Aku pernah percaya bahwa cinta itu cukup.
Bahwa selama kita mencintai seseorang dengan sepenuh hati, ia akan tinggal. Bahwa kesetiaan akan dibalas dengan kesetiaan. Bahwa pengorbanan akan membuka jalan menuju kebahagiaan. Aku percaya, sampai kenyataan memaksaku membuka mata: tidak semua cinta menemukan jalannya, dan tidak semua istri benar-benar menjadi pilihan.
Namaku Nayla. Seorang istri di atas kertas. Di kehidupan nyata? Aku lebih sering merasa seperti tamu dalam rumahku sendiri. Aku memasak, mencuci, merapikan rumah, menyiapkan segala kebutuhan suamiku. Tapi tak sekalipun aku merasa dipandang sebagai seseorang yang ia banggakan. Tak pernah aku lihat binar di matanya ketika menatapku. Tidak seperti saat ia menatap layar ponselnya, tersenyum kecil, membalas pesan yang tak pernah kutahu isinya.
Aku dan Raka menikah karena keadaan. Aku menyukainya sejak lama, dan saat kami dipertemukan dalam sebuah kesempatan yang kelihatannya takdir, aku langsung mengiyakan tanpa banyak berpikir.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Yullia Widi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 20 : Perempuan yang Kembali Memilih Dirinya
Pagi pertama setelah reuni itu, Nayla terbangun dengan perasaan yang asing namun melegakan: sunyi yang tak lagi mengusik. Tidak ada mimpi buruk tentang Laras. Tidak ada bayangan Arvan yang membuat napasnya tercekat di antara tidur. Hanya cahaya pagi yang masuk lembut melalui jendela apartemen kecilnya, dan detak jantung yang berjalan tenang.
Di meja dapur, ia menyeduh teh hangat. Kali ini bukan untuk melupakan, tapi untuk menemani. Ia duduk di depan laptop, membuka folder yang dulu sering ia hindari: Proposal Usaha “Ruang Hening”.
Sebuah ide lama yang pernah ingin ia bangun bersama Arvan, tapi terus ditunda karena katanya "belum waktunya", "belum cukup dana", atau "belum prioritas". Padahal yang tidak pernah cukup bukan dananya, tapi kemauan untuk percaya pada mimpinya.
Kini, Nayla tak butuh izin siapa pun untuk mulai.
Ia menelusuri kembali dokumen-dokumen itu, merevisi desain dan kontennya. “Ruang Hening” adalah sebuah konsep kafe dan ruang diskusi kecil yang menjadi tempat aman bagi perempuan untuk berbicara, untuk menangis, atau sekadar duduk tanpa ditanya kapan menikah, kapan punya anak, atau kenapa masih sendiri.
Di sela pekerjaannya, sebuah pesan masuk ke email profesionalnya.
Subject: Undangan Menjadi Pembicara
Kami mengundang Ibu Nayla sebagai pembicara dalam Webinar: “Perempuan Pasca Perceraian: Dari Luka Menuju Ruang Baru”
Apakah Ibu bersedia?
Nayla terdiam. Dahulu, kata "perceraian" terasa seperti cap yang menyakitkan. Tapi kini? Ia bahkan bisa menyebutnya tanpa getir. Ia menarik napas, lalu mengetik balasan:
Saya bersedia.
Dengan satu syarat: jangan tempatkan saya sebagai korban.
Saya ingin bicara sebagai perempuan yang memilih untuk hidup.
Beberapa hari kemudian, Nayla berdiri di hadapan layar laptop, wajahnya terpampang di ruang Zoom yang penuh peserta. Ada yang wajahnya redup, ada yang masih menyeka air mata. Dan Nayla tahu, di antara mereka, ia melihat dirinya yang dulu.
“Aku tidak akan memulai dengan cerita menyedihkan,” ucapnya dengan suara mantap. “Karena yang aku jalani bukan tentang kesedihan, tapi tentang keberanian.”
Ia bercerita, bukan tentang Arvan, bukan tentang Laras. Tapi tentang rasa takut untuk sendirian. Tentang malam-malam gelisah, tentang hari-hari di mana bangkit dari tempat tidur saja sudah seperti mendaki gunung.
“Aku pikir aku harus terus bertahan agar tidak kehilangan. Tapi ternyata, justru saat aku berani melepaskan, aku menemukan kembali diriku sendiri.”
Satu per satu peserta memberikan reaksi: acungan jempol, emotikon menangis, komentar penuh terima kasih. Tapi satu hal yang membuat Nayla benar-benar ingin menangis adalah ketika satu pesan pribadi masuk:
“Kak Nayla, aku tadinya mau menyerah. Tapi setelah dengar kisah Kakak, aku pikir... mungkin aku juga masih bisa bangkit.”
Nayla tak membalas apa-apa. Ia hanya menatap layar, membiarkan air matanya jatuh tanpa suara. Bukan karena sedih. Tapi karena tahu akhirnya, luka itu telah berubah menjadi lentera.
