NovelToon NovelToon
Beautifully Hurt

Beautifully Hurt

Status: sedang berlangsung
Genre:CEO / Cinta Seiring Waktu / Nikahmuda / Nikah Kontrak / Tamat
Popularitas:8.5k
Nilai: 5
Nama Author: PrettyDucki

Narendra (35) menikah untuk membersihkan nama. Adinda (21) menikah untuk memenuhi kewajiban. Tidak ada yang berencana jatuh cinta.

Dinda tahu pernikahannya dengan Rendra hanya transaksi. Sebuah kesepakatan untuk menyelamatkan reputasi pria konglomerat yang rusak itu dan melunasi hutang budi keluarganya. Rendra adalah pria problematik dengan citra buruk. Dinda adalah boneka yang dipoles untuk pencitraan.

Tapi di balik pintu tertutup, di antara kemewahan yang membius dan keintiman yang memabukkan, batas antara kepentingan dan kedekatan mulai kabur. Dinda perlahan tersesat dalam permainan kuasa Rendra. Menemukan kelembutan di sela sisi kejamnya, dan merasakan sesuatu yang berbahaya dan mulai tumbuh : 'cinta'.

Ketika rahasia masa lalu yang kelam dan kontrak pernikahan yang menghianati terungkap, Dinda harus memilih. Tetap bertahan dalam pelukan pria yang mencintainya dengan cara yang rusak, atau menyelamatkan diri dari bayang-bayang keluarga yang beracun.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon PrettyDucki, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Strategi Berbahaya

Brata berdiskusi dengan Reynard Yusuf. Mereka mencari celah hukum untuk menjebloskan Namira ke penjara.

Di ruang kerja pribadinya yang sunyi, Brata berdiri sambil sambil menatap koleksi bonsainya di luar jendela.

Reynard duduk di kursi tamu, punggung tegak, "Kita sudah punya semua bukti, Pak. IP address-nya jelas. Akun anonim itu terhubung ke handphone Namira. Kalau kita mau, polisi bisa jemput dia besok pagi. Dia akan langsung ditahan."

"Berapa lama dia bisa di penjara?" Brata masih menatap jauh keluar jendela.

"Minimal dua tahun, maksimal empat tahun, plus denda."

Brata berbalik dan menatap Reynard tajam, "Jangan buru-buru."

Reynard mengerutkan dahi, "Maksudnya, Pak?"

"Melaporkan dia berarti kita mengakui kebenaran rekaman suara itu. Kita tunggu dia jatuh sendiri. Dia akan kesal melihat Rendra tidak tersentuh. Tetap hadir di acara publik, tersenyum, bekerja seperti biasa. Opini publik juga bisa kita kendalikan dengan baik sejauh ini. Itu akan membuat Namira semakin panas."

Reynard menghela napas, mencoba memahami cara berpikir Brata, "Jadi Bapak mau kita tunda laporannya?"

"Ya. Biarkan amarahnya berkembang. Sebentar lagi dia akan buat langkah bodoh yang bisa kita manfaatkan." Brata tersenyum samar, nadanya dingin.

Reynard menunduk sambil mengerutkan dahi. Masih bingung pada rencana Brata. Tapi kemudian ia mendongak menatap Brata serius seolah teringat sesuatu yang penting, "Oh iya, Pak. Minggu ini ada laporan dari intel bahwa Namira sedang intens memantau pergerakan Rendra dan Dinda. Jadwal, lokasi, bahkan orang-orang di sekitar mereka."

Senyum Brata mengembang, nada bicaranya penuh keyakinan, "Biarkan. Dia lagi cari cara lebih keras untuk menyerang. Tapi terus pantau pergerakannya dari jarak dekat. Pastikan Rendra dan Dinda nggak dalam bahaya."

Reynard menutup map berkas perlahan, "Baik, Pak."

"Sementara itu, mulai kasih dia ancaman soal masalah pajaknya."

Reynard hanya bisa mengangguk patuh, ia tahu betul bahwa di balik ketenangan Brata, ada strategi yang selalu berujung fatal bagi lawannya.

...***...

Di tengah hiruk pikuk media, ancaman nyata menghantam Namira. Sebuah surat panggilan resmi dari Direktorat Jenderal Pajak tiba di apartemennya.

Bahasanya kaku, tapi tajam.

