Perjodohan yang terjadi antara Kalila dan Arlen membuat persahabatan mereka renggang. Arlen melemparkan surat perjanjian kesepakatan pernikahan yang hanya akan berjalan selama satu tahun saja, dan selama itu pula Arlen akan tetap menjalin hubungan dengan kekasihnya.
Namun bagaimana jika kesalahpahaman yang selama ini diyakini akhirnya menemukan titik terangnya, apakah penyesalan Arlen mendapatkan maaf dari Kalila? Atau kah, Kalila memilih untuk tetap menyelesaikan perjanjian kesepakatan mereka?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kiky Mungil, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 18. Perasaan Yang Tidak Bisa Digambarkan
Tidak ada yang bisa melarang Arlen jika orang itu sudah mengambil keputusan, apa lagi Noe yang hanya sebatas asistennya. Tentu saja yang bisa Noe lakukan sekarang adalah mengantarkan Tuannya ke rumah Miska. Mereka berhenti tepat di depan rumah yang sudah temaram karena waktu memang sudah sangat larut.
Orang gila mana yang mau bertamu dan menerima tamu pada jam sebelas lewat tujuh belas menit malam?
"Tuan," Noe menahan Arlen sebelum dia keluar. "Sebaiknya Tuan menghubungi Nona Miska, dari pada turun dan mengetuk pintu, karena ini sudah sangat larut, khawatir akan mengganggu tetangga."
"Bagus! Kalo aku bisa mengganggu, Miska ga punya alasan untuk ga membiarkanku masuk." sahut Arlen ngeyel. Dia tetap turun, meninggalkan Noe yang kembali membuang napas gemas.
Arlen menggedor pintu rumah Miska sama sekali tidak peduli dengan saran dari Noe. Sementara Noe yang was-was akan ada warga yang memanggil satpam dan menyeret Tuannya.
Akhirnya tak butuh waktu lama, Miska membuka pintu, tapi hanya sebatas lebar tubuhnya saja.
"Mau apa kamu?" tanya Miska dengan nada galak. "Apa kamu ga tau adab bertamu? Ini jam berapa?! Dasar gila!" Maki Miska dengan galaknya.
"Katakan pada Kalila, aku menjemputnya untuk pulang."
Mendengar ucapan Arlen, Miska malah tertawa. Tertawa dengan nada mencemooh yang menjengkelkan telinga Arlen.
"Pulang? Apa kamu mabuk lagi? Ga usah aneh-aneh!" jawab Miska. "Sana pergi, kedatanganmu sangat mengganggu." Miska hendak menutup pintu, tapi kaki Arlen dengan cepat mengganjalnya.
"Kalau begitu, katakan pada Kalila, aku datang."
"Kalila sudah tidur setelah seharian dia membuang air matanya yang sangat berharga untuk laki-laki bejat sepertimu." jawaban Miska sungguh menusuk sekaligus menampar rasa penyesalan Arlen. "Jadi, sana pergi. Jangan mengganggunya lagi. Urus saja secepatnya perceraian kalian."
BUG! Miska dengan kesadaran penuh menendang tulang kering Arlen dengan sangat kuat, hingga tak terelakkan Arlen kesakitan dan menarik kakinya.
"Aku akan menunggu Kalila disini! Aku ga akan kemana-mana!" Teriak Arlen.
Sementara Arlen terus menunggu Kalila, di dalam rumah, Kalila menunggu Miska di atas sofa dengan menekuk kedua lututnya.
"Biarkan saja dia terlantar di depan." ujar Miska seraya kembali duduk di atas sofa yang berbeda dari Kalila. "Lagi pula dia datang bersama Noe, asistennya itu ga akan membiarkan Tuannya kenapa-kenapa." kata Miska seolah mengerti dengan isi pikiran Kalila yang mempunyai jiwa kepedulian di atas normal.
"Apa dia sudah makan? Apa obatnya diminum? Apa kepalanya masih sakit karena mabuk kemarin?"
"Mana aku tau." Sahut Miska. "Lagi pula untuk apa kamu masih peduliin dia sih? Dia sudah menyakitimu, sudah melukai hati dan fisikmu, buat apa masih peduli dengan laki-laki itu?"
Air mata kembali menetes dari mata Kalila yang masih sembab dan bengkak karena seharian banyak menangis. "Entahlah, mungkin karena sudah terbiasa."
"Ubah saja kebiasaanmu. Dia ga pantas untuk mendapatkan rasa peduli darimu lagi."
Tapi air mata Kalila semakin banyak. Menutupi wajah dengan kedua tangannya pun percuma.
"Dengar, sekarang aku tanya, seharian ini sebenarnya apa yang kamu rasakan? Perasaan apa yang mendorongmu untuk terus-terusan menangis? Apa kamu sedih karena dia mengusirmu? Sedih karena dia akan mengurus perceraian kalian sebelum kontrak kalian habis? Sakit hati karena apa yang dia lakukan tapi dia bahkan ga ingat apa yang sudah dia lakukan padamu? Atau apa?"
