Hannah, seorang perempuan yang tuli, bisu dan lumpuh. Ketika melihat perut Hannah terus membesar, Baharudin—ayahnya—ketakutan putrinya mengidap penyakit kanker. Ketika dibawa ke dokter, baru diketahui kalau dia sedang hamil.
Bagaimana bisa Hannah hamil? Karena dia belum menikah dan setiap hari tinggal di rumah.
Siapakah yang sudah menghamili Hannah?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Santi Suki, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 5
Bayangan Hannah tidak bisa hilang dalam ingatan Arka. Wajah teduh perempuan itu, senyum lembutnya yang muncul malu-malu, terus terngiang dan terpatri dalam benaknya. Senyum itu seperti serpihan cahaya yang menyelinap di antara retakan gelap masa lalu Arka, membuatnya merasa... hidup.
"Hannah ... nama yang cantik," gumam Arka sambil menatap langit-langit kamar, seolah-olah namanya terukir di sana. Bibirnya melengkung, manis.
"Selain cantik, Hannah juga jago memasak," lanjut pria itu masih terjebak dalam lamunan yang menyenangkan. Aroma masakan gadis itu seakan masih menempel di indra penciumannya, meninggalkan jejak hangat yang sulit dihapus.
Saat itu, pintu kamar terbuka perlahan. Arman masuk sambil membawa segelas air, namun langkahnya terhenti begitu melihat Arka tersenyum sendiri, seperti orang yang sedang dimabuk asmara. Dahinya berkerut. Ini bukan pemandangan yang biasa.
Sejak tragedi belasan tahun silam, Arka adalah sosok yang dingin dan tertutup, nyaris tak pernah tersenyum, apalagi tertawa. Melihat senyuman itu kembali muncul di wajah kakaknya, membuat Arman antara terharu dan curiga.
"Arka, kamu baik-baik saja, kan?" tanya Arman dengan nada pelan, penuh kehati-hatian. Dalam pikirannya sempat terlintas kemungkinan aneh—jangan-jangan Arka kerasukan sesuatu?
Suara Arman menyeret Arka kembali ke kenyataan. Dia menoleh cepat, wajahnya berubah kaku. "Ada apa?" tanyanya datar, berusaha menyembunyikan kegugupan.
"Seharusnya aku yang nanya itu. Barusan kamu senyum-senyum sendiri, loh. Jangan-jangan lagi naksir seseorang, ya?" goda Arman sambil duduk santai di pinggir ranjang.
Arka tersentak. Senyum? Apa tadi dia benar-benar tersenyum? Dia buru-buru menutup wajah dengan tangan dan menghela napas. "Mungkin kamu salah lihat," elaknya, pura-pura tenang. Tapi jantungnya berdetak lebih cepat dari biasanya. Ada rasa malu, juga geli, karena kepergok larut dalam angan-angan.
Arman terkekeh kecil, tapi kemudian wajahnya berubah serius. "Barusan aku dapat pesan dari Mbok Mirna. Katanya, Papa sakit. Kita disuruh datang ke rumah."
Seketika senyum yang sempat menggantung di wajah Arka memudar. Suasana kamar terasa mencekam. Dada Arka serasa diremas. Luka lama kembali menganga, seakan-akan tidak pernah benar-benar sembuh.
"Apa dia lupa kalau sudah mengusir kita dari rumah demi wanita jalang itu?" kata Arka, suaranya dingin dan penuh kebencian. Sorot matanya tajam, seperti pecahan kaca yang memantulkan masa lalu kelam.
"Aku juga nggak mau melihatnya lagi. Tapi, pesan dari Mbok Mir kali ini... beda. Dia bilang, kita harus bertemu Papa sebelum terlambat," ujar Arman, mencoba menahan perasaan. Ada keraguan yang berat di matanya.
Arka berdiri, langkahnya berat. "Kalau kamu mau pergi, silakan saja. Aku tetap tidak mau. Tidak peduli laki-laki itu hidup atau mati, sama seperti dia dulu tidak peduli saat Mama kita tergeletak sendirian."
Suara Arka serak, tapi tegas. Lalu, tanpa menunggu jawaban, dia masuk ke kamar mandi. Suara air mengalir terdengar sebentar kemudian, pertanda Arka memilih menenggelamkan diri dalam keheningan dan air hangat, berharap bisa meredakan amarah yang kembali membakar dada.
