Hanya cerita fiktif belaka, jangan dijadikan keyakinan atau kepercayaan. Yang pasti ini adalah cerita horor komedi.
Awalnya dia hanyalah seorang ibu biasa tetapi saat dia kehilangan putrinya saat mengikuti masa orientasi penerimaan mahasiswi baru, dia tak tinggal diam. Kematian putrinya yang mencurigakan, membuatnya tak terima dan mencari tahu penyebab kematiannya serta siapa yang paling bertanggung jawab.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon HARJUANTO, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 8 : Akan Kutunjukkan Betapa Remuk Redamnya Hatiku
Pada sebuah resto Ustdz Harjuanto cepat saji di mall yang berdekatan dengan Terminal Baranangsiang dan kebun raya itu, Agni menunggu.
Ia menyedot minuman cola dinginnya dengan mata yang menatap ke seluruh penjuru mall tersebut. Dari kejauhan tampak seorang gadis bertubuh besar dengan hoodie mentupi kepalanya berjalan ke arahnya. “Big Boba,’” gumam Agni lalu melambaikan tangan pada gadis itu. Gadis bertubuh besar itu mendatangi Agni. “Anda yang mengirim pesan di fesbuk saya?” tanyanya setelah berdiri di depan meja Agni. “Iya … kamu Big Boba ‘kan?” tanya Agni memastikan. “Boba saja,” jawabnya. “Silahkan duduk,” Agni mempersilahkan. Boba tampak gelisah, “Sebaiknya kita tidak ngobrol di tempat terbuka seperti ini.”
“Kenapa? Siapa yang kamu takutkan?”
“Ikuti saya,” cetus Boba tidak menjawab malah berjalan pergi. Agni segera berdiri, membawa minuman cola dinginnya dan mengikuti Boba. Mereka sampai di luar mall, Boba berdiri di pojok dinding yang tidak terlalu terang, ia memberi tanda pada Agni untuk mendekat.
Agni mendekatinya, tiba-tiba Boba menarik cepat kerah jaket Agni dan membanting tubuh Agni ke dinding. Agni terkejut. Boba mendekatkan wajahnya pada wajah Agni.
“Siapa lo! Dan kenapa bros mawar itu ada di jaket lo?” tanya Boba.
Agni mengendalikan keterkejutannya, menenangkan dirinya. Ia menggoyang-goyang minuman cola dinginnya itu. Boba mengerutkan kening. “Bogor itu hawanya panas ya? Sebentar saya haus,” ucap Agni menempelkan sedotan minuman pada bibirnya lalu mulai menyedotnya. Setelah selesai menyedot, ia berkata, “Kamu mau tahu siapa saya? … Saya adalah Ibu yang sedang marah dan berduka.” Boba menyadari kalimat itu dan segera melepaskan tangannya dari kerah jaket Agni, “Maaf, saya tidak mengenali Ibu, Ibu tampak berbeda dari yang terakhir saya ingat di rumah sakit PMI waktu itu.”
Agni merapihkan kerah jaketnya, juga kacamatanya, seraya berkata, “Kamu tahu apa yang sebenarnya terjadi bukan? … Sekarang, semua orang menuduh anak saya sebagai pemakai narkoba … kamu harus menceritakan yang sebenarnya Ba, bersaksi untuk anak saya!”
Boba menggeleng, “Ga mungkin … saya ga berani.”
“Kenapa? Apa yang kamu takutkan?”
Boba menunduk.
“Ba, saya menghubungi kamu, berharap kamu bisa membantu saya!”
“Saya hanya menyesal tidak bisa menolong Anggi saat itu,” lirih Boba.
“Sekarang kamu bisa menolong Anggi, dengan menceritakan yang sebenarnya!”
Boba kembali menunduk dan menggeleng.
Agni menghela nafas, “Baiklah … kalau gitu, bawa saya ke tempat kelompok persaudarian kalian biasa berkumpul.”
Boba menatap Agni, “Ibu serius?” Agni menyedot minumannya lagi hingga yang terdengar hanya sisa es batunya saja, kemudian membuang minuman itu ke dalam tempat sampah.
