“Di balik seragam putih abu-abu, Nayla menyimpan rahasia kelam.”
Di usia yang seharusnya penuh tawa dan mimpi, Nayla justru harus berjuang melawan pahitnya kenyataan. Ibu yang sakit, ayah yang terjerat alkohol dan kekerasan, serta adik-adik yang menangis kelaparan membuatnya mengambil keputusan terberat dalam hidup: menukar masa remajanya dengan dunia malam.
Siang hari, ia hanyalah siswi SMA biasa. tersenyum, bercanda, belajar di kelas. Namun ketika malam tiba, ia berubah menjadi sosok lain, menutup luka dengan senyum palsu demi sesuap nasi dan segenggam harapan bagi keluarganya.
Sampai kapan Nayla mampu menyembunyikan luka itu? Dan adakah cahaya yang bisa menuntunnya keluar dari gelap yang menelannya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Qwan in, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
35
Beberapa waktu telah berlalu sejak hari itu.
Hidup Nayla perlahan kembali berjalan seperti biasa. Pagi ini, ia tampak sibuk di dapur menyiapkan sarapan untuk kedua adiknya. Wajahnya tampak berseri, tidak lagi terlihat beban berat seperti sebelumnya.
Dio kini sudah benar-benar pulih dan mulai kembali bersekolah. Sementara Nayla, untuk pertama kalinya setelah sekian lama, bersenandung kecil saat menumis nasi di atas wajan. Suara gesekan sendok kayu dengan wajan menambah kesan hangat suasana dapur mungil itu.
“Mbak Nayla masak apa? Harum banget!” tanya Lili riang sambil melangkah masuk ke dapur. Seragam sekolahnya sudah rapi, rambutnya dikuncir dua seperti biasa.
Nayla menoleh, tersenyum lembut.
“Mbak masak nasi goreng sama telur ceplok. Nanti kita sarapan bareng, ya. Mas Dio mana?” tanyanya sambil tetap mengaduk nasi di wajan.
“Mas Dio masih siap-siap di kamar,” jawab Lili polos, lalu duduk di lantai beralaskan tikar anyaman. Ia memeluk boneka kelincinya sambil menatap kakaknya penuh kagum.
Beberapa menit kemudian, aroma nasi goreng menguar memenuhi ruangan kecil itu. Setelah mereka selesai sarapan bersama, Dio berangkat ke sekolah lebih dulu. Nayla kemudian mengantar Lili ke daycare sebelum melanjutkan langkahnya ke tempat kerja.
Di tempat kerja, Nayla langsung berganti seragam dan mengambil kain pel serta serbet. Rutinitasnya sebagai cleaning service dimulai seperti biasa.
“Wah, beberapa hari nggak masuk kerja, wajahmu jadi keliatan segar banget, Nay!” goda Rani, teman kerjanya yang lebih tua, sambil tertawa kecil.
Nayla tersenyum malu. “Mbak Rani bisa aja…” ucapnya sambil terus mengepel lantai ruang rapat.
“Eh, tapi beneran, loh,” lanjut Rani sambil mengelap meja.
“Aku dengar dari Pak Joni, adikmu sempat sakit, ya?”
“Alhamdulillah, sudah sembuh. Sekarang malah sudah mulai sekolah lagi,” jawab Nayla dengan senyum tulus yang jarang ia tunjukkan.
“Syukurlah,” ujar Rani tulus.
Belum sempat mereka melanjutkan obrolan, suara langkah sepatu berhak terdengar mendekat. Seorang wanita berpenampilan elegan berhenti di ambang pintu, sekretaris pribadi Pak Elvino.
“Kamu Nayla, kan?” tanyanya dengan nada datar.
“Iya, saya Nayla,” jawab Nayla sopan.
“Pak Elvino minta kamu buatkan kopi untuk beliau.”
Nayla dan Rani sontak saling berpandangan. Itu hal yang aneh. Biasanya sekretaris-lah yang membuat kopi untuk sang atasan, bukan petugas kebersihan.
“Cepat, jangan lama,” tambah sekretaris itu sebelum pergi meninggalkan mereka.
Rani menatap Nayla dengan senyum geli.
