Kirana harus menerima kenyataan bahwa calon suaminya meninggalkannya dua minggu sebelum pernikahan dan memilih menikah dengan adik tirinya.
Kalut dengan semua rencana pernikahan yang telah rampung, Kirana nekat menjadikan, Samudera, pembalap jalanan yang ternyata mahasiswanya sebagai suami pengganti.
Pernikahan dilakukan dengan syarat tak ada kontak fisik dan berpisah setelah enam bulan pernikahan. Bagaimana jadinya jika pada akhirnya mereka memiliki perasaan, apakah akan tetap berpisah?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon mama reni, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab Tiga Puluh Lima
Begitu motor berhenti di basement apartemen, Kirana hampir terjatuh waktu turun karena kakinya masih gemetar. Samudera langsung sigap memegang lengannya.
“Hei, pelan,” ucap Sam pelan, berbeda sekali dari nada tegasnya tadi.
Kirana hanya mengangguk kecil. Mereka berjalan cepat menuju lift, sama-sama masih terengah dan berusaha tidak terlihat panik. Begitu pintu lift menutup, keheningan turun. Tapi bukan keheningan canggung. Lebih seperti keduanya masih mencoba memahami apa yang barusan terjadi.
Samudera berdiri tegak bersandar pada dinding lift, napasnya belum stabil. Sementara Kirana menatap pantulan wajah Sam di cermin lift, pipinya memar, sudut bibirnya pecah, ada serpih darah di dekat alisnya. Kirana menggigit bibir bawahnya, khawatir.
Begitu pintu lift terbuka di lantai apartemen mereka, Kirana langsung memegang tangan Sam dan menariknya masuk tanpa bicara panjang.
Pintu apartemen menutup. Suara klik kunci seperti mengurung mereka dalam ruang aman setelah malam yang gila.
Samudera bahkan belum sempat melepas jaket keselamatannya ketika tubuhnya jatuh terduduk di sofa ruang tengah. Napasnya masih berat, dadanya naik-turun. Keringat dan darah membuat kulitnya terlihat kusut dan lelah.
Kirana refleks berlari kecil ke lemari kecil dekat dapur, mengambil kotak P3K. Ia kembali, duduk di samping Samudera, nyaris tanpa jeda. Ia membuka kotaknya dengan tangan sedikit tremor.
“Kemari, Sam,” ucap Kirana lembut, tapi tegas.
Samudera hanya menatapnya. Sedikit heran. Sedikit tersentuh. Banyak sekali bingungnya.
Kirana mengambil kapas dan cairan antiseptik, lalu mulai membersihkan luka di pipi Sam. Begitu kapas menyentuh kulit, Sam meringis.
“Aaakh ... ssst ... Kir, sakit .…”
Suara Sam memanjang seperti anak kecil. Kirana langsung mengangkat wajahnya, menaikkan satu alis.
“Tahan dikit, Sam.” Nada Kirana serius. “Masak balapan jago, dihantem orang tadi juga jago tapi diobatin begini aja meringis?”
Sam terdiam. Ada sedikit rasa malu.
Kirana melanjutkan, “Ini baru antiseptik. Belum salepnya. Kalau udah salep pasti lebih perih.”
Samudera memejamkan mata. “Kenapa argumennya selalu bikin gue makin takut, bukan makin siap."
Kirana nyengir sedikit, tapi tetap fokus membersihkan lukanya. Begitu diam sebentar, Sam membuka mata dan memandangi Kirana lama dari ujung rambut yang sedikit berantakan karena helm, sampai ke ujung kaki yang gemetarnya belum sepenuhnya hilang.
Ada sesuatu di tatapan Sam. Bukan cuma marah yang tadi meledak di arena balap. Bukan cuma adrenalin yang belum sepenuhnya turun. Ada protektif yang jauh lebih dalam.
Dan ia mengatakannya tanpa filter. “Lain kali jangan pernah susul aku,” ucap Sam pelan, tapi nadanya tegas. “Apalagi dengan pakaian begini.” Tatapannya turun sedikit ke paha Kirana yang terekspos karena celana pendeknya terangkat.
Kirana menatap Sam, untuk pertama kalinya malam itu merasa malu. “Aku … aku cuma khawatir. Aku takut terjadi apa-apa sama kamu.”
“Justru itu,” jawab Sam cepat. “Kalo ada apa-apa sama kamu, aku nggak akan bisa maafin diri sendiri.”
Kirana terdiam. Samudera lalu mengambil bantal sofa dan tanpa bicara banyak menaruh bantal itu di atas paha Kirana, menutup bagian yang terbuka.
Kirana malah bingung sendiri. “Sam … ngapain?”
“Aku nggak mau lagi mata orang lain lihat ini. Udah cukup barusan,” gumam Sam lirih sambil menghindari tatapan.
Kirana hanya memandangnya lama. Ada sesuatu yang berubah pada pria itu. Marahnya tadi bukan soal ego. Bukan soal menang atau kalah balapan. Itu soal dia.
