"Aku mau kita putus!!"
Anggita Maharani, hidup menjadi anak kesayangan semata wayang sang ayah, tiba-tiba diberi sebuah misi gila. Ditemani oleh karyawan kantor yang seumuran, hidupnya jadi di pinggir jalan.
Dalam keadaan lubuk hati yang tengah patah, Anggita justru bertemu dua laki-laki asing setelah diputuskan pacarnya. Jika pepatah mengatakan tak kenal maka tak sayang, kalau ini malah tak kenal tapi berujung perjodohan.
Dari benci bisa jadi tetap benci. Tapi, kalau jadi kekasih bayaran ... Akan tetap pura-pura atau malah beneran jatuh cinta?
Jangan lupa follow kalau suka dengan cerita ini yaa.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon zennatyas21, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
JSD BAB 21
Bugh!
Bugh!
Tak tak tak...
Shinta berlari sekencang mungkin dengan napas tersengal-sengal dan kepala yang berkali-kali menoleh ke belakang. Hingga dalam satu menit ia berhasil melewati kolong jembatan besar, dimana atasnya adalah jalanan raya.
"Duh, gak ada jalan lagi. Gue harus manjat nih," ujarnya begitu melihat jalan yang dilaluinya tidak ada akses selain memanjat.
Usai berhasil, perempuan itu kembali berlari. Namun, sedetik kemudian ia sempat berhenti. Tubuhnya berbalik ke arah dimana ada Ridho yang masih dikeroyok oleh sesama preman.
Brugh!!
"Eh, Widi?! Wid, tolongin Ridho, Wid!" pinta Shinta paniknya bukan main.
Orang yang saling bertabrakan dengan Shinta adalah Widi. Laki-laki itu seketika turun dari motornya.
"Iya, iya, lo santai ya. Sekarang lo bawa motor gue ke lapak!" Karena sama-sama khawatir, nada bicara Widi juga sedikit tegas.
Shinta memaklumi. Tanpa lama ia mengangguk dan mengambil alih memegang motor milik Widi. Sementara suaminya Gita tersebut langsung berlari menyusul Ridho.
Langit semakin menggelap, dengan tenaga yang tinggal sedikit Shinta berusaha memasukkan motor Widi ke sebuah gubug besar lapak orang-orang bermain burung dara.
Lokasinya memang bukan tepat di pusat kota, jadi di sekitar lapak tersebut juga masih ada sawah. Sesudah membawa motor Widi masuk, Shinta terduduk lemas di atas beberapa bambu yang dibuat menjadi bangku panjang.
Dua tangannya gemetar hebat. Keringat bercucuran meski hari sudah hampir malam. Dengan terpaksa satu tangan menyelusup masuk ke dalam saku celananya.
Lalu, memencet tombol panggilan dengan atas nama Anggita.
Tut... Tut... Tut...
Status panggilan masih terlihat memanggil. Shinta pun berdecak menatap layar ponselnya.
"Ayo dong, Git ... Tolongin gue ... Suami lo sama Ridho lagi dalam bahaya. Ck, kalau orang biasa mah gue bisa bantu, tapi masalahnya ini tuh sesama preman. Apalagi yang nyerang Ridho itu bukan preman biasa," gumam Shinta sambil berulang kali menelpon Anggita.
"Ck, Gita! Ayo dong! Ya ampun, gimana ini?"
Sementara di tempat lain, Anggita baru saja selesai mandi. Ponselnya sejak diperintah untuk tidak pergi ke manapun oleh Sarah sudah dimatikan.
Ceklek.
"Hm ... Oh, iya, sekarang udah mau malem. Daripada nunggu Mas Widi belum balik, mending aku bikin masakan aja kali ya. Biar dia pas masuk rumah jadi langsung makan deh sama Ibu juga." Anggita dengan santai keluar dari kamar milik Widi, lalu menuju ke dapur kecil paling belakang.
Sarah yang baru saja beristirahat pun mendadak ingin keluar dari kamarnya. Wanita itu juga berjalan mengarah ke dapur.
"Eh, ibu ... Mau ngapain ke sini, Bu? Apa mau dibuatin minuman? Gita bisa kok, mau teh atau susu?"
"Aduh, gak usah, Nak Gita. Jangan repot-repot, ibu nanti bisa buat sendiri kok. Justru ibu bingung karena kamu tiba-tiba ada di dapur. Kamu ... Mau masak sesuatu?" tanya Sarah menghampiri Anggita.
Sang menantu menoleh sambil memberi senyuman hangat. Tangannya sibuk mengolah bumbu. Sarah melihat itu seketika terharu.
"Wah ... Kamu bikin nasi goreng? Eum ... Enak aromanya, Nak. Kamu pintar masaknya, pasti buat Widi, kan?" ledek Sarah, kemudian terkekeh.