“Wah, Nay… kayaknya kamu spesial, deh. Baru kali ini aku denger bos minta kopi langsung dari cleaning service.”
Nayla tertawa canggung. “Mungkin Mbak Sekretaris lagi sibuk.”
Namun hatinya berdebar tanpa alasan yang jelas.
Beberapa menit kemudian, Nayla berdiri di depan pintu ruangan besar bertuliskan.
“CEO — Elvino Dirgantara.” Nampan berisi secangkir kopi hangat ia genggam erat.
Ia mengetuk perlahan.
Tok… tok…
“Masuk.” Suara berat dan tegas itu terdengar dari dalam.
Nayla menarik napas dalam sebelum membuka pintu. Pandangannya langsung tertuju pada sosok pria tampan berjas rapi yang sedang fokus pada tumpukan dokumen di atas meja.
Begitu pintu terbuka, Elvino menoleh. Tatapannya langsung bertemu dengan Nayla, sejenak waktu seakan berhenti di antara mereka.
“Oh, kamu…” ucapnya pelan.
“Ini, Pak, kopinya,” ujar Nayla sopan sambil meletakkan cangkir di atas meja.
Namun Elvino tidak segera mengambilnya. Ia justru terus menatap wajah Nayla dengan tatapan yang sulit diartikan. Tatapan yang dalam, tenang, namun penuh sesuatu yang membuat Nayla salah tingkah.
“Kenapa Bapak lihat saya seperti itu?” tanyanya pelan, menunduk, mencoba menyembunyikan pipinya yang mulai memanas.
Elvino tersenyum tipis. “Kenapa wajahmu seperti itu?”
Refleks, Nayla meraba wajahnya.
“Wajah saya kenapa, Pak? Ada yang salah?”
Elvino menggeleng perlahan.
“Nggak, bukan salah. Cuma… ada yang aneh.”
Nayla menatap bingung. “Aneh gimana, Pak?”
“Iya. Coba deh, kamu senyum,” pinta Elvino datar namun penuh makna.
Nayla menatap bingung, tapi akhirnya menuruti permintaannya. Ia tersenyum kecil, canggung.
“Sudah, Pak. Sekarang masih aneh?” tanyanya, mencoba memastikan.
Elvino menatapnya lama, lalu bersandar di kursinya.
“Masih aneh,” katanya serius.
“Apanya, Pak?” Nayla mulai panik.
“Wajahmu,” ucap Elvino sambil tersenyum samar.
“Kelihatan lebih cantik dari sebelumnya.”
Sekejap, Nayla terdiam. Jantungnya berdegup lebih cepat, wajahnya langsung memerah. Ia memeluk nampan di dada, menunduk dalam, tak berani menatap pria itu lagi.
“S… saya permisi, Pak,” katanya buru-buru, lalu berbalik menuju pintu.
Elvino hanya menatap punggungnya yang menjauh dengan tawa kecil di ujung bibirnya. Ada sesuatu dalam diri Nayla yang membuatnya tak bisa berhenti memperhatikan gadis itu, kesederhanaannya, ketulusannya, dan senyum hangat yang entah kenapa terasa lebih berharga dari semua hal yang ia miliki.
Saat pintu tertutup, Elvino bersandar di kursinya.
Tangannya mengambil cangkir kopi yang tadi dibawa Nayla, dan menyesapnya perlahan.
Hangat, sedikit pahit, tapi justru itu yang membuat rasa kopi ini sepesial.
Ia tersenyum kecil.
“Sepertinya aku mulai ketagihan, bukan cuma sama kopinya…” gumamnya pelan, sebelum menatap ke arah pintu yang baru saja ditinggalkan Nayla.
Di luar ruangan, Nayla menempelkan punggungnya pada dinding koridor, mencoba menenangkan degup jantungnya. Pipinya masih terasa panas, dan entah kenapa senyum kecil tersungging di bibirnya. Ia tahu tatapan pria itu barusan telah meninggalkan sesuatu yang sulit ia jelaskan.
sebuah rasa yang tak pernah ia duga akan tumbuh di antara dua dunia yang begitu berbeda.
merajukkk aja biar elvino ketar-ketir buat merayu nayla😍🤭🤭