Dyah Galuh Pitaloka yang sering dipanggil Galuh, tanpa sengaja menemukan sebuah buku mantra kuno di perpustakaan sekolah. Dia dan kedua temannya yang bernama Rian dan Dewa mengamalkan bacaan mantra itu untuk memikat hati orang yang mereka sukai dan tolak bala untuk orang yang mereka benci.
Namun, kejadian tak terduga dilakukan oleh Galuh, dia malah membaca mantra cinta pemikat hati kepada Ageng Bagja Wisesa, tetangga sekaligus rivalnya sejak kecil. Siapa sangka malam harinya Bagja datang melamar dan diterima baik oleh keluarga Galuh.
Apakah mantra itu benaran manjur dan bertahan lama? Bagaimana kisah rumah tangga guru olahraga yang dikenal preman kampung bersama dokter yang kalem?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Santi Suki, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 5
Kejadian di puskesmas tadi membuat Galuh kesal setengah mati. Rasanya dia ingin menenggelamkan diri ke dalam bak mandi berisi es batu, biar otaknya bisa dingin kembali.
Semua gara-gara kecerobohannya membaca mantra pemikat hati. Sejak saat itu, Bagja jadi terlihat berbeda.
Bukan Bagja yang biasanya ia kenal, pria tengil yang suka adu mulut, suka bikin darah naik. Sekarang Bagja terlihat ... memikat. Membuat bulu kuduk Galuh berdiri, bukan karena jatuh cinta, tetapi karena ngeri setengah mati.
Galuh mendengus keras. “Ya Allah, kenapa aku harus iseng baca mantra itu? Bodoh, bodoh, bodoh!” Ia menepuk kening sendiri.
Ketika menoleh ke arah jendela kamar yang masih terbuka, ia teringat kebiasaan lamanya. Biasanya jam lima sore jendela sudah ditutup rapat. Namun, sekarang, jarum jam sudah menunjukkan hampir pukul enam. Senja hampir habis, langit berubah jingga keunguan.
Galuh berjalan mendekat. Tangannya terulur hendak menutup jendela, tapi langkahnya terhenti. Mata gadis itu membelalak.
Di seberang sana, tepat di rumah tetangga yang hanya dipisahkan oleh tanah sepetak, Bagja duduk santai menghadap ke arahnya. Tatapan mereka bertemu, bersirobok dalam suasana yang canggung.
“Galuh,” sapa Bagja. Senyum merekah di wajahnya. Tangannya melambai dengan penuh percaya diri.
Galuh kontan melotot. “Ngapain kamu senyum-senyum begitu!” teriaknya dengan nada kesal.
“Jangan marah-marah, dong! Nanti cepat tua.” Bagja tetap tersenyum, wajahnya seterang papan reklame.
Galuh mendengus. “Senyum-senyum begitu, bukannya terlihat tampan, kamu malah semakin terlihat jelek!” Napasnya memburu, darahnya mendidih.
“Apa? Tampan?” Bagja justru cengengesan. “Kamu bisa aja merayu aku.”
“Hah?” Galuh ternganga. “Kamu budeg, ya? Siapa yang bilang kamu tampan?”
Tekanan darah Galuh langsung naik. Rasanya dia ingin melompat keluar jendela, menghampiri Bagja, lalu menjitak kepalanya agar otaknya kembali ke mode normal.
Mulut Galuh sudah terbuka, siap menembakkan unek-uneknya. Namun, sebelum dia sempat bicara, Bagja mendadak mengangkat tangan, lalu memberikan kiss bye.
Brerrrrr!
Tubuh Galuh merinding bukan main. Ia bergidik, wajahnya memerah. “Bagjaaaa! Dasar gila!”
Dengan cepat ia menarik kedua daun jendela dan menguncinya rapat-rapat. Napasnya terengah-engah. Ia takut tiba-tiba Bagja melompat dari jendelanya sendiri dan tiba di depan kamarnya.
“Apa dia menjadi seperti itu gara-gara mantranya, ya?” batin Galuh. Ia mondar-mandir gelisah, tangannya memegangi dada.
Suara teriakan dari luar pintu membuatnya kaget.
“Galuuuuh, cepat mandi! Sudah magrib, tuh!” suara Nini Ika terdengar.
“Malas mandi, Nin!” balas Galuh, setengah berteriak.
