"Menikahi Istri Cacat"
Di hari pernikahannya yang mewah dan nyaris sempurna, Kian Ardhana—pria tampan, kaya raya, dan dijuluki bujangan paling diidamkan—baru saja mengucapkan ijab kabul. Tangannya masih menjabat tangan penghulu, seluruh ruangan menahan napas menunggu kata sakral:
“Sah.”
Namun sebelum suara itu terdengar…
“Tidak sah! Dia sudah menjadi suamiku!”
Teriakan dari seorang wanita bercadar yang jalannya pincang mengguncang segalanya.
Suasana khidmat berubah jadi kekacauan.
Siapa dia?
Istri sah yang selama ini disembunyikan?
Mantan kekasih yang belum move on?
Atau sekadar wanita misterius yang ingin menghancurkan segalanya?
Satu kalimat dari bibir wanita bercadar itu membuka pintu ke masa lalu kelam yang selama ini Kian pendam rapat-rapat.
Akankah pesta pernikahan itu berubah jadi ajang pengakuan dosa… atau awal dari kehancuran hidup Kian?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nana 17 Oktober, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
4. Permohonan
Ruang Perawatan – Pagi Menjelang Siang
Udara di dalam ruang perawatan terasa dingin. Lampu gantung menyinari putih selimut, putih dinding, dan putih gorden yang menggantung setengah terbuka.
Kanya perlahan membuka mata.
Cahaya menusuk kelopak yang sudah terlalu lama tertutup.
Tubuhnya lemah. Ada rasa nyeri yang menjalar dari pergelangan kaki hingga ke dada. Sebelah kakinya terasa berat—kaku dan tak bisa digerakkan.
Ia menoleh pelan ke kiri.
Ada seorang pria di sana.
Duduk di kursi. Tubuh tegap. Wajah asing.
Sejenak, Kanya menahan napas.
Matanya membesar.
"Siapa dia?"
"Di mana ayah?"
Tangannya berusaha meraih tombol panggil di samping ranjang, tapi terhenti ketika pria itu berdiri pelan dan menghampiri.
"Ssst... tenang," ucap Kian dengan suara pelan. “Kamu baru sadar.”
Suara itu asing. Lembut tapi bukan suara yang ia kenal.
Kanya menelan ludah. Matanya menatap sekeliling. Berharap ada sosok lain. Sosok yang ia kenal.
Ayah...
“Ayah saya... di mana?” tanyanya dengan suara lemah.
Kian ragu sesaat. Lalu menunduk sedikit.
“Beliau sedang dirawat juga. Kelelahan,” jawabnya, menjaga nadanya tetap tenang.
Kanya hanya menatap. Hening.
Tapi ada kegelisahan yang merambat dari matanya. Ia tampak ingin bertanya lebih banyak, tapi mulutnya tertahan. Napasnya pendek. Luka dan bingung—dua rasa yang menumpuk dalam dada rapuhnya.
Kian baru saja hendak bicara saat ponselnya bergetar.
Nada panggilan dari proyek.
Ia menatap layar sekilas—lalu menekan tombol hijau dan menjauh beberapa langkah.
“Ya, halo… Iya, saya di rumah sakit. Sudah dicek? …Apa? Retakan di struktur pondasi?! Astaga… Baik. Saya ke sana setelah ini.”
Telepon ditutup.
Ia menatap Kanya lagi. Wajah gadis itu masih menunduk.
Kian menarik napas dalam, lalu mendekat.
“Aku harus pergi sebentar. Ada urusan penting,” ucapnya pelan. “Tapi akan ada perawat yang menjaga kamu. Jangan khawatir, Ayahmu juga sedang dalam penanganan dokter.”
Kanya tak menjawab. Hanya matanya yang bergerak pelan menatap jendela.
Wajahnya datar.
Tapi di balik kelopak matanya yang rapat dan wajah tertutup cadar, ada sesuatu yang terasa hilang. Ia bangun tanpa pegangan—dan mendapati dunia telah berubah arah tanpa ia sadari.
Kian terdiam. Tak tahu harus menambahkan apa.
Akhirnya ia hanya berkata:
“Beristirahatlah.”
Lalu melangkah pelan meninggalkan ruangan, sementara pintu menutup dengan bunyi klik yang nyaris tak terdengar.
Dan Kanya... kembali sendiri.
Di tempat asing. Tanpa ayah.
***
Ruang Rawat – Beberapa Jam Setelahnya
Pak Hasan perlahan membuka mata.
Cahaya lampu menyilaukan kelopak yang berat, dan aroma disinfektan rumah sakit langsung menyerbu hidungnya. Napasnya pendek. Tubuhnya lemas. Tapi pikirannya langsung melayang ke satu hal:
Kanya.
“Pak… Bapak sudah sadar?” suara perawat menyambut lembut dari sisi kanan.
Ia menoleh pelan. Seorang suster muda tersenyum lega.
