Villa megah itu berdiri di tepi jurang, tersembunyi di balik hutan pinus. Konon, setiap malam Jumat, lampu-lampunya menyala sendiri, dan terdengar lantunan piano dari dalam ruang tamu yang terkunci rapat. Penduduk sekitar menyebutnya "Villa Tak Bertuan" karena siapa pun yang berani menginap semalam di sana, tidak akan pernah kembali dalam keadaan waras—jika kembali sama sekali.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon kriicers, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 5•Kamar Terkunci Nomor 13
...Kamar Terkunci Nomor 13:...
Risa menghela napas panjang, menyesuaikan letak ransel di pundaknya. Kabut tipis menyelimuti jalanan Payakumbuh sore itu, memberikan kesan suram pada deretan bangunan tua yang berjajar. Ia baru saja tiba dan penginapan "Senja Kala" menjadi pilihan terakhir setelah semua losmen yang ia hubungi penuh. Bangunan dua lantai itu tampak usang, cat temboknya mengelupas di beberapa bagian, dan papan nama di atas pintu berderit pelan tertiup angin.
Langkah Risa memasuki lobi penginapan disambut oleh aroma lembap dan debu. Seorang pria paruh baya dengan wajah lesu dan mata sembab menyambutnya dari balik meja resepsionis yang penuh dengan tumpukan buku usang. Namanya Pak Jono, pemilik sekaligus satu-satunya penjaga penginapan itu.
"Selamat sore, Mbak. Ada yang bisa saya bantu?" suara Pak Jono terdengar serak.
"Selamat sore, Pak. Saya mencari kamar untuk satu malam," jawab Risa ramah.
Pak Jono mengangguk pelan, meraih buku besar di hadapannya, dan mulai membolak-baliknya. "Kamar yang kosong tinggal nomor 12 dan... nomor 14."
Risa mengerutkan kening. "Nomor 13 tidak ada, Pak?"
Ekspresi Pak Jono berubah seketika. Raut wajahnya menegang, dan tangannya yang memegang pulpen tampak bergetar. Ia mendongak menatap Risa dengan mata yang kini memancarkan ketakutan. "Nomor... nomor 13 terkunci, Mbak. Sudah lama sekali tidak ada yang menempatinya."
"Terkunci? Kenapa begitu, Pak?" Risa menjadi penasaran. Ada sesuatu dalam nada bicara Pak Jono yang membuatnya merasa ada misteri di balik kamar bernomor ganjil itu.
Pak Jono menggeleng lemah, menghindari tatapan Risa. "Sudahlah, Mbak. Lebih baik Mbak ambil kamar nomor 12 saja. Di sana juga nyaman."
Namun, rasa ingin tahu Risa sudah terlanjur terusik. Ada aura aneh yang menyelimuti penginapan ini, dan kamar nomor 13 seolah menjadi pusat dari keanehan itu. "Maaf, Pak. Tapi bolehkah saya tahu kenapa kamar itu terkunci? Apa ada sesuatu yang terjadi di sana?"
Pak Jono menghela napas berat, tampak enggan untuk bercerita. Namun, tatapan penuh keingintahuan Risa membuatnya akhirnya luluh. Ia mencondongkan tubuhnya ke depan, berbisik pelan, "Dulu... dulu ada seorang tamu yang meninggal di kamar itu, Mbak. Meninggalnya tidak wajar. Sejak saat itu, kamar itu selalu terkunci. Banyak yang bilang... arwahnya masih bergentayangan di sana."
Mendengar cerita itu, bulu kuduk Risa berdiri. Namun, rasa takutnya bercampur dengan rasa penasaran yang semakin besar. Sebagai seorang penulis novel misteri, ia selalu tertarik dengan kisah-kisah seperti ini. "Apa Bapak punya kuncinya? Saya... saya ingin melihat kamar itu sebentar saja. Saya janji tidak akan mengganggunya."
Pak Jono menggeleng keras. "Tidak bisa, Mbak. Saya tidak berani membukanya lagi. Lagipula, kuncinya hilang entah ke mana."
Risa tidak menyerah. Setelah bernegosiasi cukup lama, Pak Jono akhirnya bersedia mengantarnya ke depan kamar nomor 13. Dengan langkah berat, mereka menaiki tangga kayu yang berderit menuju lantai dua. Suasana di lorong semakin suram. Lukisan-lukisan tua yang tergantung di dinding tampak mengawasi mereka dengan tatapan kosong.
Sesampainya di depan pintu kamar nomor 13, Risa merasakan hawa dingin yang menusuk tulang. Pintu kayu berwarna cokelat tua itu tampak kokoh, dengan lapisan debu tebal yang menandakan bahwa kamar itu memang sudah lama tidak dibuka. Tidak ada gagang pintu di sana, hanya sebuah lubang kunci berkarat.
