Tentang Dukun Santet Legendaris — yang berjaya dalam Mengusir Belanda, Tiga Abad Silam.
Tapi nasibnya berakhir tragis: dibakar hidup-hidup hingga arwahnya gentayangan
Sampai tahun 2025..
Jiwa LANANG JAGAD SEGARA:
tiba-tiba tersedot ke dalam tubuh ADAM SUKMA TANTRA, seorang INTERPOL Jenius, Muda dan Tampan.
Syarat tinggal di tubuh itu: cari dalang di balik pembunuhan Adam.
Maka dimulailah petualangannya menyelidiki kasus-kasus kriminal dengan cara aneh: Lewat Santet, Jimat Ghoib, dan Mantra Terlarang yang tak sesuai zaman. Tapi, justru cara kuno ini paling ampuh dan bikin partnernya cuma bisa terpana.
“Lho, kok jimatku lebih nendang daripada granat?!” — ujar Lanang, si Dukun Gaptek yang kini terjebak dalam lumpur misteri masa lalu.
Sanggupkah ia mewujudkan keinginan Jiwa asli sang pemilik tubuh?
Atau jangan-jangan justru terhantui rasa bersalah karena ternyata, penyebab Matinya Adam masih....
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Yuni_Hasibuan, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
5. Terlalu cepat pulih, kekuatannya meningkat pesat.
***
Ruang kerja Dokter Walter terasa terlalu steril untuk menampung dua pria yang sama-sama menahan marah.
Di dinding, layar tengah menampilkan hasil pemindaian otak Adam. Hasilnya begitu bersih dan terlihat normal. Walter menunjuk hasil scan itu sambil menghela napas berat.
“Dengar baik-baik… tidak ada cedera pada bagian sarafnya. Struktur otaknya utuh. Saya ulangi sekali lagi, utuh. Jadi mustahil dia mengalami geger otak.”
Sebelum Bryan sempat bersuara, Dokter Elibrech sudah memotong dengan suara beratnya.
“Mustahil, katamu? Coba pastikan sekali lagi! Anakku jelas mengalami geger otak. Aku ini bapak baptisnya, dan sudah dari dulu aku minta dia memanggilku Tabib, tapi sumpah mati dia bilang tidak mau. Sekarang? Dia selalu memanggilku Tabib. Kalau bukan geger otak, terus apa namanya? Kesurupan?”
Walter memutar bola matanya dengan malas. Menurutnya, kegilaan dokter Elibrech yang menilai seseorang geger otak hanya karena perubahan panggilan seperti itu jelas omong kosong.
Untungnya Bryan justru terlihat santai. Ia bersandar di kursi dengan senyum tipis di bibirnya.
“Dengan segala hormat, Pak Dokter Walter… Adam memang sudah aneh dari sananya. Mana mungkin ada pelukis terkenal kelas dunia yang tiba-tiba ngotot ingin jadi detektif?”
“Semua orang terdekatnya sudah melarang mati-matian. Mereka jelas menganggap pekerjaan ini tidak bisa membuat kaya dan juga terlalu berbahaya. Tapi dia malah kabur, dan lulus akademi dengan nilai tertinggi.”
Bryan melipat tangan di dada, tatapannya mengunci pada Elibrech.
“Kalau Adam tidak aneh dari awal, itu baru namanya aneh.”
Elibrech menatapnya tajam, rahangnya mengeras. Mereka sama-sama punya ikatan dekat dengan Adam. Elibrech sebagai bapak baptis sekaligus sahabat ayah Adam bahkan sebelum anak itu lahir. Sementara Bryan adalah partner pertama Adam begitu ia dilantik, juga rekan yang sama-sama pernah lolos dari sekolah tinggi Interpol dalam waktu yang sama.
Tapi soal definisi “kenormalan Adam”, keduanya jelas berada di dua kubu yang berbeda.
Walter akhirnya menepuk meja untuk memutus ketegangan.