Agni mengangguk, “Bawa saya untuk menemui Evelyn, karena dia ketua dari kelompok itu bukan?”
Boba mengangguk.
“Kamu tau tempat kumpul mereka ‘kan?” tanya Agni.
“Iya di sebuah klub malam,” jawab Boba.
“Bawa saya kesana, ayo jalan!” cetus Agni menarik tangan Boba.
***
Mobil berhenti di depan sebuah klub malam yang berada di salah satu gedung.
Mereka turun dari mobil dan berjalan menuju pintu masuk. “Siapa ini Ba?” tanya pria penjaga pintu melihat Agni dari atas hingga bawah.
“Dia … mmm … senior dari kelompok persaudarian kita … baru datang dari Jakarta,” jawab Boba dibuat-buat. Agni membetulkan kacamatanya lalu menepuk-nepuk bros mawarnya. Penjaga pintu itu melihatnya dan membiarkan mereka masuk.
Di dalam Agni menutupi sebelah telinganya karena musik yang keras dan suasana yang hingar bingar. “Kenapa Bu, ga pernah dugem ya?” tawa Boba melihat Agni. “Udah jangan banyak komentar … mana Evelyn?” tukas Agni. Boba menunjuk pada sofa melingkar yang berada di ujung ruang. Sofa itu dipenuhi gadis-gadis berjaket kuning biru. Mereka mendatangi meja itu.
“Hey Eve! Ini ada senior kita dari Jakarta,” seru Boba pada Evelyn memperkenalkan Agni di tengah musik yang berdentam kencang. Evelyn menoleh dan menatap Agni untuk sesaat lalu melihat pada bros mawarnya.
Agni buru-buru memasang senyum lebar lalu segera merangkul Evelyn, “Apa kabar Eve! Gue dapet info, lo mengurus sisterhood kita ini dengan baik!” Evelyn melepaskan pelukan Agni, menatapnya lagi dan bertanya,
“Lo dari angkatan berapa? Nama lo siapa?”
“Gue dari angkatan dua ribu, nama gue … (Agni berpikir sebentar) … Iggna.”
“Iggna? Hmm, nama yang unik,” cetus Evelyn lalu tertawa menyambut Agni. Tak lama mereka pun telah akrab bicara.
Boba memperhatikan itu, hatinya was-was, kalau penyamaran Agni sampai terbongkar, nyawanya terancam karena Evelyn bisa bertindak nekat.
“Ba!” panggil seseorang sambil menepuk pundaknya membuat Boba yang sedang melamun jadi terkejut. Ia menoleh, dilihatnya Ovi telah berada di sampingnya. “Siapa tuh?” tanya Ovi menatap pada Agni yang sedang minum bersama Evelyn.
“Yang pake kacamata itu?” ulang Boba, Ovi mengangguk. “Senior dari Jakarta, dulunya dari kelompok persaudarian kita ini juga,” jelas Boba.
Ovi terus menatap Agni, baginya, wajahnya sedikit familiar.
Pesta terus berlanjut, hingga Agni melihat Evelyn sedang bicara dengan seorang pria di pojok gelap dan menerima sebuah kantung plastik kecil.
Evelyn mengantongi plastik kecil itu di kantong celananya lalu beranjak pergi ke kamar mandi wanita. Agni segera mengikutinya. Ovi melihat Agni meninggalkan kursinya, karena ia mencurigai ada sesuatu, maka ia mengikutinya juga.
Agni terus melangkah melalui lorong temaram. Ia melihat Evelyn masuk ke kamar mandi wanita dan masuk ke salah satu kamar toilet-nya. Sial! Batin Agni. Ia jadi tidak bisa melihat apa yang sedang dilakukannya.
Ia segera mengambil ember besar dari pojok kamar mandi dan membaliknya lalu berjinjit di atasnya untuk mengintip dari atas dinding sekat toilet. “Hey! Lagi ngapain lu?” tegur Ovi yang muncul mendadak di dalam kamar mandi.