"Enggak cuma Widi dong, Bu. Sama ibu juga lah, nanti kita makan bareng-bareng ya, Bu."
"Iya, pasti suami kamu suka nih sama masakan kamu. Dari aromanya aja udah enak banget!"
Anggita tersenyum senang. "Ibu bisa aja."
••••
Tidak ada pilihan lagi Shinta terpaksa menghubungi kakaknya. Januar, setelah dihubungi oleh sang adik langsung datang ke lokasi.
"Bang Jan!" teriak Shinta berlari dari lapak menghampiri kakaknya.
"Dek, kamu gak apa-apa? Ridho sama Widi mana?"
Shinta memeluk Januar sangat erat. Ia bahkan tampak menangis di pelukannya. "Di sana, Bang. Yang nyerang mereka itu kayaknya temennya Abang."
Laki-laki itu sontak melepas pelukan dengan adiknya. Kepalanya menoleh ke arah jalan raya dimana ada keributan di sana.
"Kamu tunggu sini, jangan hubungi istrinya Widi. Biar dia gak panik, Abang mau bantuin mereka. Oke?"
"Iya, Bang."
"Sip, cewek cantik."
Tak mau mengulur waktu lebih lama, Shinta segera menyalakan lampu di ponselnya dikarenakan hari sudah cukup gelap. Penerangan di beberapa titik jalan juga sudah mulai menyala terang.
Takut. Itu yang Shinta rasakan tentang keselamatan semuanya. Dan lebih mengkhawatirkan lagi adalah bagaimana jika kakaknya tertangkap polisi karena berkelahi di pinggir jalan.
"Woi!! Berhenti lo semua!!" teriak Januar sebelum menyeberang ke depan warung es dawet milik Anggita.
Tiga pelaku yang diduga sesama preman itu melarikan diri begitu cepat. Sampai Januar tak mampu mengejarnya.
Tanpa lama sang kakak dari Shinta tersebut pun menyebrangi jalan raya dan menghampiri Ridho dengan Widi.
"Kalian berdua gak papa? Lo gimana, Wid, Rid?"
Widi mengangguk. Namun, tidak dengan Ridho yang keadaannya sedikit parah. Karena laki-laki itu mengalami luka di bagian pelipisnya. Meski tak begitu parah, tapi Ridho sampai batuk-batuk.
"Aman, Bang. Rid, lo gimana?" tanya Widi langsung menjaga keseimbangan tubuh Ridho.
Januar menatap keadaan Ridho terlihat cukup parah. Luka yang hanya memar juga perlu diobati. "Sekarang ayo kita balik, Shinta juga udah nungguin di lapak. Udah gelap banget," ujar Januar.
"Tapi Gita gak dikasih tahu soal gue kan?" Pertanyaan dari mulut Widi mendapat gelengan.
"Aman. Yang terpenting keadaan Ridho dulu nih, soal pelaku biar nanti dibahas di rumahnya Widi."
"Bang, gue minta maaf karena gue gak bisa jagain Shinta dengan baik. Adik lo gak apa-apa? Soalnya gue suruh lewat kolong jembatan tadi, Bang." Raut wajah Ridho sangat tak mampu berbohong jika dirinya begitu mengkhawatirkan Shinta.
Januar menggeleng sambil berjalan merangkul Ridho dengan sama-sama menyeberangi jalan.
"Adek gue aman. Lo gak perlu minta maaf, adek gue justru khawatir sama lo."
•••••
Satu jam berlalu setelah sampai ke rumah Widi. Anggita masih mengobati luka memar di pipi suaminya. Sedangkan Ridho justru semakin lengket dengan Shinta.
Keberadaan Januar pun sedari awal memancing penasaran bagi Anggita.
"Ini siapa ya, Shin? Temennya Mas Widi?" tanyanya.
Shinta dan Januar saling menatap ketika masih berdiri. Widi dengan Ridho juga tak bisa menjelaskan karena itu akan lebih baik jika dijelaskan oleh Shinta sendiri.
"Ini Abang gue, Git. Jadi ... Abang gue ini ...."
"Abang lo siapa sebenarnya, Shin?" tanya Gita.
Melihat keadaan yang cukup menegangkan membuat Widi ingin mencairkan suasana. Apalagi Januar dengan istrinya saling menatap satu sama lain.
Shinta pun tak bisa menahan terus-terusan untuk diam saja tanpa memberikan penjelasan. "Ya ... Jadi ini abang gue, Git. Namanya Bang Januar. Dia temennya Widi juga kok. Dan orangnya juga ...."
"Gue bos preman yang nyuruh Widi buat curi harta kekayaan keluarga lo."
hai kak, aku mampir, cerita kakak bagus💐