NovelToon NovelToon
Dosenku Ternyata Menyukaiku

Dosenku Ternyata Menyukaiku

Status: sedang berlangsung
Genre:Romantis / Dosen / Beda Usia / Diam-Diam Cinta / Romansa / Slice of Life
Popularitas:1.7k
Nilai: 5
Nama Author: Luckygurl_

Camelia Sasongko punya segalanya, rumah megah, dan hidup yang tampak sempurna di mata siapa pun. Tapi di balik gemerlap itu, ia menyimpan kesepian yang tak bisa dibeli dengan apa pun.

Hingga sebuah pertemuan lewat aplikasi dating menghadirkan sosok asing yang perlahan memberi warna dalam hidupnya. Lelaki itu hadir tanpa nama besar, tanpa latar belakang yang jelas, tapi bisa membuat Camelia merasa, di anggap.

Tanpa ia tahu, ada seseorang yang telah lebih dulu menaruh perhatian, Girisena Pramudito, dosen muda yang dikenal perfeksionis dan karismatik. Dalam diam, ia menyimpan rasa, menyaksikan Camelia dari jauh, dan tak pernah punya keberanian untuk mendekat.

Saat dua dunia mulai bersinggungan, yang nyata dan yang hanya lewat layar, Camelia harus memilih, pada siapa hatinya benar-benar ingin bersandar?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Luckygurl_, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Secangkir kopi

Agak canggung sebenarnya bagi Camelia saat menerima ajakan dosennya untuk pergi ngopi. Tapi, mau bagaimana lagi? Menolak pun rasanya tidak sampai hati. Sena memang tidak memberikan ruang untuk jawaban selain 'ya.'

Kini, dalam perjalanan menuju tempat yang bahkan tidak ia ketahui di mana lokasinya, Camelia duduk diam di bangku penumpang. Suasana di dalam kabin mobil terasa berbeda. Memang, sebelumnya ia juga pernah berada dalam situasi serupa, berdua di mobil dengan Sena.

Namun waktu itu situasinya mendesak. Sekarang? Sukarela dan justru karena itulah, rasanya jauh lebih kikuk.

Kenapa sih tadi nggak langsung bilang kalau sibuk? Atau pura-pura ada kelas tambahan, atau tugas yang belum dikumpulkan. Kan nggak bakal segugup ini jadinya, batin Camelia.

Sementara itu, Sena tetap fokus mengemudi. Dalam diam, ia menikmati setiap detik kebersamaan itu. Baginya, ini bukan sekadar ajakan ngopi. Ini adalah momen langka, momen yang dulu hanya ia bayangkan.

Biasanya, ia hanya bisa mengamati Camelia dari jauh, saat gadis itu duduk di taman, atau sekadar lewat di lorong fakultas. Tapi sekarang? Ia duduk di sebelahnya. Di dalam mobilnya. Bersama waktu yang terasa lambat, seolah memberi ruang bagi keduanya untuk mengenal lebih dekat.

Ini pasti bukan kebetulan. Begitu pikir Sena, tanpa bisa menahan senyum kecil yang sempat terlintas di wajahnya.

“Camelia,” panggil Sena akhirnya, memecah keheningan.

Camelia menoleh cepat. “Iya, Pak?”

“Kalau kamu bosan, tidak apa-apa menyalakan lagu,” katanya, mencoba mencairkan suasana.

“Oh, baik, Pak. Terima kasih,” jawab Camelia pelan, terdengar sungkan.

Ia menatap layar sentuh di dashboard, tapi tidak segera menyalakan musik. Tangannya sempat bergerak, namun akhirnya ia hanya menurunkannya kembali ke pangkuan. Ia terlalu gugup untuk memilih lagu. Bahkan untuk sekadar membuka playlist pun pikirannya terasa kacau.

Sementara itu, Sena melirik sekilas ke arahnya, lalu kembali tersenyum. Tidak perlu musik, suara napas Camelia yang halus saja sudah cukup menenangkan, pikirnya.

......................

Mobil berhenti di pelataran sebuah coffee shop berdesain minimalis modern, dengan dominasi warna abu-abu dan kaca besar yang memantulkan langit sore. Namanya singkat, terpampang di papan kayu yang sederhana, KANA.

Camelia menoleh ke luar jendela, menatap tempat itu dengan tatapan heran. Sekilas, tidak ada yang istimewa. Tapi atmosfernya tenang, seperti tempat yang sering dijadikan pelarian oleh mereka yang penat akan keramaian. Lantas, Sena turun lebih dulu dan segera memutar ke sisi Camelia. Dengan sopan, ia membukakan pintu.

“Silakan,” katanya singkat.

“Terima kasih, Pak.”