“Heh, anak perawan jangan jorok! Cepat mandi,” sahut Nini Ika yang kini berdiri di depan pintu, mengetuk-ngetuk sambil berkacak pinggang.
Galuh membalik badan dengan wajah manyun. “Tubuh aku enggak bau, Nin. Jadi, walau enggak mandi, enggak akan dikerubungi nyamuk.” Ia bahkan menciumi lengannya sendiri.
“Perawan kok malas mandi! Jangan sampai nanti mertuamu tahu kalau punya menantu yang jorok,” omel Nini Ika dengan suara nyaring.
“Tenang saja, Nin. Aku akan cari mertua yang sayang sama aku, pendiam, dan tidak suka ngomel-ngomel kayak Nin,” balas Galuh dengan senyum nakal.
Nini Ika mendengus, lalu pergi sambil menggerutu, “Dasar budak ayeuna mah, susah diatur!”
Sama seperti kebanyakan anak muda pada zamannya, Galuh punya kebiasaannya di malam hari sehabis Isya. Dia menyalakan radio kesayangannya untuk mendengatkan program favoritnya. Yaitu, musik kawula muda dan sandiwara radio.
Radio itu bukan sekadar hiburan, buat Galuh itu adalah pelarian. Anak-anak muda sepertinya sering mengirim pesan lewat kertas agar dibacakan penyiar, biasanya berisi salam-salam atau permintaan lagu.
Tak lama kemudian, suara penyiar mengudara.
[Pesan selanjutnya dari Pangeran Berdua Putih.]
Galuh sontak bersorak. “Wah, milik si Ryan, nih!”
[Salam-salam buat Nyai Ratu Galuh. Semoga saja semua baik-baik saja dan musuh mu itu bisa kembali normal lagi. Lalu, untuk teman seperjuanganku, Kesatria Zirah Hitam, semoga saja kerja keras kita bisa membuahkan hasil juga. Tadi, kita sudah melihat hasilnya, ternyata manjur. Minta putarkan lagu Selamanya Cinta dari Memes dan Yana Yulio, untuk pujaan hatiku agar bersabar sampai cinta kita dipersatukan.]
Galuh langsung terguling ke kasur, tertawa sampai perutnya sakit. “Astagaaaa, Ryan lebay pisan!”
Galuh rebahan dengan kaki ditumpang satu sama lain. Mendengarkan lagu Selamanya Cinta yang diputar membuat suasana semakin baper. Lagu itu jelas ditujukan Ryan untuk Meilin, gadis yang jadi pujaan hatinya.
Sementara Galuh masih asyik di kamar, sesuatu terjadi di teras rumahnya.
Di depan rumah, Bagja datang bersama keluarganya. Kedatangan mereka membuat Pak Dahi atau Mahardhika—ayah Galuh—sedikit bingung.
“Eh, Pak Wira. Tumben malam-malam datang ke rumah. Ada apa, ya?” tanya Pak Dhika dengan nada penasaran.
Tak lama, Nini Ika muncul dari belakang. “Kalian datang bergerombol seperti ini, ada apa?”
“Eh, ada tamu. Masuk-masuk dulu!” Mama Euis menyusul, ramah menyambut.
Kini semua berkumpul di ruang tamu. Suasana hening sejenak. Pak Wira—ayah Bagja—melirik ke arah putranya. Bagja duduk tenang, wajahnya penuh percaya diri.
Pak Wira menghela napas, lalu berkata, “Sebenarnya kedatangan kita ke sini, ingin melamar Galuh untuk Bagja.”
Kalimat itu membuat ruang tamu bergemuruh. Mama Euis terbelalak, Pak Dhika terbatuk-batuk, Nini Ika langsung menutup mulutnya agar tidak berteriak.
“Lamar?” ulang Pak Dhika seakan tak percaya dengan pendengarannya . Dia melirik Bagja dengan tatapan setengah tak percaya.
Bagja maju sedikit, menatap keluarga Galuh dengan serius. “Pak, aku ingin melamar Galuh untuk dijadikan istri.”
Semua terdiam. Keheningan hanya dipecahkan oleh suara jangkrik dari halaman rumah.
Pak Dhika akhirnya bersuara, pelan tetapi tegas. “Kamu sadar dengan apa yang baru saja kamu ucapkan?”
semoga yg baca semakin banyak....