'Dimohon kehadiran Saudari untuk memberikan klarifikasi atas penghasilan dan transaksi periode 2022-2024. Apabila Saudari tidak hadir, maka akan diproses sesuai ketentuan pidana perpajakan yang berlaku.'

Tubuh Namira langsung lemas.

Selama ini ia memang menerima banyak pembayaran tunai. Endorsement, event fee, bahkan transfer luar negeri. Semua atas nama pribadinya, dan sebagian besar tidak pernah dilaporkan.

Belum selesai ia mencerna, telepon asing masuk.

"Data-datanya sudah ada di meja kami. Semua pendapatan yang tidak Anda laporkan pajak. Jumlahnya miliaran. Kalau ini dibuka, Saudari bukan cuma bayar denda. Saudari bisa dijerat pidana pajak."

Namira tercekat, keringat dingin mengucur.

"Apa ada cara lain?" suaranya gemetar.

Hening sesaat. Lalu suara itu kembali, lebih pelan tapi tajam, "Jangan coba bicara ke media soal siapa pun. Fokus bereskan pajakmu. Kalau tidak, kami bisa buka semuanya besok pagi."

Telepon itu terputus. Namira memandang kosong layar ponselnya. Seketika ia sadar, gosip di media hanyalah permukaan. Ancaman sesungguhnya datang dari tempat yang tak bisa ia lawan. Negara.

Namira terduduk lama di sofa, surat itu masih tergeletak di meja. Kata-kata di kertas resmi dan suara telepon asing tadi terus bergema di kepalanya. Ia merasa terpojok, tapi amarah yang menumpuk mengalahkan rasa takut.

Rendra. Ini pasti ulahnya.

Nama itu berputar-putar dalam pikiran Namira. Lelaki yang dulu ia cintai, yang kini berdiri kokoh di balik perisai keluarga dan perusahaannya. Ia ingin melihatnya hancur, tapi bukan mati. Kematian terlalu singkat, terlalu mudah. Rendra harus hidup dengan penderitaan, dengan luka yang tidak bisa sembuh.

...***...

Dinda terbangun dengan tubuh Rendra melingkupinya erat. Tangan memeluk pinggangnya, kaki menjepitnya seperti tanaman merambat.

Suhu kamar selalu rendah karena Rendra menyukai udara dingin. Masalahnya, pria itu punya kebiasaan tidur hanya dengan celana linen tipis, kadang tanpa atasan sama sekali. Panas tubuhnya kini mengurung Dinda hingga ia kegerahan dan berkeringat.

Dinda bergerak pelan. Perutnya yang kian membesar di usia kandungan empat bulan membuat gerakannya semakin terbatas. Ia berusaha melepaskan diri, tapi tubuh Rendra langsung bereaksi.

"Mau kemana?" tanya Rendra dengan suara serak.

"Aku kepanasan." gumam Dinda, kemudian Rendra membiarkannya menjauh.

Ia melirik jam digital di meja. 04.05 pagi. Masih ada satu jam sebelum ia harus bangun untuk olahraga, tapi rasa kantuknya sudah hilang.

"Tidur lagi. Masih pagi." Katanya sambil membelai pipi Dinda.

"Aku udah nggak ngantuk." Bisik Dinda dengan suara yang masih parau. Kemudian ia menyentuh dagu Rendra, mengusap bulu halus yang tumbuh di sana, "Udah tumbuh." gumamnya.

"Belum sempat cukur."

"Boleh aku yang bantu?"

Dinda penasaran seperti apa rasanya membantu pria bercukur. Dulu ia selalu ingin membantu ayahnya, tapi selalu ditolak.

Rendra menyeringai, "Kamu mau?"

Dinda mengangguk.

Tapi kemudian ponsel Rendra berbunyi.

Ia meraih ponselnya dan membaca pesan masuk. Dari Mila, sekretarisnya.

Alis Rendra terangkat. "What the hell."

"Kenapa?"

"Jam sepuluh aku harus sampai Halim."

"Bandara?" Nada suara Dinda melemah.

"Aku harus ke Dubai. Strategic meeting sama investor."

Dinda diam. Ia biasanya tidak cengeng, tapi belakangan ini merasa sangat berat setiap kali Rendra tidak ada di dekatnya.

"Mereka mau restrukturisasi kepemilikan. Aku harus jamin transisinya nggak ganggu operasional. Kalau bukan aku yang turun langsung, bisa chaos. " Jawab Rendra sambil membuka email di ponselnya.