Kirana menelan ludah pelan, lalu kembali fokus membersihkan luka di pelipis Sam. Begitu selesai, ia meniup luka itu pelan-pelan. Sam mengerjap.
“Kenapa ditiup?” tanyanya datar, padahal jelas pipinya memerah sedikit.
“Refleks,” jawab Kirana cepat. “Ibu sering gitu ke aku dulu waktu kecil.”
“Oh.”
Sam mengangguk pelan seperti lagi memproses hal yang nggak penting tapi entah kenapa terasa penting.
Setelah semua luka di wajah dan tangan Sam bersih, Kirana menutup kotak obat. Ia menepuk pelan lutut Sam.
“Udah. Selesai. Sekarang kamu istirahat. Kita tidur.”
Samudera mendecak kecil. “Aku mandi dulu. Badanku lengket banget. Ada keringet, debu, darah orang, aku merasa jijik sama diri sendiri.”
Kirana tersenyum lembut. “Iya, mandi sana. Aku tunggu di kamar.”
Sam bangkit, sedikit oleng. Kirana refleks memegang lengannya. Sam menatap tangan Kirana yang memegangnya erat itu.
“Aku nggak apa-apa,” ucap Samudera lirih. Tapi ia tidak melepaskan pegangan Kirana selama beberapa detik.
Anehnya, Kirana yang akhirnya melepaskan duluan. “Pergi mandi, Sam. Nanti lukanya keburu kering malah makin perih.”
Sam beranjak menuju kamar mandi, tapi sebelum masuk, ia berhenti di ambang pintu. “Kirana.” Kirana menoleh.
“Terima kasih,” ucap Sam pelan, suara rendah dan jujurnya muncul. Kirana hanya mengangguk dengan senyum kecil.
Begitu pintu kamar mandi tertutup, Kirana mengambil napas panjang. Baru sekarang ia sadar betapa gemetarnya kakinya. Malam ini terlalu banyak kejutan.
Ia berjalan ke kamar tidur, menarik selimut ke bawah, lalu naik ke kasur dan duduk bersandar sambil memegang dadanya. Napasnya masih sesekali tersengal. Bukan karena ketakutan lagi, tapi karena entah apa.
Beberapa menit kemudian, pintu kamar mandi berbunyi. Sam keluar dengan kaus longgar dan celana pendek rumah. Rambutnya masih basah. Aroma sabun dan shampoo-nya memenuhi ruangan.
Kirana langsung meraih remote AC. “Kamu kedinginan nggak? AC-nya aku kecilin aja.”
“Gak usah,” suara Sam pelan. “Sini.”
Kirana menoleh. “Sini?”
“Aku mau tidur,” Sam menjawab sambil naik ke kasur, menarik selimut sebagian.
“Tadi kamu yang ajak.”
“Ya tapi aku kira kamu mau tidur di sisi sana.”
“Kenapa harus sana?” Sam mengernyit.
“Kita suami-istri, Kir. Kasurnya satu.”
Kirana memalingkan wajah cepat-cepat. “I-iya juga sih .…”
Ia ikut berbaring, memutar tubuh ke arah lain, membelakangi Sam. Selimut ditarik sampai dadanya. Ia mencoba tidur.
Tapi beberapa detik kemudian, Kirana merasakan kasur bergelombang. Lalu tiba-tiba ada lengan kuat melingkar di pinggangnya. Kirana membeku.
Samudera tanpa banyak bicara, tanpa tanya, tanpa izin menarik tubuhnya ke dekapan hangat itu. Dagu Sam menyentuh rambut bagian belakang Kirana. Nafas pria itu menyapu pelan tengkuknya.
“Sam …,” suara Kirana pelan, hampir tidak terdengar.
“Aku nggak bisa tidur kalo kamu jauh,” gumam Sam lirih, seperti bicara dalam setengah mimpi. "Malam ini aku mau kamu didekatku. Biarkan aku memelukmu."
Kirana tidak bergerak. Tidak membalas. Tapi ia juga tidak menolak.
Sam mendekapnya lebih erat, menaruh seluruh berat lengannya di atas pinggang Kirana. Ia menempelkan tubuhnya dari belakang, hangat dan tenang. Jari-jarinya merapat secara otomatis di sisi pinggang Kirana, seolah memastikan perempuan itu benar-benar ada di sana. Napas Sam sudah mulai melambat. Beban tubuhnya di punggung Kirana terasa semakin berat, tanda bahwa ia mulai tertidur.
Kirana masih terjaga. Pipinya panas. Jantungnya ribut. Tapi ia tidak mengatakan apa-apa. Sebab entah kenapa, pelukan itu membuatnya merasa lebih aman dari apa pun.
Beberapa menit kemudian, Sam berbisik dalam tidur pelan sekali, seakan bukan untuk didengar siapa pun. “Kirana … jangan kemana-mana.”
bakar gih kontrak kalian,jalani aja pernikahan yang sesungguhnya...
Agar mereka berdua bisa menjalani pernikahan yg sebenarnya 😊
Tinggal menunggu besok pagi nih mereka berdua adegan ranjang🤭