“ARRRGGGHHH! PANAAS! SAAKIIITT!”
Sekar Arum tak pernah membayangkan, setelah dipaksa menjadi gundik demi melunasi hutang orang tuanya, ia justru mengalami siksaan mengerikan dari para perempuan yang iri dan haus kuasa.
Namun, di saat dirinya berada di ambang hidup dan mati, sosok gaib mendekatinya—seorang sinden dari masa lalu yang menyimpan dendam serupa.
Arum akhirnya kembali dan menggemparkan semua orang-orang yang pernah menyakitinya. Ia kembali dengan membawa semua dendam untuk dibalas hingga tuntas.
Namun, mampukah Sekar Arum menumbangkan musuhnya yang memiliki kuasa?
Atau justru ia akan kembali terjerat dalam luka dan nestapa yang lebih dalam dari sebelumnya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dae_Hwa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
DG 5
Arum terbaring di tepi danau.
Gaun putihnya kuyup, menempel pada tubuh yang dingin dan menggigil. Napasnya tersendat, lalu pecah menjadi batuk keras. Ia memuntahkan air danau dari paru-parunya, tubuhnya berguncang hebat.
Dengan sisa tenaga, Arum membuka mata. Langit masih gelap, penuh kabut dan dedaunan berembun.
Tangannya menggenggam tanah, seakan butuh bukti bahwa ia benar-benar masih hidup.
“Aku benar-benar ... selamat?” ucapnya tak percaya. Ia meraba wajahnya sendiri, seolah ingin memastikan. “Luka di wajahku juga menghilang. Apa yang terjadi?!”
Arum berusaha mengingat. Dan kilasan-kilasan asing langsung menghantam memorinya.
“Sekar Arum ...,” bisikan lirih terdengar di telinganya.
Arum mengedarkan pandangan, tubuhnya kembali bergetar ketakutan. Ia mengira, rombongan Nyai Lastri berhasil menemukannya.
Namun ... tak ada siapapun di sana.
“Sekar Arum ....”
Suara itu terdengar lagi, tapi kali ini, mendengung di indera pendengaran Arum.
“Siapa kau?” tanya Arum panik. Ia berusaha mencari asal sumber suara.
Kilasan asing kembali membanjiri ingatan Arum. Membuat mata gadis itu membulat. “Ingatan apa ini?!”
.
.
Sebelumnya.
Sekar Arum jatuh ke dalam Danau Wening Ilang. Tubuhnya membelah permukaan air yang tenang dan tertarik ke dasar dengan cepat. Gaun putih yang ia kenakan seketika mengembang, rambutnya melayang seperti benang hitam yang putus dari gulungan.
Dengan napas yang tercekat di tenggorokan. Arum berteriak di dalam hati sebelum kesadarannya perlahan-lahan menghilang. ‘Siapapun, tolong aku ... manusia, demit, iblis sekalipun ... siapapun yang ada di sini, tolong aku ...!’
Namun, siapa yang ada di sana? Hanya riak air yang mendengung samar. Tubuh mungil itu terus meluncur turun, tenggelam semakin dalam hingga ke dasar danau yang pekat. Cahaya dari atas nyaris tak menjangkaunya. Dingin air semakin menggigit tulangnya, tapi ia tak lagi bergerak.
BRUK!
Kepala Arum membentur sesuatu yang keras di dasar danau.
Sebuah bokor kuno berwarna keemasan—terkubur separuh dalam lumpur, dikelilingi lumut hijau tebal yang mengelus permukaannya. Namun anehnya, bokor itu masih tampak bersih dan berkilau, seolah air dan waktu tak pernah menyentuhnya.
Benturan itu sontak membuat mata Arum terbuka. Air dingin menyusup ke dalam rongga napasnya, namun rasa nyeri di kepala membangkitkan sisa-sisa kesadarannya. Ia mengerjap—sekali, dua kali. Pandangannya buram, tapi cahaya samar dari bokor itu menguar lembut, menyilaukan dalam kegelapan dasar danau.
Dan, dari balik silau cahaya itu … muncul sosok perempuan. Rambutnya panjang tergerai, hitam pekat seperti gelapnya malam.
Sosok berkebaya hijau itu mendekat perlahan. Dan dalam sekejap—dua pasang mata kini saling bertemu dalam hening.