Agni menoleh dan ia ingat wajah Ovi dari fesbuk yang dilihatnya serta akan cerita Dina tentang kating yang memiliki tubuh tinggi.
“Lo pasti Ovi ya?” senyum Agni, ia pun turun dari ember seraya menyodorkan tangannya, “gue Iggna, senior---“
“Ga usah bullshit!” cetus Ovi memotong kalimat Agni sambil menepis tangannya, “gue tau siapa lo … gue inget wajah lo waktu di PMI! Mau apa lo kesini? … Eve! Ada Ibunya Anggi nih!”
Evelyn yang berada di dalam toilet terkejut mendengar suara Ovi itu. “Hah Ibunya Anggi?!” batin Evelyn. Ia diam sebentar berpikir dan akhirnya menyadari. “Brengsek ternyata Iggna itu nama Anggi yang dibalik!” gumamnya marah. Ia segera mengurungkan diri untuk menelan pil tersebut lalu menyimpannya kembali ke dalam plastik dan mengantonginya lagi.
Agni yang tahu penyamarannya terbongkar dengan cepat menampar Ovi. Ovi terkejut memegangi pipinya. Ia menjadi marah lalu membalasnya dengan menyeruduk Agni, memeluk pinggangnya dan membantingnya dengan gerakan cepat ke lantai.
Agni mengaduh kesakitan, punggungnya menghantam ubin.
Pintu kamar toilet terbuka, muncullah Evelyn yang melihat Agni sedang bergumul dengan Ovi di lantai kamar mandi.
“Tahan dia Vi!” seru Evelyn lalu berlari keluar kamar mandi. Agni berusaha berontak, tetapi tenaga Ovi jauh lebih kuat. Ia bisa menduduki Agni dan memberinya pukulan di wajah. Kacamata yang dikenakan Agni sampai terlempar akibat pukulan itu.
Tiba-tiba.
Sebuah tempat sampah menghantam kepala Ovi dari belakang. Membuat Ovi berdiri terhuyung-huyung, kesempatan ini digunakan Agni untuk menendang Ovi agar dia bisa terbebas dari cengkeramannya.
Tendangan itu mengenai perut, membuat Ovi terjengkang ke belakang. Agni segera berdiri dan dilihatnya Boba tengah memegang tempat sampah. Boba memberi tanda pada Agni untuk mengejar Evelyn. “Tapi pasti dia sudah pergi jauh Ba,” kesal Agni.
Boba menunjukkan kunci mobil pada Agni, “Ga, dia ga bisa kabur, kunci mobilnya ada sama saya.” Agni tersenyum. “Di basement,” ujar Boba memberi tahu parkirnya. Agni pun mengangguk dan berlari untuk mengejar Evelyn.
“Pengkhianat!” teriak Ovi pada Boba sembari memegangi kepala belakangnya. Boba meletakkan tempat sampah itu, berkata, “Vi … kita sama-sama tahu, kalau dalam hal ini ada tindak kejahatan dan kita juga tahu kalau Evelyn-lah pelakunya … kita semua hanya diperalat atas nama setia kawan, atas nama persaudarian oleh Evelyn … padahal kita melindungi pelaku kejahatan … ini ga benar Vi … sadarlah!”
Lalu Boba mencabut bros mawar itu dari jaketnya dan meletakkannya di atas mesin pengering tangan, Ovi memperhatikannya. “Gue ga bangga jadi bagian persaudarian yang membela pembunuh dan menutup-nutupinya … apakah lo ga merasa berdosa untuk hal itu Vi? Mana hati nurani lo?” lanjut Boba lagi.
Sementara itu.
“Brengsek! Kunci mobil gue mana!!” teriak Evelyn di parkiran basement mencari kunci mobilnya di kantong-kantong jaketnya tapi ia tak temukan. Ia baru sadar ketika sedang minum bersama di dalam klub tadi Boba telah mengambilnya diam-diam. “Aaah! Boba brengsek!!” umpat Evelyn kesal.
