Ketika cinta pertama kembali di waktu yang salah, ia datang membawa hangatnya kenangan sekaligus luka yang belum sembuh.
Nora tak pernah menyangka masa lalu yang sudah ia kubur dalam-dalam muncul lagi, tepat saat ia telah memulai kisah baru bersama Nick, pria yang begitu tulus mencintainya. Namun segalanya berubah ketika Christian—cinta pertamanya—kembali hadir sebagai kakak dari pria yang kini memiliki hatinya.
Terjebak di antara masa lalu dan cintanya kini, sanggupkah Nora memilih tanpa melukai keduanya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Yellow Sunshine, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kencan yang Tidak Biasa
Udara musim gugur menyelinap dari jendela yang sedikit terbuka ketika aku melangkah ke lorong asrama. Embun tipis masih melekat di dedaunan pohon mapel yang menjuntai di halaman. Aroma tanah basah setelah semalam hujan ringan masih terasa samar, bercampur dengan wangi kopi yang entah dari mana asalnya. Aku memeluk tubuhku sendiri, mengenakan sweater krem tebal, dan menapaki lorong menuju kamar Sarah dengan langkah pelan. Hari ini hari libur kuliah, dan aku sengaja membiarkan pagi datang tanpa terburu-buru.
Begitu pintu kamar Sarah terbuka, hangat sekaligus wangi menyergapku. Bukan sekadar hangat karena heater asrama yang bekerja, melainkan juga kehangatan khas rumah yang jarang sekali kutemukan di sini. Meja belajarnya penuh dengan piring-piring kecil berisi pancake, omelet, salad buah dalam mangkuk kaca, serta teko teh yang masih mengepulkan uap tipis.
“Nora, tepat waktu.”, ujarnya riang. “Semuanya sudah selesai. Duduklah, Sebentar lagi Nina akan datang.”
Aku mengamati meja itu. Pancake bertumpuk dengan sirup mapel yang mengkilap di atasnya, omelet keemasan dengan keju yang meleleh, dan salad buah berwarna-warni yang seperti mengikat kembali ingatan musim panas yang baru lewat. Ada apel merah, potongan pir, anggur ungu yang masih segar. Di sampingnya, dua mug kopi dan satu teko teh hangat menunggu untuk disentuh.
“Sarah… ini serius? Kamu bangun pagi-pagi hanya untuk membuat semua ini?”, tanyaku takjub.
Dia terkekeh, menepuk-nepuk celemek yang sudah kotor oleh noda tepung. “Roommate-ku sedang pulang ke rumahnya. Jadi kamarku kosong. Rasanya sayang kalau tidak dipakai jadi—yah, katakan saja—café darurat.”
Aku tertawa pelan, merasa nyaman dengan cara Sarah membuat suasana selalu hangat. Beberapa menit kemudian, pintu diketuk lagi, dan Nina masuk dengan gaya khasnya— sweater oversized warna pastel, kamera tergantung di leher meski tidak ada acara fotografi hari itu. “Wah, serius, Sarah? Aku pikir kamu hanya bercanda ketika bilang sarapan spesial.”
Kami pun bertiga akhirnya duduk melingkar. Pancake berpindah ke piring, sendok bergantian menelusuri salad buah. Obrolan ringan bergulir, tawa pecah beberapa kali. Di luar jendela, angin musim gugur membawa dedaunan jatuh perlahan, seperti hujan yang disulam dari warna kuning, jingga, dan merah.
Saat suasana mulai nyaman, Nina mencondongkan tubuhnya ke arahku. Matanya menyipit nakal. “Jadi, Nora… ada kejadian menarik apa di kantin kemarin?”
Aku spontan menunduk, menusuk potongan apel dengan garpu untuk menyembunyikan senyumanku. “Bagaimana kamu tahu? Seingatku, aku belum bercerita apapun tentang kemarin.”
Sarah langsung bersuara sambil mengunyah omelet. “Ayolah, Nora! Jangan bilang kamu lupa bahwa kekasihmu itu pria populer di kampus. Yah, bisa dibilang setiap gerak-gerik kalian di kampus pasti banyak yang mengawasi.”
"Kamu berhutang cerita pada kami, Nora. Tentu saja kami tahu Alice pergi dengan wajah kesalnya setelah menghampiri kalian. Semua orang membicarakannya. Tapi, aku ingin kamu menceritakan apa yang sebenarnya terjadi di kantin siang itu.", sahut Nina, tak sabaran.
