Seorang wanita modern Aira Jung, petinju profesional sekaligus pembunuh bayaran terbangun sebagai Permaisuri Lian, tokoh tragis dalam novel yang semalam ia baca hingga tamat. Dalam cerita aslinya, permaisuri itu hidup menderita dan mati tanpa pernah dianggap oleh kaisar. Tapi kini Aira bukan Lian yang lembek. Ia bersumpah akan membuat kaisar itu bertekuk lutut, bahkan jika harus menyalakan api di seluruh istana.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Senja Bulan, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 35, Batas
Ruang utama istana sunyi malam itu.
Hanya cahaya lilin yang bergetar di dinding, seolah takut pada percakapan yang akan terjadi.
Kaisar Kaelith berdiri di depan meja besar, surat laporan dari pelabuhan masih terbuka di tangannya.
Di baris terakhir, tertulis jelas:
“Pemimpin serangan dipastikan adalah Permaisuri Elara.”
Ia mengembuskan napas panjang, menatap keluar jendela ke arah istana barat tempat Elara tinggal.
Ada rasa marah, tapi juga kekaguman yang tidak bisa ia hapus.
Wanita itu telah membakar pelabuhan selatan dan menggulingkan kekuatan Lord Renard dalam satu malam sesuatu yang bahkan pasukan kekaisaran gagal lakukan dalam berbulan-bulan.
“Dia benar-benar api,” gumam Kaelith pelan.
“Dan aku… hanya raja yang berdiri terlalu dekat dengannya.”
Sementara itu, di sisi barat istana, Elara baru tiba dari perjalanan panjangnya.
Gaun hitamnya masih berdebu, rambutnya sedikit berantakan, tapi matanya berkilat tajam.
Kaen berjalan di belakangnya membawa gulungan dokumen yang berisi catatan pengkhianatan Renard bukti yang akan mengguncang seluruh dewan kerajaan.
“Kau yakin ingin menyerahkannya pada Kaisar sendiri?” tanya Kaen pelan.
“Dia bisa saja menuduhmu melanggar perintah kerajaan.”
Elara tersenyum miring.
“Justru itu yang kuinginkan. Aku ingin dia menatap mataku dan tahu aku tidak bermain di belakangnya, aku hanya bermain lebih baik.”
Kaen menunduk.
“Jika itu membahayakanmu?”
“Kehidupan tanpa bahaya itu untuk wanita yang menunggu, Kaen. Aku bukan salah satunya.”
Pintu ruang kerja Kaisar terbuka tanpa izin.
Prajurit penjaga menahan napas ketika Elara melangkah masuk tanpa menunduk.
“Kau bahkan tidak tahu cara mengetuk,” ujar Kaelith tanpa menoleh.
“Kau bahkan tidak tahu bagaimana menghargai kerja orang lain,” balas Elara tenang.
Ia meletakkan gulungan dokumen di meja dengan suara berat.
“Itu daftar seluruh transaksi Renard. Nama-nama pejabat yang terlibat juga ada di dalamnya. Aku melakukan apa yang seharusnya dilakukan oleh penguasa.”
Kaelith berbalik, menatapnya tajam.
“Dengan membakar pelabuhan kerajaan?”
“Dengan membersihkannya dari pengkhianat,” jawab Elara cepat.
“Kau ingin aku menunggu perintahmu, tapi saat itu, pasukanmu sibuk menjaga singgasana sementara negeri ini membusuk!”
Kaelith mendekat.
“Kau melewati batas, Elara.”
“Batas? Aku melewati batas setiap kali aku memilih bertahan di istana yang lebih menghargai bayangan daripada kebenaran!”
Keduanya berdiri hanya beberapa langkah.
Amarah mereka nyaris bisa dirasakan di udara tapi bukan amarah yang dingin.
Itu amarah yang lahir dari sesuatu yang lebih rumit.
Kaelith menatapnya lama.
“Kau berubah,” katanya akhirnya.
“Kau juga,” balas Elara lirih. “Dulu kau hanya seorang pria yang mencintai selirnya. Sekarang… kau adalah kaisar yang takut kehilangan kendali.”
Kaelith terdiam, menatap dalam ke matanya.
“Kau pikir aku takut padamu?”
“Aku tahu kau takut padaku. Karena untuk pertama kalinya, kau bertemu seseorang yang tidak tunduk padamu.”
Sunyi.
Hanya suara napas mereka berdua.
Lalu tanpa diduga, Kaelith meraih pergelangan tangan Elara, menariknya lebih dekat.
“Aku marah bukan karena kau membakar pelabuhan,” suaranya serak dan berat.
“Aku marah karena setiap langkahmu membuatku kehilangan alasan untuk membencimu.”
Elara menatapnya dalam-dalam, suaranya nyaris berbisik.
“Kau tak perlu membenciku, Kaelith. Kau hanya perlu memutuskan apakah kau ingin berdiri bersamaku… atau berperang melawanku.”
Mereka berdiri begitu dekat hingga napas mereka saling menyentuh.
Namun kali ini, tak ada ciuman.
Hanya dua penguasa yang saling menantang, dengan cinta dan kekuasaan sebagai medan perang.
Di luar ruangan, Penasihat Liora mendengarkan dari balik pintu.
Senyum licin terbit di wajahnya.
“Seperti yang kuduga,” bisiknya.