Arman mengusap wajah dengan kasar, lalu menarik rambutnya sendiri. Wajahnya memerah karena frustrasi. Dilemanya begitu rumit—hatinya penuh luka, tapi nuraninya terus memanggil. Benarkah mereka tidak boleh memberi kesempatan terakhir kepada seorang ayah?
"Apa yang harus aku lakukan?" gumamnya lirih, kemudian berjalan keluar dari kamar sambil mengumpat pelan. "Gara-gara wanita sialan itu, aku dan Arka jadi benci sama Papa..."
---
Sementara itu, di sebuah rumah kecil yang hangat dan sederhana, Hannah duduk bersila di lantai bersama Yasmin. Senyum Hannah terpancar jernih, matanya berbinar mendengarkan celoteh putri kecilnya yang antusias menceritakan hasil jualannya hari ini.
Hari ini memang berbeda. Sejak pagi, Yasmin tampak semangat menjajakan jajanan buatan ibunya. Anak itu punya pesona yang mirip Hannah—manis, lembut, dan penuh semangat. Walau baru lima tahun, kepandaiannya dalam berhitung dan menawarkan dagangan membuat Hannah berkali-kali tertegun.
"Mama, nanti aku kenalkan sama Om Arman," kata Yasmin sambil menata uang hasil jualannya ke dalam kotak kecil. Jemarinya lincah, wajahnya berseri-seri penuh kemenangan.
Hannah mengangguk, senang melihat anaknya tumbuh percaya diri. Dulu, dirinya bahkan tak berani menatap orang lain karena merasa hina dan tak berharga. Namun kini, berkat Yasmin, perlahan ia belajar berdiri dan percaya pada dirinya sendiri.
Pak Baharuddin yang duduk di kursi rotan ikut tersenyum melihat cucunya. "Lalu, sama Kakek... apa nggak mau dikenalkan juga?" godanya.
Yasmin mengerutkan kening. "Bukannya Kakek udah kenal sama Om Arman? Kan sering ketemu di supermarket tempat Kakek belanja."
"Hah?! Iya, kah?" Pak Baharuddin menggaruk kepala, mencoba mengingat-ingat wajah para karyawan di sana. Tapi tak satu pun yang cocok dengan nama itu.
"Mungkin Ayah tahu orangnya, tapi enggak tahu namanya." Hannah menggunakan bahasa isyarat dengan tenang, ekspresinya lembut.
"Bisa jadi," sahut Pak Baharuddin sambil mengusap kepala putrinya penuh sayang. Di matanya, Hannah masih anak kecil yang selalu ingin dilindungi.
Hannah mengembuskan napas pelan. Kehangatan seperti ini yang membuat hatinya damai. Ia tak butuh dunia mengakuinya. Cukup keluarganya, cukup anaknya, cukup rasa aman seperti ini.
"Kek, kapan-kapan kita ajak Mama belanja ke supermarket lagi, ya!" pinta Yasmin riang.
Pak Baharuddin melirik ke arah Hannah dengan senyum mengambang. Ada harapan di mata anak itu yang sulit ditolak.
Namun Hannah hanya menggeleng pelan. Ada luka yang belum sepenuhnya sembuh. Luka yang membuat keramaian menjadi momok. Luka yang datang dari pandangan sinis dan bisik-bisik jahat saat dia dulu duduk di kursi roda, diam, tanpa bisa membela diri.
"Mama sekarang sudah bisa jalan lama pakai kruk. Jadi, nggak akan ganggu orang lain kayak waktu masih pakai kursi roda," ujar Yasmin, seolah-olah bisa membaca pikiran ibunya.
Hannah memandangi putrinya lama. Matanya berkaca-kaca. Gadis kecil itu tak hanya pewaris darahnya, tapi juga kekuatan dan harapannya.
Terakhir kali mereka pergi jalan-jalan, tragedi kecil terjadi. Seseorang menertawakannya karena terjatuh di tempat umum. Sejak itu, Hannah mengurung diri. Tapi kini... mungkin dia akan mencoba lagi. Demi Yasmin. Demi dirinya sendiri.
❤❤❤❤❤
❤❤❤❤❤
siapakah pelaku yg udah buat trauma hannah 🤔
kalo krna trauma berarti hannah masih bisa disembuhkan ya,,suara yg hilang sm kelumpuhan kakinya dn pendengarannya kan bisa pake alat dengar 🤔
masih banyak yg blm terjawab dn bikin makin penasaran 🤗🤗