“Hey mau lari kemana Eve?”
Evelyn terkesiap melihat Agni telah berdiri di hadapannya dan yang membuatnya lebih terkejut lagi adalah, Agni telah memegang senapan paintball di tangan kanannya.
“A … apa maksudnya ini?” tanya Evelyn gugup.
“Saya mau mengajakmu bermain dalam sebuah permainan.”
Evelyn terdiam, hatinya berdegup.
“Permainannya mudah … saya adalah pemangsa dan kamu yang dimangsa, saya adalah pemburu dan kamu yang diburu.”
“Apa?” gumam Evelyn, ia merasa pernah mengatakan hal seperti itu juga.
“Hahaha … déjà vu Eve?” ledek Agni.
“Anda jangan main-main dengan saya! Anda tidak tahu siapa saya!” ancam Evelyn.
“Saya tidak perduli,” sahut Agni santai.
“Saya tidak takut dengan Anda!” teriak Evelyn gugup.
“Kamu tau? Orang yang sedang panik, terpojok, terdesak dan ketauan bersalah, akan menunjukkan ciri-ciri seperti yang kamu tunjukkan barusan … mengancam, menantang, merasa berani … padahal hatinya tertekan ketakutan.”
Evelyn terdiam.
Agni melangkah mendekat dengan senapan yang siap ditembakkan, membuat Evelyn mundur beberapa langkah.
“Peraturan permainannya adalah … kalau kamu bisa bertahan sampai peluru saya habis, maka saya ga akan bocorkan pada polisi kalau pil ekstasi itu ada di kantongmu … tapi kalau kamu kalah, kamu harus mengakui apa yang telah kamu lakukan terhadap Anggi pada sidang investigasi di kampus,” pungkas Agni.
“Anda tidak bisa melakukan ini pada saya,” ujar Evelyn.
“Oya? Kita lihat saja ….”
Evelyn menggeleng, “Tapi Anda salah … saya tidak melakukan apa-apa---“
“Bla, bla, bla … tutup mulutmu Eve!” kesal Agni, “semua orang sudah mengatakan kalau kamu ada di malam orientasi itu dan kamu yang melakukan penganiayaan serta memasukkan pil itu ke minuman Anggi!”
“Bisakah Anda buktikkan kalau saya yang melakukan semua itu?”
Agni tidak menggubris, “Saya hitung mundur … tiga … dua … satu!”
Evelyn tidak beranjak dari tempatnya berdiri, “Saya tidak mau main.”
Dar! Suara letusan terdengar keras dan bergema di parkiran basement itu membuat Evelyn terpekik kaget. Ia melirik peluru cat dari senapan paintball itu pecah di tiang parkiran yang berjarak hanya setengah meter darinya.
“Untuk berikutnya saya ga akan meleset Eve!” ancam Agni mengarahkan ujung senapannya pada wajah Evelyn.
Evelyn menelan ludah dengan gemetar dan ia pun berjalan menjauhi Agni.
“Hey Eve!” panggil Agni, Evelyn menoleh.
“Sebaiknya kamu lari!” teriak Agni lalu meletuskan senapannya lagi ke udara.
Evelyn pun berlari ketakutan mencari persembunyian.
Agni mengisi peluru paintball-nya lagi lalu mencari Evelyn sambil bersiul-siul.
Malam itu parkiran di basement sepi dan temaram. Tidak banyak mobil yang terparkir. Petugas parkir pun tak nampak. Parkiran tampak lengang dan beberapa ruang parkir malah dipakai untuk menumpuk kotak-kotak kayu bekas. Agni berjalan perlahan seraya mengarahkan senter di ujung senapan paintball-nya untuk mencari.
“Evelyyyyn … kamu di mana Eve? Ayo menyerah saja, hahaha,” panggil Agni seraya mencari di balik dinding tetapi tidak ada siapa-siapa. Ia menyusuri mobil-mobil yang diam terparkir dalam suram cahaya untuk mencari Evelyn, tetapi tidak ada juga. Hmmm, licin juga anak ini, batin Agni.