“Kerajaan ini akan runtuh bukan oleh perang, tapi oleh cinta dua penguasa yang sama-sama ingin berkuasa.”
Ia berbalik, melangkah pelan ke arah aula utama, menyusun rencana baru untuk menyalakan api yang lebih besar di antara hati dua orang yang tak tahu lagi siapa yang sebenarnya mereka lindungi.
Langit pagi itu terlalu hening bagi istana yang sedang dilanda badai diam-diam.
Setelah perdebatan sengit antara Elara dan Kaisar Kaelith malam sebelumnya, seluruh istana terasa tegang.
Pelayan berbicara dengan suara berbisik, seolah udara bisa mengantarkan kata pada telinga yang salah.
Elara Permaisuri sah Kekaisaran Althera kini bukan lagi wanita yang menunduk di balik tirai.
Ia duduk di paviliun barat, mengenakan jubah sutra putih sederhana, memandangi peta besar yang terbentang di hadapannya.
Kaen berdiri di sampingnya, wajahnya serius.
“Kita sudah kendalikan rantai suplai dari selatan. Tapi utara mulai bergerak tanpa izin.”
Elara mengangguk pelan.
“Liora.”
Kaen mengernyit.
“Penasihat itu lagi?”
“Dia terlalu licik untuk dibiarkan hidup tanpa diawasi,” kata Elara tenang. “Dan sayangnya, Kaisar mempercayainya.”
“Dia tidak punya hubungan pribadi dengan Kaisar,” sahut Kaen. “Tapi dia tahu cara memanfaatkan kekosongan di sekitar takhta.”
Elara menatap peta dengan mata tajam.
“Maka aku akan pastikan dia tahu istana ini bukan tempat untuk ular berbisa.”
Di sisi lain istana, Penasihat Liora duduk di ruang kerjanya.
Dinding dipenuhi gulungan laporan dan surat perintah kerajaan.
Wajahnya lembut, tapi matanya menyimpan kilatan penuh perhitungan.
“Permaisuri Elara terlalu cepat membangun pengaruh,” katanya lirih pada salah satu ajudannya.
“Dia bukan ancaman bagi Kaisar… tapi bagi sistem yang kubangun bertahun-tahun.”
Ajudan itu menunduk.
“Apa perintah Anda?”
“Sebarkan kabar bahwa pasukan selatan tidak lagi tunduk pada istana. Biarkan Kaisar meragukannya. Jika kepercayaan mereka retak, aku tak perlu menggerakkan satu pedang pun.”
Dia tersenyum kecil, menyandarkan diri di kursinya.
“Dalam permainan kekuasaan, rumor lebih tajam dari pedang.”
Sore itu, Liora mengirimkan surat resmi kepada Elara.
Segelnya berwarna merah darah.
“Pertemuan singkat untuk membicarakan masa depan istana. Dari seorang penasihat yang masih menghormati permaisuri.” Liora.
Kaen membaca surat itu dengan wajah gelap.
“Kau tidak perlu datang. Dia ingin menjebakmu dalam diplomasi.”
“Kaen,” kata Elara lembut tapi tegas. “Dalam perang politik, jebakan adalah panggung. Dan aku tidak pernah menolak panggung.”
Ruang perjamuan Liora berkilau dengan cahaya lilin dan aroma bunga cendana.
Elara melangkah masuk dengan tenang.
Setiap langkahnya membuat pelayan menunduk dalam-dalam.
Di ujung meja, Liora berdiri, mengenakan jubah hijau tua tanda penasihat tinggi kerajaan.
“Permaisuri Elara,” sapanya ramah, penuh kepura-puraan.
“Senang akhirnya Anda berkenan berbicara dengan seseorang yang lebih mengutamakan kedamaian daripada kekuatan.”
Elara tersenyum samar.
“Kedamaian tanpa keadilan hanyalah selimut bagi penakut.”
Liora tersenyum.
“Tajam sekali. Tapi Anda tahu, kadang terlalu tajam membuat seseorang berdarah sendiri.”
“Dan terlalu halus membuat orang diinjak tanpa sadar,” balas Elara.
Sunyi menggantung di antara mereka.
Liora menatap Elara dalam, seolah menakar kekuatan yang tersimpan di balik ketenangannya.
“Anda berbahaya, Permaisuri,” kata Liora akhirnya. “Dan berbahaya bukanlah sifat yang cocok untuk seorang ratu.”
“Kau salah,” jawab Elara pelan. “Berbahaya justru satu-satunya cara agar seorang ratu tidak dimakan oleh serigala seperti kau.”
Suara Elara datar, tapi cukup untuk membuat Liora diam beberapa detik.
Ketika Elara berbalik hendak pergi, Liora hanya berbisik pada dirinya sendiri,
“Kalau begitu, mari kita lihat siapa yang lebih dulu diterkam.”
Malam itu, Kaen menemui Elara di balkon.
Langit bertabur bintang, angin membawa aroma laut.
“Kau membuat Liora gugup hari ini,” katanya.
Elara menatap ke arah menara timur.
“Bagus. Karena wanita yang gugup akan membuat kesalahan. Dan saat dia melakukannya…”
Kaen menatapnya penasaran.
“Apa yang akan kau lakukan?”
“Aku akan pastikan tak ada yang tersisa dari bayangan yang dia sembunyikan,” jawab Elara dengan senyum dingin.