Namaku Syahnaz Fakhira az-Zahra, berusia delapan belas tahun.
Aku baru saja menyelesaikan pendidikan selama enam tahun di Pondok Pesantren Darfal — sebuah pondok perempuan di salah satu kota di Jawa yang dikenal dengan kedisiplinan dan kedalaman ilmunya.
Selama enam tahun di sana, aku belajar banyak hal; bukan hanya tentang ilmu agama, tetapi juga tentang kehidupan. Aku tumbuh menjadi seseorang yang berusaha menyeimbangkan antara iman dan ilmu, antara agama dan dunia.
Sejak dulu, impianku sederhana namun tinggi — melanjutkan pendidikan ke Universitas Al-Azhar di Kairo, menuntut ilmu di tanah para ulama. Namun, takdir berkata lain.
Di tahun kelulusanku, ayah meninggal dunia karena serangan jantung. Dunia seolah runtuh dalam sekejap.
Aku sangat down, tertekan, dan rapuh.
Sejak kepergian ayah, keadaan ekonomi keluarga pun memburuk. Maka, aku memilih pulang ke rumah, menunda impian ke luar negeri, dan bertekad mencari pekerjaan agar bisa membiayai ibuku sekaligus untk kuliah.
lanjut? 🤭
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon syah_naz, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
secercah rahasia terbongkar di ruangan abiy
Ternyata Ummi Ikrimah datang membawa nampan berisi dua gelas teh hangat dan beberapa potong kue.
“Lagi cerita apa kalian berdua? Udah dapet lowongan kerja, Kak?” tanya Ummi lembut, meletakkan nampan di meja.
Syahnaz dan Darren saling pandang.
Darren yang lebih dulu buka suara, “Ada sih, Tan. Gajinya lumayan, empat jutaan. Tapi... lokasinya di Jakarta.”
Ummi Ikrimah menatap Darren lekat-lekat. “Jakarta?”
“Iya, Tante. Tapi tenang aja, soal tempat tinggal aman. Kan nanti saya kuliah di sana juga. Kos saya masih kosong, jadi Syahnaz bisa numpang dulu sementara waktu selama 6 bulan ini.”
Syahnaz ikut menatap ibunya penuh harap. “Iya, Mi… cuma sementara. Aku janji nggak akan ngerepotin siapa pun. Aku cuma pengen bantu Ummi biar bisa lanjut kuliah, Mi.”
Namun ekspresi Ikrimah berubah murung. Wajahnya menegang, tatapannya berat menatap anak kesayangan nya itu.
“Tapi, Kak… itu jauh. Jakarta itu keras, terlalu bebas,” ucapnya pelan namun tegas.
“Tapi Ummi…” suara Syahnaz melemah, seakan benih harapan di dadanya mulai retak.
Ikrimah menghela napas panjang, lalu bangkit dari duduknya. “Udah, jangan bahas itu lagi. Ummi capek. Kalau mau makan, udah Ummi siapin di atas meja.”
Tanpa menunggu jawaban, beliau melangkah masuk ke kamar, meninggalkan keheningan yang menggantung di ruang tamu.
“Ummi…” panggil Syahnaz lirih, tapi langkah itu tak berbalik lagi.
Gadis itu hanya bisa menunduk, menatap teh hangat yang kini sudah dingin di atas meja.
Wajahnya murung, mata berkaca-kaca.
Darren ikut diam. Ia menatap Syahnaz yang berusaha menahan air mata, lalu perlahan berucap,
“Syah… sabar ya. Kadang orang tua bukan nggak percaya, tapi mereka cuma takut kehilangan.”
Syahnaz tersenyum hambar. “Aku tahu, Ren… tapi rasanya sakit banget kalo impian yang udah deket harus berhenti cuma karena jarak.”
Darren menatapnya iba, tak tahu harus berkata apa. Hanya keheningan yang menemani dua saudara itu malam itu — di antara teh yang mendingin dan doa yang belum dikabulkan.
......................