"Kenapa mendadak?"

"Meeting-nya udah direncanain. Tapi waktu pastinya baru dikunci tengah malam waktu mereka." Rendra beralih sebentar melirik Dinda, dan langsung mengkap raut kecewanya. "Aku bisa atur kalau kamu mau ikut."

Dinda menggeleng, "Aku ada kuis."

Rendra menatapnya dengan raut bersalah, lalu mengusap pelan pipi Dinda. "Maaf ya."

Dinda menahan lidahnya untuk tidak mengatakan hal-hal manja yang justru akan mempersulit Rendra.

Rendra berdecak pelan. "Bu Rahma belum datang lagi."

"Kenapa?"

"Aku butuh dia untuk packing."

"Apa aku bisa bantu?"

"Agak rumit. Aku butuh cepat." Rendra tampak berpikir. "Nanti aku minta asistenku ke sini. Dia hafal pattern-ku."

Dinda mengangguk. Ia memang belum bisa membantu banyak. Mungkin harus belajar dari Rahma nanti.

Kemudian Rendra menelepon seseorang, "Radit, baca group, kita ke Dubai. Ambil semua dokumen briefing di kantor. Setelahnya langsung ke Velmore. Bantu saya packing."

Telepon berikutnya untuk Mila. "Jet sudah oke?.... Good. Kamu ikut. Telepon Heru, minta dia standby jam delapan di lobi."

Ia memutus panggilan, kemudian tersenyum pada Dinda, "Kamu jadi bantu aku?"

"Apa?" Tanya Dinda bingung.

"Cukur."

 

Setelah memberi pisau dan krim cukur pada Dinda, Rendra mengangkat tubuh Dinda dengan hati-hati, lalu mendudukkannya di atas wastafel. Tangannya bertumpu di kedua sisi tubuh istrinya.

"Aku harus apa?" tanya Dinda sambil menjepit tubuh Rendra dengan kedua kakinya.

"Oles krim itu ke muka."

Dinda menuang krim ke telapak tangannya, lalu mulai membalurkannya ke dagu Rendra.

"Di seluruh muka?"

"Kamu bercanda kan?" Rendra melotot. "Cukup yang ada bulunya."

Dinda melanjutkan ke atas bibir dan sebagian pipi Rendra. Ia memundurkan tubuhnya sedikit, lalu tertawa.

"Apa yang lucu?" tanya Rendra, ikut tersenyum meski tak mengerti.

"Kamu mirip Santa Claus."

"Ya ampun. Ayo lanjutin Dinda, waktu kita nggak banyak."

"Oke, oke." Dinda meletakkan botol krim dan mengambil pisau cukur.

"Langsung pakai razor?"

Rendra mengangguk.

"Kamu yakin aku nggak akan bikin kamu luka? Aku belum pernah lakuin ini."

"Bisa. Pelan-pelan."

Dinda memulai dengan hati-hati.

"Kamu udah tau mau liburan ke mana? Tanggalnya udah hampir lewat dari rencana awal." Ujar Rendra.

"Belum. Aku nggak masalah sebenernya liburan ke mana aja. Asal bareng kamu, dan bisa lama."

"Nanti aku buatin beberapa pilihan itinerary. Kamu yang pilih." Rendra mendekatkan wajahnya dan mengecup bibir Dinda.

Dinda langsung menjauh, "Krimnya nempel di aku, Mas."

Rendra tertawa sambil membersihkan wajah Dinda dengan tangannya.

"Kita buru-buru. Kamu dilarang curi kesempatan." Kata Dinda pura-pura kesal.

Rendra mendengus, tapi kemudian benar-benar diam seperti murid yang patuh.

"Selesai." Dinda tersenyum puas. "Aku nggak bikin luka sama sekali."

Rendra bercermin. "Hasilnya bagus. Makasih, sayang."

"Sama-sama." Dinda mengedipkan sebelah matanya.

"Kamu berbakat. Ini bisa jadi pekerjaan tetap." Rendra menyeringai.

"Bayarannya apa?"

Rendra mengusap dagunya, pura-pura berpikir keras.

"Layanan tiap malam?"

"Itu kan maunya kamu." Dinda memutar bola matanya.

Rendra tertawa lagi.