Klotak!
Terdengar suara benda jatuh.
Agni segera mendatangi asal suara itu.
Dilihatnya sebuah bros mawar tergeletak bergoyang di lantai.
Agni mengerutkan kening. Ia mendekati memperhatikan bros itu. Tiba-tiba tumpukan kotak kayu yang berada di sampingnya rubuh menimpanya. Agni menjerit tak menyangka. Kotak-kotak kayu itu mengenai kepala juga bahunya. “Sialan!” umpat Agni termakan jebakan Evelyn.
Saat Agni sibuk menyingkirkan kotak-kotak kayu itu, Evelyn mengendap-ngendap lalu melompat cepat untuk merebut senapan paintball tersebut. Agni terpekik mendapat serangan mendadak itu tetapi ia berusaha mempertahankan senapannya.
Mereka berdua berguling-guling memperebutkan senapan itu.
Evelyn menyarangkan tendangannya pada perut Agni. Tendangan itu mengengai Agni, ia mengaduh tapi tidak melepaskan pegangannya pada senapan. Ia berusaha berdiri dengan tetap mempertahankan senapannya lalu dengan tarikan kencang Agni berhasil melepaskan pegangan Evelyn dari senapan. Evelyn berusaha menyerang tapi Agni berhasil memukulkan popor senapan itu di pelipis Evelyn dengan keras membuatnya menjerit.
Evelyn sempoyongan mundur dengan darah yang mengucur dari pelipisnya. Agni segera mengarahkan senapannya pada Evelyn lalu menembakkannya. Peluru-peluru cat itu berdesingan keluar dari ujung senapan, melayang cepat dan pecah menghantam tubuh Evelyn bersusul-susulan. Evelyn berteriak kesakitan lalu jatuh terlentang di lantai parkiran.
Agni menghentikan tembakannya.
Ia berdiri dan melihat tubuh Evelyn yang diam tak bergerak. Agni mendekati Evelyn yang tiba-tiba melenguh kesakitan itu. “Ampun … saya minta ampun Bu,” mohon Evelyn pada Agni yang telah berdiri di sampingnya dengan senapan mengarah pada wajahnya.
“Apa salah anak saya?” tanya Agni dalam suara yang bergetar.
Evelyn menelan ludahnya tak bisa menjawab.
“Apa salah anak saya sehingga kamu berhak untuk membunuhnya?!” pekik Agni.
Evelyn menggeleng, “Maafkan saya Bu ….”
“Maaf tidak membuat Anggi hidup kembali.”
Evelyn terdiam.
“Telpon orang tuamu sekarang.”
“Hah? Jangan Bu … jangan bawa-bawa---“
“Telpon orang tuamu sekarang!!” ulangi Agni dengan lebih keras.
Dengan tangan gemetar, Evelyn menelepon orang tuanya, “Mah … ini Eve ….”
“Suruh kesini Mamahmu itu,” perintah Agni.
“Mah kesini ya … jemput Eve … tolong Mah … iya di tempat biasa Eve suka kumpul sama temen-temen … ga tau, kunci mobil Eve dipegang temen kayaknya … udah deh Mah jemput Eve ya sekarang! … Di basement Mah,” lirih Evelyn dan mematikan telepon genggamnya.
“Bagus, sekarang kita tunggu Mamahmu itu,” sahut Agni.
***
Bogor bukanlah kota yang besar, sehingga tak lama kemudian sebuah mobil telah tiba berjalan masuk kemudian berhenti di ujung parkiran basement tersebut. Pintu mobil itu terbuka lalu turun seorang wanita yang berjalan bergegas menghampiri Agni yang sedang berdiri dan Evelyn yang duduk di lantai dengan ujung senapan menempel di pelipisnya yang berdarah.
“Stop sampai di situ!” perintah Agni, membuat Mamah Evelyn itu menghentikan langkahnya. “Ya Tuhan Eve,” terdengar sedih suara mamahnya melihat kondisi Evelyn. Agni mengernyitkan keningnya mendengar suara itu.