Pagi hari itu, sinar matahari sudah menembus tirai kamarnya.
Tring... tring...
Alarm berbunyi dengan keras.
"Hemm..." gumam Syahnaz sambil menggeliat.
Begitu membuka mata, pandangannya langsung tertuju ke jam weker di samping tempat tidurnya.
"Hah, udah jam delapan lewat?! Astaghfirullah... beginilah kalau lagi haid, pasti kebablasan," keluhnya sambil mengusap wajah dengan malas.
Ia duduk sejenak di tepi kasur, termenung.
“Kenapa ya Ummi nggak mau aku pergi jauh, ngerantau ke Jakarta? Apa Ummi takut aku sendirian, atau... ada alasan lain?” batinnya pelan, lalu berjalan lesu menuju kamar mandi.
Setelah mandi, Syahnaz segera menyapu rumah. Ia ingin tetap membantu meski tubuhnya terasa lemah. Saat membersihkan ruang kerja Abi Hanafi, matanya tertuju pada tumpukan kitab yang agak miring di rak bawah. Ia merapikannya, namun tiba-tiba—
brukk!
Beberapa dokumen jatuh berserakan ke lantai.
"Apa ini?" gumamnya sambil menunduk, mengambil selembar kertas yang terpisah dari tumpukan lain.
Matanya membulat ketika melihat judul dokumen itu: Akta Kelahiran.
"Subhanallah... ini akta siapa?" suaranya bergetar. Ia menatap nama yang tertera di sana dengan tidak percaya.
Reyhan Althaf.
Lahir: 3 Maret 2003.
Ayah: Hanafi.
Ibu: Ikrimah.
Syahnaz membeku. Nafasnya terasa berat.
“Ummi?... Ini... beneran?” bisiknya nyaris tak terdengar.
Tangannya bergetar hebat.
“Berarti... aku bukan anak pertama?” ucapnya pelan, antara bingung dan tidak percaya. Ia jatuh terduduk di kursi yang biasa dipakai Abi menulis khutbahnya.
Air matanya jatuh begitu saja.
“Ya Allah... apa yang sebenarnya terjadi? Kenapa aku nggak pernah tahu kalau aku punya kakak... atau abang?”
Ia menggigit bibir, mencoba menahan tangis yang makin deras.
“Dimana dia sekarang, Ya Rabb?... Apa dia masih hidup?... Kenapa semua ini disembunyikan dariku?”
Dengan tangan gemetar, Syahnaz mengambil ponsel, memotret akta itu, lalu mencari petunjuk lain di antara dokumen-dokumen lama. Namun sia-sia. Tidak ada satu pun nama atau catatan lain yang bisa menjelaskan siapa Reyhan sebenarnya.
Ia menarik napas panjang, menatap langit-langit sambil menghapus air matanya.
“Ya Rabb... apa yang terjadi di masa lalu? Tolong tunjukkan kebenarannya…”
Setelah lama berpikir, Syahnaz menatap kosong ke arah jendela kamarnya.
"Kayaknya aku harus cari tahu tentang ini... tapi nggak mungkin aku nanya langsung ke Ummi. Gimana, ya?” batinnya gelisah.
Ia menggigit bibir, mencoba mencari jalan keluar.
“Ouh, nanya sama Tante Nur aja kali, ya,” gumamnya lirih, lalu segera beranjak keluar kamar.
Sebelum meninggalkan rumah, ia sempat menengok ke dapur dan ruang tamu.
“Ummi nggak ada... pasti lagi nganterin pesanan orang,” ucapnya pelan, kemudian melangkah menuju rumah Tante Nur yang memang berada tepat di samping rumah mereka.
“Eh, ada Syahnaz,” sapa Tante Nur sambil jongkok membersihkan rumput di halaman.
“Iya, Tan...” jawab Syahnaz ragu sambil masuk ke halaman.
“Tumben keluar rumah, biasanya nggak,” goda Tante Nur terkekeh kecil tanpa menoleh.