"Ini kamar terakhir di ujung lorong, Mbak," bisik Pak Jono dengan nada cemas. "Dulu, tamu yang meninggal itu ditemukan terkunci dari dalam. Padahal, tidak ada kunci di dalam kamar."
Mendengar itu, Risa semakin tertarik. Bagaimana mungkin sebuah kamar terkunci dari dalam tanpa ada kunci? Misteri ini terlalu menarik untuk diabaikan. Setelah mengucapkan terima kasih kepada Pak Jono, Risa kembali ke lobi dan menyewa kamar nomor 12. Namun, pikirannya terus tertuju pada kamar terkunci di ujung lorong itu.
Malam harinya, setelah makan malam sederhana di warung dekat penginapan, Risa tidak bisa tidur. Bayangan kamar nomor 13 terus menghantuinya. Ia memutuskan untuk keluar kamar dan berjalan-jalan di sekitar lorong lantai dua. Suasana sunyi senyap, hanya suara derit lantai kayu yang sesekali terdengar.
Dengan berhati-hati, ia berjalan menuju ujung lorong, kembali berdiri di depan pintu kamar nomor 13. Ia mencoba mengintip melalui lubang kunci, namun gelap gulita di dalamnya. Tiba-tiba, ia merasakan sentuhan dingin di bahunya. Risa terlonjak kaget dan menoleh ke belakang. Tidak ada siapa-siapa.
Bulu kuduknya kembali berdiri. Ia mencoba menenangkan diri, berpikir bahwa itu hanyalah perasaannya saja. Namun, rasa tidak nyaman itu semakin kuat. Ia mendengar suara bisikan lirih dari balik pintu kamar nomor 13. Suaranya samar, seperti memanggil namanya.
Risa memberanikan diri mendekatkan telinganya ke pintu. Bisikan itu semakin jelas, namun ia tidak bisa mengenali kata-katanya. Tiba-tiba, ia merasakan getaran halus di pintu. Lubang kunci itu tampak bergerak sedikit.
Ketakutan Risa memuncak. Ia mundur beberapa langkah, jantungnya berdebar kencang. Ia yakin ada sesuatu yang tidak beres dengan kamar ini. Ia memutuskan untuk kembali ke kamarnya dan mencoba tidur.
Namun, di tengah malam, Risa terbangun oleh suara ketukan pelan dari arah dinding yang berbatasan dengan kamar nomor 13. Ketukan itu berirama, seperti sebuah kode. Ia mencoba mengabaikannya, namun ketukan itu semakin keras dan mendesak.
Dengan rasa penasaran yang tak tertahankan, Risa bangkit dari tempat tidur dan mendekati dinding. Ia mencoba membalas ketukan itu dengan irama yang sama. Anehnya, ketukan dari balik dinding itu merespons, melanjutkan iramanya seolah-olah mereka sedang berkomunikasi.
Risa merasa ada seseorang atau sesuatu di balik dinding itu yang ingin menyampaikan pesan kepadanya. Ia terus bertukar ketukan dengan entitas misterius itu hingga larut malam. Ia merasa semakin terhubung dengan kamar nomor 13 dan rahasia yang tersembunyi di dalamnya.
Keesokan paginya, Risa memutuskan untuk mencari tahu lebih banyak tentang tamu yang meninggal di kamar nomor 13. Ia bertanya kepada Pak Jono, namun pemilik penginapan itu tampak semakin ketakutan dan enggan membahasnya. Ia hanya mengatakan bahwa kejadian itu sudah lama sekali dan ia tidak ingin mengingatnya lagi.
Merasa tidak mendapatkan informasi yang cukup dari Pak Jono, Risa mencoba mencari informasi dari penduduk sekitar penginapan. Setelah bertanya kepada beberapa orang, ia akhirnya menemukan seorang wanita tua yang bersedia bercerita.
Menurut wanita itu, dulu ada seorang wanita muda bernama Maya yang menginap di kamar nomor 13. Ia adalah seorang seniman yang datang ke Payakumbuh untuk mencari inspirasi. Suatu pagi, ia ditemukan meninggal di kamarnya dalam keadaan terkunci dari dalam. Tidak ada tanda-tanda kekerasan, namun wajahnya menunjukkan ekspresi ketakutan yang luar biasa.
Polisi tidak berhasil mengungkap penyebab kematian Maya. Banyak yang menduga ia bunuh diri, namun tidak ada surat wasiat yang ditemukan. Sejak saat itu, kamar nomor 13 dianggap berhantu dan tidak pernah dibuka lagi.
Mendengar cerita itu, Risa merasa semakin yakin bahwa ada misteri yang belum terpecahkan di balik kematian Maya. Ia merasa ada keterikatan antara dirinya dan kamar nomor 13, terutama setelah kejadian semalam.
Dengan tekad yang bulat, Risa memutuskan untuk mencoba membuka kamar terkunci itu. Ia yakin bahwa di dalam kamar itu terdapat kunci atau petunjuk yang bisa mengungkap kebenaran tentang kematian Maya.