“Pak Hasan, Anda pingsan tadi pagi. Tapi sekarang sudah lebih stabil,” lanjut suster itu.
Pak Hasan mencoba bangkit. Gagal. Ia hanya bisa menggerakkan jari dan kepala.
“Putri saya?” bisiknya serak.
“Masih di ruang perawatan. Jangan khawatir, Pak. Ada… Pak Kian yang mengurus semuanya. Beliau juga yang membawa Bapak masuk ke UGD dan terus berjaga sampai tadi.”
Pak Hasan terdiam.
Matanya berkaca-kaca. Ia memejam sejenak—antara rasa syukur dan getir.
Ia tidak menyangka… pria itu benar-benar peduli.
Tapi keraguan yang menancap karena mengetahui Kian menginginkan tanahnya tidak bisa dicabut hanya dengan satu tindakan.
Kian… masih terlalu asing.
Masih terlalu muda.
Dan yang lebih mengusik: apa pria itu nanti bisa mencintai putrinya… atau hanya mengejar tanah warisan?
Ia menatap langit-langit ruangan. Lalu dengan tangan gemetar, ia meminta ponsel.
Jempolnya mengetik pelan. Mencari kontak pengacaranya.
“Datanglah. Segera. Sebelum saya kehilangan waktu. Rumah sakit Medika Farma.”
Tak Lama Kemudian
Suara roda kursi terdengar pelan di lorong rumah sakit.
Pak Hasan duduk di atas kursi roda yang didorong suster. Tangannya lemas di pangkuan, selimut putih menutup lututnya. Wajahnya pucat, tetapi matanya… penuh tekad.
Rasa sakit bukan apa-apa dibanding ketakutan: bagaimana jika Tuhan memanggilnya hari ini? Siapa yang akan menjaga Kanya?
Suster membuka pintu ruang perawatan.
Kanya sedang duduk di ranjang, menyender pada bantal. Tubuhnya masih lemah, tapi matanya langsung membulat.
“Ayah...”
Ia ingin turun, tapi kaki kirinya tak bisa digerakkan.
Pak Hasan segera menyuruh suster keluar. Suara pintu menutup pelan, menyisakan keheningan sunyi antara dua jiwa yang saling menggenggam waktu yang hampir habis.
“Kamu sudah bangun, Nak…” bisiknya pelan, napasnya berat seolah setiap kata mengikis tenaganya.
Kanya menatapnya. “Ayah... kenapa? Ayah sakit, ya?”
Pak Hasan menatap mata putrinya—mata yang selalu bisa ia baca, bahkan saat wajahnya tersembunyi di balik cadar. Hari ini, mata itu tak bisa menyembunyikan apa pun.
Kekhawatiran. Ketakutan.
Dan cinta yang terlalu murni.
Ia menarik napas panjang. Gontai. Lalu menunduk.
“Ayah… kena kanker, Nak.”
Kanya membeku.
“…Kanker?”
Pak Hasan mengangguk. “Stadium empat.”
Kata-kata itu jatuh pelan, seperti debu di atas luka terbuka.
Kanya refleks menutup mulutnya. Matanya mulai berkaca. Bahkan sebelum sempat menangis, hatinya lebih dulu pecah.
Sebenarnya… ia tahu.
Sudah lama ia melihat tubuh Ayahnya makin kurus, langkahnya makin lambat. Tapi setiap kali ia bertanya, Ayahnya selalu tersenyum—senyum tipis yang dulu ia kira meyakinkan, kini terasa seperti perpisahan yang ditunda.
Tapi sebelum ia bisa bertanya lebih jauh, tangan Ayahnya menggenggam jari-jarinya. Ringkih. Tapi tetap hangat.
“Ayah takut, Kanya...”
Suara itu serak. Jauh dari wibawa Ayah yang ia kenal.
“Takut... meninggalkanmu sendirian di dunia ini.”
Ia menatap putrinya lama—seolah ingin menanamkan wajah itu dalam ingatannya sebelum gelap menjemput.
“Kamu tahu, ‘kan? Kamu satu-satunya yang Ayah punya.”
Air mata Kanya jatuh. Diam-diam, tapi deras. Ia menggigit bibir bawahnya. Tak sanggup bicara. Tak sanggup menolak kenyataan.
Hasan menarik napas lagi. Lebih berat dari sebelumnya.
“Dan... ada satu hal yang Ayah minta…”
Kanya menggeleng. Perlahan. Seolah ingin menghentikan waktu dengan gerakan kecil.
“Menikahlah dengan Kian.”
Kanya menatap ayahnya dengan syok. “Ayah… aku… aku masih sekolah. Dan dia… siapa dia? Aku bahkan tak kenal dia.”
Hasan tidak menyela. Hanya menatap dengan mata merah yang mulai basah.
“Dia yang membuatmu seperti ini… tapi dia juga yang pertama berdiri untuk menebus kesalahannya.”
Suaranya pecah di tengah kalimat.