“Hehehe... anu, Tan. Syahnaz mau nanya sesuatu,” ucapnya sedikit gugup.
“Nanya apa, Syahnaz? Hah?” tanya Tante Nur sambil berdiri dan menatap keponakannya.
“Anu, Tan... Syahnaz tadi nemu ini di ruang kitab-kitabnya Abi,” ujarnya, lalu membuka galeri ponselnya dan menunjukkan foto akta kelahiran yang ia temukan tadi.
Tante Nur menatap layar itu lama. Wajahnya seketika berubah—kaget, bingung, dan berat untuk bicara.
“Ini... beneran, Tan?” tanya Syahnaz pelan, matanya menatap penuh harap.
Tante Nur menarik napas panjang, pandangannya menyapu sekeliling halaman. Ia tampak bimbang.
“Tan?... Ada apa sebenarnya, Tan?... Kenapa semua ini dirahasiakan dari aku?” pinta Syahnaz, suaranya bergetar.
“Syahnaz nggak mungkin nanya ke Ummi, Tan. Yang ada nanti Ummi malah marah...” tambahnya lirih.
Tante Nur menatap wajah keponakannya dengan iba.
“Ummi kamu marah? Marah karena apa?” tanyanya lembut.
“Hm... tadi malam Syahnaz bilang mau kerja. Awalnya Ummi setuju. Tapi pas Syahnaz bilang mau kerjanya di Jakarta, sekalian kuliah di sana... Ummi langsung marah,” jawabnya dengan nada sedih.
Tante Nur terdiam. Lalu, dengan suara berat ia berucap,
“Allaaah... Syahnaz, sepertinya ini sudah waktunya kamu tahu. Ini nggak bisa terus disembunyikan darimu.”
Syahnaz menatapnya tak sabar. “Ada apa, Tan? Tolong ceritakan semuanya...”
Tante Nur menghela napas dalam.
“Ummi kamu... sudah kehilangan banyak orang yang dia sayang, Nak. Dulu, waktu kamu masih kecil—sekitar umur dua tahun—Reyhan, saudara kamu itu... diambil paksa oleh pamannya Ayahmu. Dibawa ke Jakarta.”
Mata Syahnaz membesar. “Astaghfirullah... terus, kenapa bisa begitu, Tan? Kenapa nggak dituntut? Kenapa nggak diambil lagi?!”
“Sudah, Nak. Dulu Ayahmu sempat menempuh jalur hukum. Tapi semua sia-sia. Pamannya Reyhan... punya kuasa, dan suara orang kecil seperti keluarga kamu tidak pernah didengar,” jawab Tante Nur lirih, suaranya nyaris patah.
Syahnaz menunduk. Air matanya jatuh begitu saja.
“Ya Allah... sungguh ini tidak adil. Orang biasa memang seringkali tidak dianggap...” ucapnya pilu.
Tante Nur menatapnya dalam.
“Jadi, kamu masih tetap mau ke Jakarta? Ummi kamu sudah kehilangan anak laki-laki pertamanya di sana. Sekarang kamu juga mau ke Jakarta? Ummi kamu... sudah terlalu banyak melewati badai hidup, Syahnaz.”
Syahnaz buru-buru menggeleng, air matanya mengalir deras.
“Astagfirullah, bukan itu maksud Syahnaz, Tante. Syahnaz cuma mau bantu Ummi... mau kerja biar bisa bantu biaya kuliah juga,” ujarnya sambil terisak.
Tante Nur tersenyum tipis, lalu mengelus kepala Syahnaz.
“Tante paham, Nak... tapi luka di hati Ummi kamu belum sembuh sepenuhnya. Dia hanya takut kehilangan lagi. Takut sejarah terulang.”
Syahnaz menunduk dalam diam. Angin pagi berhembus pelan, seolah ikut membawa berat di hatinya yang tak bisa diucapkan.
untuk desain Visualnya bagus membuat para pembaca bisa masuk ke alurnya.
Salam literasi.
sambil baca sambil mikir berarti lulus SMAnya umur 17th.