Ia seperti mengenali suara itu. “Coba, Anda maju lagi ke tempat yang lebih terang, yang tersorot lampu di depan Anda itu … saya tidak bisa melihat Anda di sudut gelap,” perintah Agni lagi.
Maka Mamah Evelyn itu melangkah dan berdiri di bawah lampu neon. Lampu neon itu menerangi wajahnya dan Agni terkejut bukan kepalang hingga mulutnya menganga lebar mengetahui siapa orang itu.
Mamah Evelyn ternyata Rosa!
“Ya Tuhan Bu Rosa!” seru Agni.
Mereka saling pandang untuk beberapa saat.
“Ternyata … ini menjawab semua hasil investigasi itu yang tidak berpihak pada putri saya … dan kenapa Boba ketakutan … dengan jabatan Anda, Anda bisa membuat dia dikeluarkan dari kampus,” sambung Agni baru mengerti.
Rosa hanya diam.
“Sekarang masuk akal kenapa Anda juga meminta saya untuk melanjutkan hidup dan menerima keadaan, Anda tidak ingin ini terbongkar!” teriak Agni yang kini marah.
“Tidak Bu … awalnya saya dan pihak kampus memang melakukan investigasi itu secara fair … tapi … setelah Evelyn mengakui semuanya pada saya di rumah, maka …“ ujar Rosa tak bisa melanjutkan.
“Anda menutup-nutupi hasil investigasi-nya! Keterlaluan!”
“Saya hanya ingin menolong anak saya Bu,” kilah Rosa mulai menangis.
“Dengan mengorbankan nama baik anak saya??” pekik Agni marah.
“Saya hanya seorang Ibu, seorang Ibu harus melindungi anaknya,” kilah Rosa mengusap airmatanya.
“Hey, saya juga seorang Ibu! Kalau begitu, saya pun harus membalas kematian anak saya dong!” balas Agni cepat.
“Ja … jangan Bu … tolong maafkan Evelyn … dia anak yatim, ayahnya sudah tiada,” sambat Rosa meminta simpati.
“Heh, Anggi pun anak yatim Bu!” ketus Agni.
“To, tolong Bu … jangan sakiti Evelyn … dia masih muda, dia masih bisa berubah dan tidak akan mengulangi lagi kesalahannya, saya bisa menjaminnya, tolong ampuni dia Bu,” pinta Rosa lalu menekuk lututnya di lantai memohon.
“Lalu bagaimana dengan anak saya yang juga masih muda, berhak untuk hidup dan mengejar cita-citanya?” geram Agni.
“Saya tidak bisa menjawab itu Bu, tapi saya bisa merasakan rasa sakitnya Ibu.”
Agni menggeleng, “Tidak Bu, Anda tidak bisa merasakan bagaimana sakitnya sebelum Anda benar-benar kehilangan!” lalu Agni mendorong pelipis Evelyn dengan ujung senapannya dan jari telunjuknya telah siap menarik pelatuk.
Evelyn menjerit begitu pun Rosa.
“Jangaaaan Bu … tolong … saya akan melakukan apa saja asalkan Ibu mengampuni Evelyn!” teriak Rosa dengan uraian airmata.
“Mah … tolong Mah … Eve belum mau mati Mah,” isak Evelyn dengan airmata berlinang. “Bu Agni … saya tahu Ibu kecewa, marah dan bersedih … tapi … bukan begitu caranya mencari keadilan Bu … kita bisa melalui jalur hukum,” ujar Rosa mencoba bernegosiasi dengan Agni.
Agni tersenyum sinis, berkata, “Setelah apa yang Anda jelaskan soal lemahnya saya di posisi sekarang ini bila kasus ini dibawa ke jalur hukum? Tidak … saya tidak akan membawa kasus ini kesana …saya tahu saya tidak punya bukti kuat … lagi pula siapa yang mau mencari keadilan sekarang? Saya hanya ingin pembalasan!”