Begitu mereka melangkah masuk, aroma kopi yang kuat langsung menyergap. Interiornya tidak mewah, tapi tertata dengan apik. Musik jazz mengalun pelan dari sudut ruangan, menambah kesan hangat. Beberapa barista yang berada di balik counter langsung tersenyum dan menyapa.

“Selamat sore, Pak Sena.” sapa salah satu dari mereka.

Camelia refleks menoleh pada pria di sampingnya, alisnya bertaut. Pak Sena? sapaan itu terlalu akrab untuk ukuran pelanggan biasa.

Sementara Sena, hanya mengangguk kecil sebagai balasan, lalu berkata pada barista, “Tolong siapkan dua kopi, menu biasa saya dan satu flat white,"

“Baik, Pak.”

Camelia semakin bingung. Menu biasa? Flat white? Si barista bahkan tidak mencatat pesanannya.

Mereka berjalan ke sudut ruangan, menuju tempat duduk dekat jendela. Beberapa pengunjung menoleh, mungkin mengenali sosok Sena sebagai dosen atau mungkin karena aura wibawanya yang mencolok.

“Pak …,” ucap Camelia pelan setelah mereka duduk. “Sepertinya Anda sering ke sini, ya?”

Sena tersenyum. “Cukup sering,”

“Tapi mereka tadi... menyambut Anda seperti ...”

“Seperti apa? Seperti pemilik tempat ini?” sela Sena, tersenyum simpul.

Camelia mengangguk pelan, merasa seperti tokoh dalam drama yang tanpa sengaja diajak ke tempat eksklusif milik seseorang yang tidak disangka.

“Saya memang pemiliknya, tempat ini salah satu usaha sampingan saya,” lanjut Sena.

Camelia terdiam sejenak.

“Wah... saya benar-benar tidak menyangka,”

“Tidak banyak yang tahu,” katanya, meraih gelas air putih yang disediakan di meja. “Saya memang tidak mencampurkan urusan pribadi dengan pekerjaan kampus. Lagipula, ini hanya coffee shop kecil,”

“Tidak kecil, Pak. Tempat ini bagus,” ucap Camelia tulus, matanya menyisir interior. “Hangat, tidak berisik, dan nyaman.”

Sena tersenyum lebih lebar kali ini. Ada rasa bangga yang tak bisa ia sembunyikan. Tapi lebih dari itu, ia senang Camelia menyukainya.

“Kamu suka kopi?” tanyanya kemudian.

“Suka. Tapi tidak yang terlalu pahit,” jawab Camelia, kini mulai merasa lebih rileks.

“Flat white pilihan yang pas.”

Tak lama, dua cangkir kopi disajikan di atas meja oleh barista yang sama. Disertai sepotong cake coklat kecil sebagai complimentary.

Camelia tersenyum kecil melihat itu. “Terima kasih.”

Sena mengangkat cangkirnya, sedikit mengangkat alis. “Untuk tumpangan kemarin.”

“Pak, sudah, jangan bahas soal kemarin,” ucap Camelia, sedikit menunduk sambil tersenyum canggung. “Saya jadi tidak enak.”

Sena terkekeh pelan, lalu meletakkan cangkir kopinya ke tatakan. “Karena memang cukup mengesankan, Camelia.” Ia buru-buru meluruskan kata-katanya sebelum Camelia salah paham. “Maksud saya... mengesankan karena ada mahasiswa yang ternyata peduli. Tidak semua orang akan langsung menawarkan bantuan seperti itu, terlebih saat pagi hari yang biasanya terburu-buru.”

Camelia menatapnya sambil memiringkan kepala, seolah tidak percaya. “Jangan berlebihan, Pak. Saya yakin siapapun di posisi saya pasti akan melakukan hal yang sama kalau melihat dosennya sedang kesulitan.”

Sena hanya tersenyum. Dalam hati, ia tahu itu tidak sepenuhnya benar. Banyak yang mungkin hanya lewat, atau berpura-pura tidak melihat. Tapi Camelia, berbeda.

Memang, tapi kamu pengecualian, katanya pelan, menatap isi cangkirnya yang mulai menyusut.

Ucapan itu hanya mengendap di benaknya, tidak keluar dalam bentuk suara. Namun gestur kecilnya, anggukan pelan dan tatapan hangat itu cukup menggambarkan apa yang sebenarnya ingin ia katakan.

Keheningan kembali melanda di antara mereka, seperti jeda yang menggantung di udara. Bukan karena tidak nyaman, hanya bingung harus membahas topik apa.

Camelia terlihat sibuk mengaduk sisa busa di dasar cangkirnya, sementara Sena melirik sekilas, berusaha mencari celah untuk kembali memulai percakapan.