“Ayah tahu ini terlalu cepat. Terlalu gila. Tapi…”
Ia menggenggam tangan Kanya lebih erat, seolah takut kehilangan sebelum sempat memohon.
“Ayah mohon, Nak. Bukan karena Ayah ingin melepasmu… Tapi Ayah takut tak punya cukup waktu untuk menjagamu.”
Kanya menunduk. Bahunya bergetar.
Hasan menelan ludah. Lalu, dengan suara yang hampir patah, ia melanjutkan,
“Kamu... mungkin tak akan bisa berjalan seperti dulu. Dan Ayah…”
Ia berhenti. Sesak.
“Ayah mungkin… akan pergi sebelum bisa memastikan kamu punya tempat berlindung.”
Kanya memalingkan wajah. Tapi isakannya tak bisa disembunyikan.
Tangannya menggenggam selimut erat-erat, seolah ingin mencengkeram dunia agar tidak runtuh.
“Ayah mohon…”
Suara itu seperti bisikan terakhir seseorang yang tengah berdiri di tepi ajal.
Detik berlalu tanpa suara, hanya suara infus menetes dan napas yang tak stabil.
Lalu…
Kanya mengangguk.
Pelan.
Sangat pelan.
Hasan memejam. Air mata akhirnya jatuh dari sudut matanya. Tapi bukan karena duka semata.
Ada sedikit… kelegaan.
Seperti satu beban berat yang akhirnya dititipkan sebelum ia benar-benar pergi.
Tapi jauh di lubuk hatinya, luka itu tetap menganga. Sebab tak ada ayah yang ingin menitipkan anak gadisnya pada seseorang yang belum sempat ia percayai sepenuhnya.
***
Ruang Rawat – Senja Menjelang
Langit di balik jendela mulai berubah warna. Jingga merambat perlahan, membelah tirai cahaya putih rumah sakit. Pak Hasan sudah kembali dari ruang Kanya. Tubuhnya letih, tapi hatinya sedikit lebih tenang.
Suster membantu mendorong kursi rodanya hingga ke sisi ranjang. Hasan menoleh ke perawat itu dan tersenyum tipis.
“Terima kasih, Sus.”
“Kalau butuh apa-apa, tinggal tekan bel, ya Pak,” jawab sang suster sebelum pamit.
Tak lama kemudian, pintu kamar diketuk. Seorang pria paruh baya, berjas rapi, masuk sambil membawa map coklat dan sebuah tas kecil.
“Assalamualaikum, Pak Hasan.”
“Waalaikumsalam… Duduklah. Terima kasih sudah datang cepat.”
Pria itu adalah Pak Fikri, pengacara lama yang juga teman lamanya di kampung. Tanpa banyak basa-basi, ia duduk dan membuka mapnya. Hasan langsung menyampaikan maksudnya:
“Aku ingin buat surat perjanjian pernikahan. Sederhana saja, sebagai jaminan untuk putriku. Tentang haknya, warisan, dan sedikit catatan… jika aku tiada.”
...🌸❤️🌸...
.
To be continued
kanya aja sdh menyanggupi akan memberikan Hak nya kalau kamu sanggup mencintai nya Dan hidup selamanya bersamanya ..kamu aja yg plin plan mas kian
seharusnya kamu juga mikir setiap pernikahan Siri pihak yg paling di rugikan itu wanita, kalau bisa buat kanya menjadi istri sah secara agama Dan negara dulu.baru minta hakmu kian
Papa Keynan dan Mama Aisyahkah..kalo iya bagus dong biar Kian di kasih wewejang lagi dari Papa Keynan yang telah melanggar untuk menemui Friska bahkan memeluknya....
jika kamu ingin mendapatkan hakmu terimalah dulu Kanya dengan baik dan tulus saling nenerima walapun belum sepenuhnya,,minimal kamu bersikap baiklah pada Kanya jangan terlalu datar dan coba untuk mencintai Kanya...
kamu juga blum mengenal Kanya,
sebagai suami apa yang kamu ketahui tentang Kanya???
coba kamu mulai terima Kanya,jadikan dia prioritas mu, cintai dia setulus hati mu.
jangan hanya Friska doank yang kamu simpan dihati mu.
lagian kamu belum mengenal Kanya
merasa dikhianati padahal kamu dan Kian pasangan pengkhianat sebenarnya
untung Kanya wanita bijak dan taat agama,klo gak mungkin Friska udah viral karena mengambil suami orang...
Bagaimana Kian ????
Oooo....ternyata noda lipstik dan aroma parfum Friska yang mabuk di tolong Kian.
Kelakuan sang mantan yang hatinya sedang retak - di bawa mabuk rupanya.
Lanjutkan kak Nana... 🙏🙏🙏 Aku Hadir lagi kak,setelah Menunggu Cukup lama,agar Novel ini Menandatangani Kontrak Eksklusid. Dan Akhirnya Sekarang Aku Bisa Baca 😁😁😁