Pelatuk senapan itu pun ditarik oleh Agni hingga terdengar suara letusan.
Nyaring dan bergema di parkir basement.
Rosa menjerit keras melihat hal itu, lalu memanggil nama anaknya.
Dan malam itu akan menjadi malam yang tak terlupakan baginya.
***
Agni mengendarai mobilnya kembali ke Bandung.
Wajahnya kotor dan berdarah. Pakaiannya kusut dan berdebu. Jalanan panjang tol Purbaleunyi di depan ditatapnya tak berkedip.
Lamat-lamat suara tawa Anggi terdengar menggema di dalam mobilnya. Suara yang dirindukannya itu memberi tenang sekaligus mengiris hatinya. Jantungnya bedegup-degup tak menentu. Ia menghentikan mobilnya di pinggir jalan yang sunyi, turun dari mobil lalu berteriak sekeras mungkin pada punggung bukit yang gelap.
Menumpahkan semuanya.
Semua yang menekan hatinya.
Lalu disusul suara tangisannya yang sesunggukkan menyedihkan sambil duduk bersandar di samping mobilnya, merintih memanggil-manggil pelan nama putrinya.
***
Menjelang pagi mobil Agni telah sampai di rumah.
Ia masuk ke dalam rumah saat semua penghuninya masih terlelap di balik selimut.
Ia menyimpan senapan paintball-nya di dalam lemari juga telepon genggam putrinya disimpannya di dalam kotak bersama dengan semua barang kenangan suaminya.
Kemudian Agni membuka semua pakaiannya, memasukkannya ke dalam mesin cuci lalu ia membersihkan seluruh tubuhnya di bawah siraman air hangat di kamar mandi.
Setelah mandi ia menatap wajahnya di cermin kamarnya, mengusap cerminnya perlahan-lahan. “Kamu akan melalui semua ini Agni,” ucapnya menguatkan, kemudian ia bergegas keluar kamar.
“Anin! Adit! Ayo bangun sudah pagi! Cepat mandi nanti terlambat ke sekolah!” teriak Agni.
Beberapa saat kemudian.
Anindya memeluk mamanya dari belakang. “Anin kangen Mama ih,” ucapnya. Agni yang sedang menyiapkan sarapan membalikkan badannya lalu memeluk kembali putrinya itu. “Mama juga kangen tau!” balas Agni.
Anindya memejamkan matanya sebentar dalam pelukan mamanya. “Ayo-ayo cepat sarapan, bukannya malah peluk-pelukan!” timpuk Aditya dengan remahan roti pada kepala Anindya. “Hih Adit! Kotor lagi dong rambut gue!” kesal Anindya mengambil remahan yang menempel di rambutnya itu lalu menimpukkannya kembali pada Aditya yang tertawa-tawa.
Akhirnya semua berkumpul di meja makan.
Setelah mengucapkan doa pagi dan doa sebelum makan, mereka pun menyantap hidangan pagi itu dengan lahap. Kakek memperhatikan Agni yang sedang meminum kopi hitamnya. “Apa kabarmu Ni? Apakah kamu baik-baik saja?” tanya kakek yang duduk di seberangnya. Agni menelan kopinya dulu lalu tersenyum, “Agni baik-baik saja Pak.”
Setelah itu Agni mengantar si kembar ke sekolah. “Love you Ma!” seru si kembar berbarengan. “Love you so much Twins!” balas Agni.
Si kembar pun berjalan masuk ke dalam sekolah. Agni menghela nafasnya seraya menyandarkan lehernya pada jok mobil yang empuk. Semua kembali pada rutinitas biasanya.
Semua kembali normal.
“Harus begitu,” gumam Agni.
***
Beberapa hari kemudian.
Di persidangan internal kampus, tampak Agni duduk di kursi yang menghadap pada pengunjung sidang sedang ditanyai oleh salah seorang dosen ahli yang menjadi pimpinan sidang tersebut. “Bu Agni … saya hanya ingin menanyakan lagi, apakah Ibu Agni telah benar-benar memikirkan semua ini dengan baik-baik?”