“Apa kamu ikut kelas tambahan saya?” tanya Sena akhirnya, membuka obrolan dengan santai. “Sekilas waktu itu saya lihat kamu hadir.”

Kalimat itu terdengar seperti pertanyaan biasa, tapi sebenarnya hanya alibi. Ia tahu betul bahwa Camelia memang mengambil kelas tambahan yang ia ampu, mata kuliah Creative Branding. Bukan hanya tahu, Sena bahkan tahu posisi duduk Camelia di kelas dengan jelas. Barisan belakang, dekat jendela, tempat favorit mahasiswa itu menyendiri dalam diamnya.

“Iya, Pak. Saya ambil kelas tambahan Anda, Creative Branding,” jawab Camelia, sopan. Ia tidak menatap langsung, hanya tersenyum tipis sembari mengangguk pelan.

Sena ikut tersenyum, senyum kecil yang nyaris tidak terlihat. Tapi dalam hatinya, ia tidak bisa menutupi rasa senang. Sebagai dosen, tentu ia memperhatikan seluruh mahasiswanya. Namun bangku belakang, pojok dekat jendela selalu menjadi pusat perhatiannya selama kelas itu berlangsung.

Karena di sana ada Camelia.

Cara Camelia mencatat, cara ia sesekali menyelipkan pensil di balik telinga, atau bahkan hanya duduk memandangi layar proyektor, semuanya tampak begitu khas. Begitu diam, tapi justru itu yang membuat kehadirannya terasa mencolok di mata Sena.

“Kalau begitu, semoga kamu tidak bosan dengan cara saya mengajar,” ucap Sena, berusaha tetap terdengar profesional, meskipun di balik kalimat itu, ada nada harap agar Camelia memang benar-benar menikmati kelasnya.

“Tidak, Pak. Kelasnya menarik. Saya suka konsep tugas yang dikembangkan dari studi kasus. Jadi lebih terasa nyata.” jawab Camelia dengan jujur.

Mendengar itu, Sena mengangguk pelan. Ada kepuasan yang samar-samar tumbuh di wajahnya.

“Syukurlah,” balasnya, sebelum kembali menyeruput kopi yang mulai mendingin. “Mata kuliah ini memang saya rancang agar tidak terlalu teoritis. Supaya mahasiswa bisa langsung berlatih mengeksekusi ide, bukan cuma membaca modul.”

Camelia mengangguk. “Terasa kok, Pak. Jadi lebih menantang. Tapi saya masih harus banyak belajar soal strategi branding, sih.”

“Kita semua juga terus belajar, Camelia. Bahkan saya juga.” Sena tersenyum. “Kamu tinggal bangun rasa percaya pada ide-ide kamu. Itu modal utama seorang desainer.”

"Iya, Pak," jawab Camelia pelan.

Sena menatapnya sejenak, kemudian berkata dengan nada tenang, "Camelia, ini di luar kampus. Jadi, kamu tidak perlu merasa sungkan seperti itu. Santai saja."

Camelia tersenyum kikuk. Jangan terlalu merasa tidak enak dan santai saja? Astaga, bagaimana bisa? batinnya kacau.

Sebebas apapun suasananya, bagi Camelia, Sena tetaplah dosen. Status itu tidak bisa diabaikan hanya karena mereka sedang berada di luar lingkungan akademik. Mungkin bagi orang lain itu hal biasa, tapi tidak untuk Camelia.

Menyamakan interaksi ini seperti antara teman sungguh terasa mustahil. Namun, untuk kabur dari situasi ini juga rasanya tidak mungkin. Terlalu mencolok, terlalu canggung.

"Setelah ini, saya antar kamu pulang, ya," ujar Sena tiba-tiba.

Camelia sontak menoleh. “Pak, tidak usah. Saya bisa telepon sopir saya, biar beliau saja yang jemput.”

“Lebih efektif kalau saya yang antar, kan? Daripada kamu harus menunggu. Belum lagi kalau sopir kamu terjebak macet, bisa makin malam.” balas Sena.

Aduh, kenapa sih pintar banget jawabnya? Camelia mengeluh dalam hati.

“Diam berarti setuju, ya.” ucap Sena dengan senyum penuh arti.

Camelia hanya bisa mengangguk pelan, pasrah.

Hatinya masih dipenuhi kebingungan. Ia tidak ingin terlalu dekat dengan siapapun, terutama bukan dengan dosennya sendiri. Bukan karena Sena tidak pantas, justru sebaliknya. Terlalu layak, dan itu membuatnya takut. Ia takut berharap, takut disalahartikan, takut dianggap lancang hanya karena membiarkan kedekatan ini terus berjalan. Tapi, ia juga tahu satu hal, menolak Sena, malam ini, tidak semudah itu.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!