Ia kembali ke lobi dan meminta izin kepada Pak Jono untuk melihat lagi kamar nomor 13. Awalnya, Pak Jono menolak, namun setelah Risa memohon dan berjanji tidak akan melakukan apapun yang berbahaya, ia akhirnya mengizinkan.
Bersama Pak Jono, Risa kembali berdiri di depan pintu kamar nomor 13. Ia memeriksa lubang kunci dengan lebih teliti. Tiba-tiba, ia menemukan sesuatu yang aneh. Di dalam lubang kunci, tampak serpihan kertas kecil terselip.
Dengan hati-hati, Risa mencoba mengeluarkan serpihan kertas itu menggunakan peniti. Setelah beberapa kali mencoba, ia berhasil mengeluarkan secarik kertas kecil yang sudah lusuh. Di atas kertas itu, terdapat tulisan tangan yang samar: "Di balik cermin."
Risa dan Pak Jono saling bertukar pandang. Mereka berdua terkejut dengan petunjuk misterius itu. Tanpa membuang waktu, Risa meminta Pak Jono untuk mencari kunci kamar nomor 13. Setelah mencari di gudang yang berantakan, Pak Jono akhirnya menemukan sebuah kunci berkarat yang tampak cocok dengan lubang kunci kamar itu.
Dengan jantung berdebar kencang, Pak Jono membuka pintu kamar nomor 13. Pintu itu berdecit pelan saat terbuka, melepaskan bau pengap dan debu yang menyelimuti ruangan selama bertahun-tahun.
Risa memasuki kamar itu dengan hati-hati. Kamar itu tampak sederhana, dengan sebuah tempat tidur usang, meja rias berdebu, dan sebuah cermin besar yang tergantung di dinding. Sesuai dengan petunjuk di kertas, Risa langsung menuju ke arah cermin.
Ia memeriksa permukaan cermin dengan teliti. Awalnya, tidak ada yang aneh. Namun, ketika ia menyentuh bagian tengah cermin, ia merasakan ada sesuatu yang berbeda. Permukaan cermin terasa lebih tipis di bagian itu.
Dengan sedikit tenaga, Risa mencoba mendorong bagian tengah cermin itu. Anehnya, cermin itu bergeser sedikit, mengungkapkan sebuah celah tersembunyi di balik dinding. Risa dan Pak Jono terkejut melihat sebuah ruangan kecil tersembunyi di balik cermin itu.
Dengan rasa penasaran yang memuncak, mereka memasuki ruangan rahasia itu. Ruangan itu tampak lebih berdebu dan lembap dari kamar utama. Di tengah ruangan, terdapat sebuah meja kecil dengan sebuah buku harian terbuka di atasnya.
Risa segera meraih buku harian itu dan membacanya. Buku itu ternyata milik Maya, seniman yang meninggal di kamar ini bertahun-tahun yang lalu. Dalam buku hariannya, Maya menceritakan tentang ketakutannya terhadap seseorang yang terus mengawasinya dan mengancamnya. Ia juga menulis tentang sebuah rahasia besar yang ia temukan dan ia sembunyikan di balik cermin kamarnya.
Di halaman terakhir buku harian itu, Maya menulis tentang identitas orang yang mengancamnya. Orang itu ternyata adalah... Pak Jono, pemilik penginapan "Senja Kala". Maya mengetahui bahwa Pak Jono terlibat dalam bisnis ilegal dan ia mengancam akan membongkar kejahatan itu kepada polisi.
Malam sebelum kematiannya, Maya menulis bahwa Pak Jono datang ke kamarnya dan mengancamnya. Ia sempat bersembunyi di ruangan rahasia di balik cermin, namun Pak Jono berhasil menemukannya. Terjadilah pergumulan sengit di antara mereka, yang berakhir dengan kematian Maya. Pak Jono kemudian mengunci kamar itu dari luar dan menyebarkan cerita bahwa kamar itu berhantu untuk menutupi kejahatannya.
Risa dan Pak Jono saling menatap dengan kengerian. Pak Jono yang selama ini tampak lesu dan ketakutan ternyata adalah seorang pembunuh. Risa segera melaporkan kejadian itu kepada polisi. Beberapa hari kemudian, Pak Jono ditangkap dan penginapan "Senja Kala" ditutup.
Misteri kamar terkunci nomor 13 akhirnya terpecahkan. Arwah Maya akhirnya bisa tenang, dan keadilan telah ditegakkan. Risa, dengan keberanian dan rasa ingin tahunya, telah berhasil mengungkap sebuah kejahatan yang tersembunyi di balik dinding penginapan tua di Payakumbuh. Pengalaman ini menjadi inspirasi bagi novel misteri terbarunya, yang tentu saja berjudul "Kamar Terkunci Nomor 13".
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...