“Baiklah, artinya kita harus setuju pada satu hal. Otaknya mungkin normal, tapi perilakunya? Itu cerita lain. Menurutku, kita sedang berhadapan dengan sesuatu yang jauh lebih besar daripada sekadar geger otak. Apa kalian paham? Itu yang harus kalian pikirkan.”
Nada suaranya mutlak, sebagai tanda bahwa diskusi ini tidak akan ia biarkan berlarut, apalagi diwarnai perang mulut antara dua pelindung setia Adam.
“Tapi Dokter, apa mungkin ini disebabkan oleh trauma berat pasca diculik? Mungkin selama penyiksaan, dia justru menciptakan karakter ganda? Bukannya itu bisa jadi pemicu untuk munculnya alter ego?” tanya Bryan, akhirnya mengungkapkan kecurigaan selama ini setelah melihat sahabatnya Adam berubah semakin aneh dan cenderung tidak ingat apa-apa.
“Yah… bisa jadi. Dan kita butuh tes psikologi khusus untuk mengetahui itu. Aku akan menjadwalkannya untuk sesi terapi,” putus Elibrech, yang juga memiliki kecurigaan sama dengan Bryan.
***
Sementara itu di bangsal ruang rawat inap, Adam dengan jiwa Lanang yang masih belum sadar kalau dirinya sedang jadi topik panas di ruang dokter, langsung bersin tiga kali berturut-turut.
Hari baru saja berganti dari malam ke siang, tapi dia sudah tidak betah di rumah sakit itu.
“Pembantu Tabib? Kapan aku bisa keluar dari rumah hantu ini? Warnanya memang putih, tapi auranya gelap sekali. Pasti sudah banyak orang mati di sini, ya?”
Ia bertanya serius pada seorang perawat berambut pirang yang sedang mengganti cairan infusnya. Dia lelah dari tadi melihat penampakan di sekitarnya, tapi pura-pura tidak melihat mereka, supaya mahluk halus itu tidak mengganggunya.
Tapi perawat itu hanya memutar bola mata malas. Sudah tahu sejak lama kalau anak baptis Dokter Elibrech ini memang aneh, tapi sekarang… entah kenapa gaya bicaranya seperti orang yang baru pulang dari Perang Dunia Kedua.
Tanpa menunggu jawaban, Lanang menatapnya heran.
“Aku bingung, kenapa orang-orang di sini selain mukanya bule, suka sekali juling-julingkan mata seperti itu. Memangnya nggak sakit, ya?”
Kali ini sang perawat memilih pergi, dengan wajah jengkel. mungkin benar-benar ilfeel.
Tak lama, Bryan mencegatnya di depan pintu.
“Bagaimana perkembangan luka-lukanya, Suster Mikha? Semua sudah diperiksa, kan?”
“Semuanya baik… bahkan terlalu cepat recovery. Dan itu yang paling aneh. Biasanya kondisi seperti ini baru terjadi kalau luka pasien dirawat dengan sangat baik selama dua minggu,” jawab Mikha sambil mengernyitkan alis.
Bryan juga mengangkat alis.
“Menurutmu kenapa bisa begitu? Jangan-jangan kalian punya obat rahasia untuk mempercepat penyembuhannya, dan mengujinya pada Adam tanpa sepengetahuanku?”
“Heh… Asal tau saja ya, obat seperti itu cuma ada di negeri dongeng. Justru kami yang harusnya curiga pada kalian. Kau bawa dia kemari dengan lima luka tembak ditubuhnya, darahnya juga habis di perjalanan. Tapi dia masih hidup… dan sekarang malah sembuh secepat ini? Kalau keadaan normal, dia pasti sudah mati.”
Bryan mendengus kesal.
“Bukannya sudah kubilang, aku cuma menyuntiknya dengan satu dosis morfin darurat. Kenapa sih kalian tidak percaya?”
“Tolol namanya kalau kami percaya. Tapi sudahlah, mungkin itu memang rahasia tim kalian. Yang penting pasien kami sembuh lebih cepat, dan itu lebih dari cukup,” tukas Mikha sambil berlalu pergi.