Seutas selendang melayang dari leher sosok perempuan yang sudah jelas bukan manusia—menjulur cepat, lalu melingkar ke leher Arum, seakan menghubungkan keduanya. Seperti menyatukan dua jiwa.
“Siapa kau?” tanya Arum meskipun suaranya tak terdengar di dalam air.
Namun, sosok itu tersenyum—seakan mendengar pertanyaan itu. “Aku adalah amarah. Aku adalah dendam yang belum terbalas. Dan aku adalah ... siapapun yang kau harapkan untuk menolong mu.”
“Kau akan menolong ku?” tanya Arum tanpa suara.
Sosok misterius itu mengangguk. “Asal Kau bersedia menjadi perantara ku. Membalas dendamku yang sudah lama terkubur.”
Kening Arum mengernyit. “Perantara?!”
Sosok itu semakin mendekat, menempelkan keningnya di kening Arum. Dan, saat itu juga ... tubuh Arum tiba-tiba bergetar—tersentak hebat.
Seolah, ada energi yang merasukinya. Energi dingin dan panas seakan bersatu menghantam jantungnya. Matanya terpejam, tubuhnya kaku. Napasnya tercekat.
Ingatan yang bukan miliknya tiba-tiba membanjiri kepala Arum—begitu deras, begitu nyata.
Jeritan memilukan seorang sinden muda menggema dalam kepalanya, sinden muda itu terjerembap di lantai pendapa, tubuhnya berlumur luka dan darah. Beberapa perempuan—berwajah pucat namun penuh kebencian—menarik rambutnya, menampar, menendang perutnya yang sudah membuncit. Di antara mereka, tampak wajah Nyai Lastri versi lebih muda yang menatap dingin dari kejauhan, senyumnya tipis namun mematikan—matanya bersinar penuh kebencian.
Lalu sosok Madun—masih dengan wajah bopeng yang sama—menindih tubuh sinden yang sudah tak berdaya. Tangannya kasar, napasnya memburu seperti hewan kelaparan. Ia menindih, merobek kebaya hijau sang sinden, dan memperkosa wanita yang tengah berbadan dua itu dengan keji. Sementara sinden itu hanya bisa menggeliat lemah, menjerit tanpa suara, hanya mata yang terus menatap langit-langit pendapa seakan berharap keajaiban datang.
Dalam kilasan terakhir, tubuh sang sinden dihempaskan ke tengah danau—rambutnya menjuntai, matanya menatap langit terakhir kali sebelum permukaan air menelannya bulat-bulat.
Kilasan-kilasan itu menancap dalam dan menyakitkan. Menyusup ke dalam jiwa Arum seperti duri halus bercampur racun. Nafasnya tercekat. Tubuhnya gemetar. Dan cahaya bokor tiba-tiba menyala sangat terang—seakan meledak di dalam air yang gelap dan tenang.
...****************...
Nyai Lastri berdiri di tepi balkon rumah besar, memandangi arah danau yang samar terlihat dari kejauhan. Kabut tipis mengambang di atas permukaannya.
“Dia ... pasti tak selamat, ‘kan?” gumamnya pelan.
Ia menyesap teh jahe di cangkir keramik tua. Wajahnya tampak resah, cemas.
Madun, abdinya yang setia—maju mendekat. Tubuhnya sedikit membungkuk.
“Nyai, apakah perlu saya memanggil Mbah Sosro kemari?” Tanyanya seakan mengerti kegelisahan Nyai Lastri.
Wanita anggun paruh baya itu tak langsung menjawab. Ia terdiam cukup lama, lalu bergumam. “Panggil dukun itu kemari. Siapkan perlengkapan untuknya seperti sepuluh tahun yang lalu.”
“Baik, Nyai.” Madun mengangguk mengerti.
*
*
*
Readers, maaf hari ini author hanya 1x up ya.
Di rumah sedang ada ribet bikin nasi kotak, kebetulan hari ini Author sedang berulang tahun 💖
Selepas dzuhur juga, Author akan ke Rumah Sakit. Ibu mertua Author hari ini juga akan melaksanakan operasi 💔. Mohon doanya ya.
InshaAllah, besok Author usahakan sudah up kembali.
Jaga kesehatan selalu Readers 💖
ku rasa bokor itu masih di dasae danau deh
atau tusuk konde ya udah nggak ada di dalam bokor lagi...???
ehh kan si juanidin yg kena tusuk keris
klo sate tusuk daging kambing mah nyosss yaa kann 🤣🤣🤣