Agni mengangguk.
“Bahkan setelah semua saksi itu menyampaikan kesaksian kepada kita semua atas apa yang terjadi … Ibu Agni akan tetap mengambil keputusan ini?”
Agni menatap Dina, Boba dan Ovi yang duduk di kursi barisan saksi dan berkata, “Sebelumnya saya berterima kasih untuk kesaksian kalian anak-anakku … betul pimpinan sidang, saya tetap mengambil keputusan ini … saya ingin nama putri saya, Anggita Damayanti dipulihkan dan dibersihkan dari segala tuduhan itu. Dan, satu lagi … agar ini tidak terjadi lagi pada anak-anak kita yang lain dan cukup berhenti di Anggi … maka saya minta setiap acara orientasi harus dihadiri dosen pengawas.”
“Tentu saja Bu, itulah mengapa kita semua ada di persidangan ini.”
Agni menatap mahasiswa dan mahasiswi yang hadir memadati gedung persidangan itu, lalu menatap pada si kembar, Anindya dan Aditya, yang duduk di kursi barisan pengunjung bersebelahan dengan kakeknya, mereka tersenyum pada Agni.
“Sekali lagi untuk yang terakhir, saya tanyakan kembali, Ibu Agni yakin untuk mengambil jalan ini? Karena semua kesaksian yang memberatkan itu bisa membuat pelaku masuk penjara,” tanya pimpinan sidang lagi.
“Saya yakin.”
Pimpinan sidang memandangi Agni, bertanya, “Saya penasaran sebetulnya Bu, saya ingin tahu mengapa saat itu, Ibu tidak membalasnya?”
Agni terdiam sebentar mendengar pertanyaan pimpinan sidang tersebut. Suasana sidang menjadi hening, semua orang menunggu jawaban Agni.
“Rasa sakit atas kehilangan seorang anak bagi seorang Ibu adalah tidak tertandingi … saya tidak ingin ada Ibu lain yang merasakan hal itu lagi,” jawab Agni seraya menatap pada Rosa yang duduk di kursi pengunjung bersebelahan dengan Evelyn yang menundukkan kepalanya dalam-dalam. Mata Rosa berkaca-kaca membalas tatapan Agni,
“Sungguh luhur apa yang Anda contohkan pada kami semua di sini Ibu Agni. Alih-alih membalas, Anda malah mengambil jalan untuk memaafkan dan tidak melanjutkan persidangan ini lagi.
Maka atas bukti-bukti kesaksian yang ada, sidang pengadilan internal atas kasus Anggita Damayanti ini memutuskan untuk memulihkan nama baik Anggita Damayanti dan melepasnya dari segala tuduhan!” urai pimpinan sidang dan mengetukkan palunya tiga kali.
“Juga atas permintaan keluarga korban, sidang pengadilan internal atas nama Anggita Damayanti ini membebaskan Evelyn, meski begitu, Evelyn tetap harus menjalankan kerja sosial di panti jompo selama dua tahun, rehab untuk ketergantungannya terhadap obat psikotropika dan wajib lapor pada pihak kampus setiap bulannya dalam dua tahun ke depan!”
“Serta dikukuhkan hari ini juga untuk menjadi persyaratan mutlak, bahwa setiap acara orientasi bagi mahasiswa mahasiswi baru di setiap jurusan, wajib didampingi minimal oleh dua dosen pengawas!” tegas pimpinan sidang lalu memukulkan palunya lagi untuk mengesahkan seluruh hasil sidang tersebut.
Semua orang bertepuk tangan dan memandangi Agni yang berjalan menuju barisan kursi pengunjung dengan rasa hormat yang tinggi. Sedang Rosa menangis memeluk Evelyn dengan erat. Agni melihat momen itu, bertepatan dengan mata Rosa yang menatapnya. Mereka saling bertatapan, bibir Rosa bergerak mengucapkan, “Terima kasih,” tanpa suara. Agni hanya mengangguk.
Kemudian Agni menghampiri si kembar dan memeluknya.