Bryana langsung masuk ke ruang rawat. Adam menatapnya dengan cengiran lebar, itu senyum orang yang jelas-jelas sudah pulih terlalu cepat.
“Jadi… kapan aku bisa keluar dari sini?”
Bryan menghela napas panjang.
“Kenapa kau ingin cepat-cepat keluar? Kau baru saja selamat dari luka tembak semalam. Mana mungkin langsung diizinkan pulang?”
“Aku tidak suka di sini. Auranya gelap, lebih buruk daripada kuburan,” jawab Adam, dan untuk kesekian kalinya mengulang kalimat yang sama sejak tadi pagi.
Bryan hanya mendesah jengah sekali lagi. Sekarang dia tak yakin yang lebih berbahaya itu luka tembaknya… atau isi kepalanya Adam.
Kata ANEH memang bisa di bilang adalah nama tengahnya Adam, tapi menyebut rumah sakit Ayah Baptisnya, lebih buruk daripada kuburan,,, bukannya itu keterlaluan?
Tok… tok… tok.
Tiga ketukan terdengar di pintu, lalu Dokter Elibrech masuk dengan seringai khasnya.
“Adam, kau kedatangan tamu. Coba tebak, siapa yang datang?”
Dari balik tubuh Elibrech, muncul seorang pria paruh baya berwajah tegas.
“Halo, Adam. Kau tidak lupa padaku, kan? Lama kita tak jumpa ya?”
Pria paruh baya itu tidak sendirian. Di sampingnya berdiri seorang wanita cantik yang jauh lebih muda, dengan mata bulat jenaka, rambut hitam di kuncir kuda, wajah tirus, dan bibir mungil.
“Wah, Kak Adam! Kelihatannya kau baik-baik saja. Padahal katanya kau ditembak lima kali. Aku sampai lari kemari, padahal di New Zealand sana aku sedang ujian,” katanya dengan mata berbinar.
Adam hanya menatap mereka kebingungan.
“Mereka ini siapa, Bryan?” tanyanya datar.
Brian memutar mata sebelum menjawab.
“Itu Tuan Ali Kamga… Dia pernah jadi mentor kita saat pertama lulus dari akademi kepolisian. Dan itu cucunya. Cewek yang naksir kau.”
Namun tiba-tiba, sebuah suara asing dan keras menghantam pikirannya.
'Jangan percaya mereka! Keduanya orang jahat!
Suara itu diiringi kilatan cahaya menyilaukan yang entah datang dari mana. Hanya Lanang yang merasakannya.
“Akhh… sialan, sakitnya…”
Lanang mengerang, tak yakin apakah rasa nyeri itu akibat suara yang memekakkan telinga atau kilatan cahaya yang menusuk matanya.
Elibrech langsung mendekatinya.
“Kau kenapa? Ada yang sakit?”
“Pergi… pergi kalian dari sini!”
Adam menepis tangan Elibrech begitu keras hingga pria tua itu hampir terjatuh.
“Hei… kau ini kenapa?” seru Ali Kamga, tiba-tiba sudah berada di sisi kiri ranjang.
Dan saat itu juga… bulu kuduk Adam meremang. Bau anyir darah tercium begitu tajam dari tubuh Ali Kamga. Sebuah aura merah pekat juga terlihat menguar dari tubuhnya, berpusat tepat di bagian jantung.
Lanang terpaku.
'Sejak kapan… aku bisa melihat hal ini?'
Selama ini dia hanya bisa melihat aura hantu, setan, maupun iblis. Tapi sekarang? Dia bisa melihat gelapnya hati manusia? Penerawangan gila macam apa ini!
Ah,,, Mungkin ini bonus dari Adam? Atau karena musuhnya bocah itu terlalu kuat, makanya kekuatanku juga meningkat pesat? Kalau begini, apa aku bisa melakukan banyak hal yang tak bisa kulakukan dulu?
Lanang terus bermonolog dan terjebak dalam pikirannya sendiri. Tak peduli yang lain di ruangan sudah menaruh kecurigaan besar-besaran terhadapnya.
...
seru dan menyeramkan.
tapi suka
semakin seru ceritanya