"Sekarang aku mau mandi. Satu setengah jam lagi mungkin Radit sampai, dia akan bantu aku packing barang di kamar ini. Kalau kamu ngerasa nggak nyaman, kamu ke atas dulu aja."

"Oke." Dinda mengangguk.

 

Tiga jam kemudian Rendra sudah siap dengan pakaian rapi. Radit menenteng jas, koper, dan semua keperluan mereka. Sedangkan Heru sudah menunggu di lobi.

"Kamu belum sarapan." Keluh Dinda saat mengantarnya ke depan lift.

"Nanti di lounge." Rendra mengusap pipinya dengan ibu jari.

"Berapa hari di sana?"

"Tiga hari. Kamis malam aku pulang." Rendra diam sebentar. "Aku akan suruh Rico stay di sini."

Dinda sudah hampir membuka mulut saat Rendra menyela, "Untuk keamanan. Aku nggak mau kamu sendirian. Kamu lagi hamil."

Dinda mendesah pelan, "Aku nggak nyaman kalau ada laki-laki."

Rendra tahu Dinda benar. Memang aneh membiarkan laki-lain lain di sini sementara ia tidak ada.

Ia menimbang cukup lama. "Oke. Tapi kamu harus ajak Ibu atau Tania ke sini. Atau kalau mau pulang ke Kebayoran Baru juga boleh."

Dinda mengangguk.

"Aku pergi dulu." Rendra menatap perut Dinda yang membulat dan mengusapnya pelan. "Nanti kalau udah sampai aku telepon."

Lalu ia menunduk dan mengecup bibir Dinda.

Radit langsung menunduk, pura-pura mengecek koper. Rahma membuang muka tapi tak bisa menahan senyum.

"Hati-hati."

Rendra mengangguk sebelum melangkah masuk ke lift bersama Radit. Lift tertutup dan Rendra menghilang di balik pintu besi.

Dinda menghela napas lalu mengelus perutnya. 'Pasti kamu kan yang sedih karena Papa pergi ?'

Lalu ia berjalan ke kamar dengan langkah berat.

...***...

1
Blueberry Solenne
minta satu Ren, buat jalan2 nyari bakwan!
Blueberry Solenne
Oke aku harus beradaptasi sama sikapnya si Rendra, Aaaarrgghhh. Dinda kuat? 🤭
Blueberry Solenne
Halah, kagak percaya gue bang
Blueberry Solenne
Denger kagak Bim suara si dinda begitu?hahahaha
Nadin Alina
Rendra mulai takut nih, Dinda oleng ke Bima🤭.
MARDONI
Dinda tipe yang selalu jaga nama pasangan di depan orang lain😍
MARDONI
Nikah mendadak pasti bikin banyak orang penasaran😄
d_midah
wehehe kepoin aja Din, makin lama, makin pengen tau liuar dalam nanti
dalam hati maksudnya☺️☺️
d_midah
baik si ia, mapan juga ok, tapi kan hati juga harus cocok pak
d_midah
wajar lah kaget, tiba-tiba datang lamaran yang gak terduga
Cahaya Tulip
sengaja mau bikin Bima panas.. hadeh gila mmg Rendra ini😌
LyaAnila
pasti dijaga pak, kalau nggak, nanti Dinda suruh lapor sama anda aja pak
LyaAnila
ihiii. pasti kangen nih sama mas nya. selamat melepas rindu ya
TokoFebri
hahahha. si Rendra cemburunya gemes banget sehh wkwkwj
Cahaya Tulip
bisa terasa suasana canggungnya.. berat ini dinda, yg diredam lebih senior.. pengendali lg😌
TokoFebri
author pakek tanya. ya Rendra dong wkwkwkwkw. 🤣 tampan, rupawan, kaya, wkwkwkw.
Nadin Alina
kalau aku Sih tetap Rendra yaaa🤭😭
@dadan_kusuma89
Pak Seno! Saat ini Dinda memang sudah sepenuhnya menjadi tanggung jawab Rendra. Jadi, anda tidak perlu repot-repot menitipkan dia.
@dadan_kusuma89
Tempe goreng dan sambal terasi itu tentunya menyimpan sebuah rasa dan kenangan yang sangat berarti bagimu, Dinda. Semoga kau masih tetap menemukan yang demikian di rumah tanggamu dengan Rendra.
Blueberry Solenne
Bakal takluk gak ya ama si dinda tu cowok?
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!