Aku mendesah, tapi tidak bisa menahan senyum kecil di bibirku. “Nick hanya… berusaha menepati janjinya. Itu saja.”
“Hmm, jadi Nick sudah menentukan batasan pada perempuan gila itu?” Nina menekankan kata ‘batasan’ dalam kalimatnya. “Nick benar-benar jatuh cinta padamu, Nora. Dia sudah membuktikannya kemarin."
Aku terdiam, tersipu malu. Mengingat bagaimana Nick menyebutku sebagai kekasihnya secara jelas di hadapan Alice. Bahkan mungkin para mahasiswa di sekitar kami juga bisa mendengarnya.
"Hmm, ada apa, Nora? Wajahmu memerah begitu. Apa yang sedang kamu pikirkan?", goda Sarah.
"Jangan-jangan kamu membayangkan...", sahut Nina, ikut menggodaku.
"Tidak, Nina! Buang jauh-jauh pikiran kotormu itu!", sergahku.
Kami bertiga pun tertawa, dan aku merasa ruangan Sarah tiba-tiba lebih kecil, lebih intim, dipenuhi energi hangat khas persahabatan. Aku tahu mereka hanya bercanda, tapi di balik gurauan itu ada kejujuran— dukungan mereka yang nyata. Dukungan untuk sesuatu yang bahkan aku sendiri masih belajar mengakuinya—perasaan yang kian hari kian tumbuh pada Nick.
Obrolan berlanjut ke topik-topik ringan. Tentang dosen yang terlalu banyak memberi tugas, tentang rencana kecil Sarah untuk menulis artikel di koran kampus, tentang Nina yang ingin hunting foto dedaunan gugur di taman universitas. Hingga tiba-tiba, di tengah semua itu, ponselku berdering di atas meja.
Nada deringnya membuat dua pasang mata langsung melirik ke arahku. Di layar, jelas tertulis sebuah nama—Nick.
“Ohhh…”, Nina langsung bersuara panjang. “Look who’s calling.”
Aku buru-buru meraih ponsel itu, tapi Sarah sudah lebih dulu menepuk-nepuk meja, berteriak kecil seperti penonton konser. “Angkat, cepat! Jangan sampai pangeranmu menunggu.”
Aku menelan ludah, menekan tombol hijau, dan menyapanya pelan. “Halo, Nick?”
Suara di seberang terdengar rendah, serak manis, membuat jantungku bergetar. “Hai, Nora! Maaf mengganggu pagimu. Aku sedang menjalankan shift pagi di bar. Malam nanti… kalau kamu tidak sibuk, boleh aku menjemputmu?”
Hening. Aku benar-benar terdiam beberapa detik, antara tidak percaya dan terlalu terkejut.
“Malam ini?”, tanyaku lirih.
“Iya. Aku hanya ingin menghabiskan waktu denganmu. Apa kamu bersedia?”
Pipiku rasanya panas. Jantungku berdebar sampai rasanya ingin melompat dari dadaku. Aku hampir lupa sedang ada Sarah dan Nina di ruangan yang sama, memperhatikan setiap kata. “Tentu,” jawabku akhirnya, suara nyaris bergetar. “Aku mau.”
Nick tertawa pelan di seberang, lega. “Baiklah, aku akan menjemputmu pukul enam. Sampai jumpa nanti malam, Nora!”
Telepon terputus, tapi aku masih mematung dengan ponsel di tangan. Saat aku menoleh, dua sahabatku sudah menatapku dengan ekspresi penuh kemenangan.
“Wah, akhirnya kalian berkencan lagi.", kata Sarah, tersenyum lebar.
“Sebuah malam yang... panas.”, Nina menimpali dengan nada menggoda. “Astaga, aku sudah bisa membayangkan kalian duduk berdua di bawah lampu temaram, saling pandang, lalu—”
Aku melemparkan bantal kecil ke arahnya. “Berhenti! Kalian membuatku semakin gugup.”
Tapi mereka tidak berhenti. Justru semakin menggoda. Sarah berdiri lalu pura-pura berperan jadi Nick, menatapku dengan sorot mata dramatis. Nina memeluk lengannya sambil berkata, “Nora, kamu adalah satu-satunya daun mapel di musim gugurku.”
Tawaku meledak, bercampur malu, bercampur gugup yang manis. Aku menutup wajah dengan kedua tangan, tapi tidak bisa menyembunyikan senyumku. Aku merasa seperti remaja lagi, seperti gadis kecil yang sedang jatuh cinta untuk pertama kalinya.
