliau lagi di kantor pagi ini.”
Begitu pintu ruang meeting terbuka, Riri langsung melihat Bastian duduk di ujung meja dengan setelan jas abu tua. Aura tenang dan wibawanya langsung membuat Riri ingin mundur.
“Silakan duduk, Riana,” ucap salah satu pewawancara HR.
“Iya, terima kasih,” jawab Riri pelan sambil duduk tegak.
Bastian memperhatikan Riri sekilas lalu tersenyum kecil. “Saya dengar kamu baru lulus kuliah, ya?”
“Iya, Om… eh, Pak… saya baru lulus beberapa bulan lalu,” jawab Riri gugup.
Bastian terkekeh kecil. “Santai aja, ini bukan ujian skripsi kok.”
Pewawancara HR lain bertanya, “Boleh ceritakan sedikit tentang diri kamu dan kenapa kamu tertarik bekerja di perusahaan ini?”
Riri mengatur napas, lalu mulai menjawab dengan lebih tenang. “Saya lulusan administrasi bisnis, dan saya ingin belajar serta berkembang di lingkungan profesional. Saya tahu perusahaan ini besar dan reputasinya bagus. Saya ingin membuktikan kemampuan saya di sini.”
Bastian menyandarkan tubuh ke kursi, memperhatikan dengan saksama. Sesekali matanya bertemu dengan mata Riri, membuat gadis itu cepat-cepat mengalihkan pandangan.
“Kalau kamu diterima, kamu siap kerja di bawah tekanan?” tanya Bastian dengan nada serius.
Riri spontan menjawab, “Siap… meski agak gugup ketemu Bapak langsung, hehe.”
Tim HR tertawa kecil, suasana menjadi lebih cair. Bastian mengangguk pelan. “Jawaban jujur. Saya suka itu.”
Setelah beberapa pertanyaan teknis, interview pun selesai. “Terima kasih sudah datang, Riana. Hasil interview akan kami kabarkan beberapa hari ke depan,” ujar HR.
“Terima kasih banyak atas kesempatannya,” ucap Riri sambil menunduk sopan.
Begitu keluar dari ruangan, Riri menutup wajahnya dengan kedua tangan. “Aaaa… tadi aku salah sebut ‘Om’ lagi! Dasar mulut susah di jaga!” bisiknya panik. Namun dalam hatinya, ada getar aneh setiap kali mengingat tatapan mata Bastian yang tenang dan tajam itu.
Di ruang meeting, Bastian menatap pintu yang baru ditutup Riri. “Anak itu… ceroboh tapi jujur,” gumamnya pelan. Ia menyadari ada sesuatu dalam dirinya yang ingin ia batasi sejak awal.
____
Beberapa hari setelah interview, suasana rumah keluarga Riri selalu ramai oleh suara sang Mama yang tak henti menyinggung soal pekerjaan.
“Riri, kamu tuh jangan leha-leha terus. Udah dicek belum emailnya? Siapa tahu udah ada kabar,” teriak Rahayu dari dapur sambil mengaduk tumisan.
Riri yang sedang tiduran di sofa langsung menggeliat malas. “Baru tiga hari, Ma. Belum tentu secepat itu juga.”
“Tiga hari itu udah lama, Riri. Perusahaan besar tuh biasanya cepat ngasih kabar,” timpal sang Mama lagi.
Raden keluar dari ruang kerjanya sambil membawa secangkir kopi. “Udahlah, Yu. Kasih anak kita napas dikit. Kalau rezeki, nanti juga datang.”
“Tuh, Papa belain aku,” gumam Riri dengan senyum kecil.
“Papa bukan belain, tapi kamu jangan kebanyakan rebahan juga,” ujar Raden, menatap putrinya dengan mata menyipit tapi penuh sayang.
Tiba-tiba nada notifikasi ponsel Riri berbunyi. Ia refleks mengambil ponselnya. “Email… dari HRD!” serunya kaget.
Rahayu langsung berlari kecil menghampiri, sambil mengelap tangannya yang masih berminyak. “Cepet buka, Ri!”
Riri menelan ludah, menekan layar dengan jari gemetar. “Selamat… Anda diterima sebagai staff administrasi di PT Dinantara Group…”
“Aaaaaaaaaaaa! Ma! Pa! Aku diterimaaaa!” teriak Riri kegirangan.
Rahayu spontan memeluk putrinya. “Alhamdulillah! Akhirnya anak Mama kerja juga!”
Raden tersenyum bangga. “Papa udah yakin dari awal. Kamu pasti bisa.”
---