Kalila menggeleng. Sejujurnya, dia sendiri juga tidak tahu perasaan apa yang mendorongnya untuk terus mengeluarkan air mata. Dia hanya merasa hatinya luka, dan sesak dalam dadanya sangat membuatnya sulit bernapas. Hingga jalan satu-satunya ada menangis. Tapi, rupanya tangisannya tak juga membuat sesak dalam dadanya berkurang.
Dia memang terluka dan sangat bersedih karena apa yang dilakukan Arlen kemarin malam. Perlakuannya yang sangat kasar, bahkan selama dia melakukannya, Arlen terus memanggil Kalila dengan nama Miranda. Dan ketika paginya, Arlen seolah tidak melakukan apa pun pada Kalila. Tidak ada maaf, tidak ada penjelasan. Semua itu cukup membuat Kalila terluka.
Meski pun dia tahu, Arlen melakukan itu karena pengaruh alkohol. Tapi, tetap ada secuil harapan yang menginginkan sebuah penjelasan atau pun ucapan maaf dari pria itu. Tapi yang keluar dari bibir Arlen malah perceraian dan dia diusir.
Mungkin juga dia bersedih karena mahkota yang dia jaga selama ini diambil dengan paksa meski dengan pria yang berstatus suaminya.
"Aku ga tau. Dadaku hanya terasa begitu sesak." jawab Kalila dengan suaranya yang lirih.
Miska membuang napas penuh kesabaran menghadapi sahabatnya yang memiliki jiwa paling lembut itu.
"Setelah semua kesalahpahaman, semua kata-kata menyakitkan dan perlakuan menyakitkan itu, apa kamu akan memaafkannya?" tanya Miska.
"Apa aku bodoh kalo aku memaafkannya?"
"Iya! Sangat!" jawab Miska dengan gemas. Dia sampai menyugar rambutnya sakin gemasnya. "Aku tau, karakter dan sifatmu memang begitu. Terlalu lembut. Jiwa kepedulianmu terlalu tidak wajar. Sifatmu yang pemaaf itu sangat ga manusiawi. Tapi, ada kalanya kamu harus marah, harus membenci orang yang sudah menyakitimu."
"Apa marah dan membenci akan membuat hati dan perasaanku lebih baik?" tanya Kalila dengan polosnya. "Karena aku pernah mencobanya, tapi, yang kurasakan saat marah dan membenci malah semakin membuat pikiranku kacau, hatiku sempit, perasaanku ga nyaman."
"Seharusnya kamu jangan lahir ke dunia yang kejam ini, La. Kamu terlalu murni sebagai manusia biasa." Miska mengusap wajahnya dan menatap Kalila dengan tatapan putus asa.
Tiba-tiba saja terdengar suara geluduk yang membuat Kalila seketika menegakkan punggungnya.
"Jangan keluar!" Miska langsung memberikan peringatan pada Kalila seperti seorang kakak kepada adiknya yang dipanggil main oleh temannya di waktu tidur siang.
"Tapi geluduk. Bagaimana kalo hujan?"
"Kalila, dia bersama Noe dan ada mobil. Kalau aku jadi Noe, aku akan menyeret dan menguncinya di dalam mobil supaya dia ga membuat drama kehujanan di depan rumahku."
"Tapi gimana kalau gerd-nya kambuh?"
"Rumah sakit hanya sepuluh menit dari sini."
Tapi Kalila tidak terlihat tenang, dia terlihat malah semakin gelisah, apa lagi begitu mulai terdengar suara rintik hujan.
"Biarkan dia mendapatkan pelajaran sebentar untuk semua yang sudah dia lakukan padamu." kata Miska mengingatkan. "Ga semua orang harus langsung dimaafkan. Biarkan dia belajar menyesali perbuatannya supaya ga ngegampangin perasaan orang lain."
Kalila menggigit bibirnya, hatinya benar-benar cemas dan gelisah. Dia tahu, Noe tidak akan bisa memaksa Arlen untuk masuk ke dalam mobil jika Arlen memutuskan untuk tetap menunggu Kalila di depan rumah.
Semoga Arlen mengutamakan kesehatannya. Batin Kalila berharap.
Miska bahkan sangat melarang keras Kalila untuk hanya sekadar mengintip keadaan Arlen di luar. Hingga pagi menyapa, sisa rintik hujan semalaman masih ada menetes dari tepian atap dan jatuh pada dahan-dahan dedaunan.
Kalila yang memang tidak bisa tidur semalaman langsung saja melesat keluar dari kamar untuk menemui Arlen yang mobilnya terlihat masih terparkir di dapan rumah Miska.
Kalila melewati Miska yang sedang duduk mengangkat sebelah kakinya di atas kursi makan sambil menikmati roti panggang dan segelas kopi susu.
Kalila menyempatkan untuk menarik napas panjang dulu sebelum memutar kunci dan membuka pintu. Napasnya seketika itu juga tercekat.
"Arlen!"
.
.
.
Bersambung