Malamnya, ia berdiri di balkon. Angin mengusap pipinya yang dingin. Di tangannya, ada satu sketsa logo bertuliskan: “Ruang Hening – Untuk Perempuan yang Ingin Pulang ke Dirinya Sendiri.”
Kini, ia tak butuh validasi. Tak perlu pengakuan. Cukup satu langkah kecil setiap hari, untuk terus mengingat bahwa ia layak bahagia. Tanpa harus dipilih siapa pun. Bahkan tanpa harus dicintai siapa pun selain dirinya sendiri.
Beberapa hari setelah webinar itu, Nayla menerima pesan dari seorang perempuan bernama Dini salah satu peserta yang diam-diam menyimak tanpa kamera menyala.
Kak Nayla, aku korban KDRT dan sedang mengurus cerai. Tapi setiap malam aku merasa bersalah. Takut anakku kehilangan figur ayah. Tapi setelah dengar cerita Kakak, aku tahu, yang hilang bukan ayah, tapi sosok yang harusnya melindungi. Terima kasih sudah bicara jujur.
Nayla membaca pelan, lalu merebahkan tubuhnya di sofa. Matanya menerawang langit-langit. Dulu, ia tak pernah menyangka bahwa luka yang ia kira sia-sia, ternyata bisa jadi pelita untuk orang lain.
Kini ia tahu: luka yang diterima dengan lapang, bisa menyembuhkan lebih dari satu jiwa.
Malam itu, ia duduk di ruang tamunya yang sederhana. Satu demi satu, ia menyusun daftar rencana peluncuran “Ruang Hening.”
Podcast mingguan
Grup pendampingan online
Ruang tatap muka setiap Sabtu
Kelas refleksi untuk perempuan yang ingin memulai hidup dari titik nol
Tangan Nayla berhenti saat ia menulis judul salah satu kelas:
"Memaafkan Tanpa Harus Berdamai"
Ia terdiam. Lalu tersenyum samar. Karena ia tahu, kata “damai” sering kali dibebani dengan tuntutan berdamai dengan pelaku, dengan masa lalu, dengan trauma. Tapi Nayla tidak ingin itu.
Ia ingin ruang damai yang hanya butuh satu hal: penerimaan.
Seminggu setelah itu, Nayla berdiri di depan pintu ruko kecil berwarna krem di pinggir kota. Bangunan itu tak mewah. Tapi cukup luas untuk jadi tempat pertama Ruang Hening berdiri. Ia menyewa dengan uang tabungannya sendiri. Tanpa investor. Tanpa dukungan mantan suami. Tanpa nama siapa pun di belakangnya.
Ketika pemilik gedung menyerahkan kunci, tangan Nayla sempat gemetar. Tapi bukan karena takut. Melainkan karena haru: ini untuk pertama kalinya dalam hidup, ia benar-benar membangun sesuatu yang bukan untuk menyenangkan siapa pun, tapi untuk dirinya sendiri.
Ia membuka pintu perlahan. Ruangan itu kosong, berdebu, dan lampunya belum terpasang sempurna. Tapi di mata Nayla, itu adalah halaman baru.
Di salah satu dinding, ia menempelkan secarik kertas bertuliskan:
“Ruang ini untukmu. Saat kamu lelah jadi istri, jadi ibu, jadi anak yang baik, jadi perempuan yang harus kuat kamu boleh diam. Kamu boleh rapuh. Karena kita semua manusia.”
Satu sore, saat ia mengecat dinding dengan warna putih tulang, tangan Nayla dipenuhi noda cat. Musik dari speaker kecilnya mengalun pelan. Lalu terdengar langkah kaki.
Seorang laki-laki muda berdiri di depan pintu terbuka.
“Permisi… Ini beneran Ruang Hening?”
Nayla menoleh. “Belum jadi. Tapi iya, sebentar lagi akan jadi.”
Pria itu tersenyum. “Aku dapat info dari teman. Katanya, di sini tempat orang belajar berdamai dengan hidup?”
Nayla tersenyum. “Teman kamu nggak salah. Tapi kami belum buka. Minggu depan, baru launching.”
“Boleh bantuin? Aku suka bikin mural. Mungkin bisa gambarin sesuatu di dinding ruang refleksinya?”
Nayla berpikir sejenak. Dulu, ia terlalu hati-hati membuka ruang baru untuk orang asing. Tapi sekarang, ia ingin belajar percaya lagi bukan pada siapa pun, tapi pada kemungkinan.
“Oke,” katanya sambil menyodorkan kuas. “Tapi muralnya jangan tentang luka. Bikin tentang cahaya.”
Malam itu, saat semua sudah selesai dan lampu dimatikan, Nayla duduk sendirian di lantai kayu yang masih bau pernis. Ia bersandar ke dinding, memejamkan mata.
Tak ada Arvan di pikirannya. Tak ada Laras. Tak ada dendam. Tak ada ingin membuktikan apa pun.
Hanya satu kalimat terlintas:
Aku bukan perempuan yang kuat. Aku hanya perempuan yang tidak ingin hilang dari dirinya sendiri.
Dan di ruang itulah, Nayla tahu ia telah pulang.