Pagi ini, di kamar Sarah, dengan pancake yang hampir dingin dan salad buah yang sudah separuh habis, aku menyadari sesuatu— kadang kebahagiaan tidak perlu hal besar. Cukup sarapan sederhana bersama sahabat, cukup satu panggilan telepon singkat, cukup keyakinan bahwa ada seseorang di luar sana yang ingin meluangkan waktu hanya untuk bersamaku.
Dan musim gugur ini—yang biasanya selalu kuhubungkan dengan kehilangan—untuk pertama kalinya terasa seperti awal.
Lalu, sore ini, kamar asrama terasa seperti panggung kecil untuk drama yang hanya dimainkan oleh tiga gadis. Cahaya jingga musim gugur menembus tirai tipis, melukis bayangan panjang di lantai. Aku duduk di kursi dekat jendela, mencoba bersikap santai sambil menatap dedaunan yang jatuh satu per satu. Tapi kenyataannya—tanganku dingin, telapak tanganku basah. Gugup. Seperti gadis yang menunggu pesta dansa pertama dalam hidupnya.
“Malam ini, Nick pasti tidak akan bisa memalingkan pandangannya sedetikpun darimu.”, suara Nina memecah lamunanku. Ia berdiri di depan lemari pakaianku, wajahnya serius seakan sedang memilih kostum untuk pemotretan penting. Tangannya menyibak satu per satu sweater, blus, dan gaun sederhana milikku. “Malam ini aku akan membuatmu terlihat memukau.”
Sarah duduk di ranjangku, menopang dagu dengan tangan. Senyumnya jahil, matanya berkilat penuh rencana. “Bukan hanya memukau. Kamu harus membuat Nick tidak bisa berkutik malam ini.”
Aku menghela napas, setengah malu, setengah pasrah. “Kalian berlebihan. Ini hanya… kencan biasa.”
“Biasa?”, Nina menoleh dengan dramatis, alisnya terangkat. “Dia menjemputmu. Malam minggu. Pukul enam tepat. Itu definisi dari kencan yang sempurna, Nora.”
Aku ingin membantah, tapi tidak bisa. Ada denyut kecil di dadaku yang membenarkan kata-kata mereka. Aku hanya bisa menunduk, meremas ujung sweater yang kukenakan.
Setelah hampir setengah jam perdebatan, akhirnya mereka sepakat dengan satu pilihan— dress rajut warna gelap yang jatuh selutut, dipadukan dengan mantel berwarna krem tipis yang cocok untuk angin musim gugur. Sarah dengan cekatan menata rambutku, membiarkannya tergerai lembut dengan sedikit ikal di ujungnya. Sementara Nina menambahkan riasan ringan di wajahku—sekadar blush tipis, eyeliner halus, dan lipstik warna mawar pucat.
Ketika aku menatap bayanganku di cermin, aku hampir tidak mengenali diriku sendiri. Ada cahaya lembut di mataku, ada senyum yang sulit kucegah muncul.
“Kamu cantik sekali,” ucap Sarah lirih, setengah kagum.
“Nick akan jatuh cinta untuk kedua kalinya,” tambah Nina, menyeringai puas.
Aku hanya bisa menutup wajah dengan kedua tangan, menahan rasa malu yang berubah jadi tawa kecil.
Tepat pukul enam, suara getar ponselku yang biasanya lirih kini terdengar begitu lantang. Sebuah pesan masuk–dari Nick—memberitahuku bahwa ia sudah tiba di depan asrama. Aku merasakan jantungku meloncat, seolah aku sendiri yang sedang diseret keluar oleh suara itu. Nina buru-buru menyibak tirai, lalu menoleh padaku dengan wajah penuh sensasi. “Dia datang.”
Sarah segera menarik tanganku, menyelipkan parfum lembut di pergelangan tangan. “Selamat menikmati kencan malam ini, Nora.”, katanya.
"Bersenang-senanglah! Mungkin malam ini akan menjadi malam yang panjang dan panas untukmu, Nora.", sahut Nina, tersenyum menggoda.
Dengan napas berdebar, aku melangkah keluar. Angin sore membawa aroma kayu basah dan dedaunan kering. Di depan, mobil Nick berhenti, tubuhnya keluar dari pintu dengan langkah tenang. Ia mengenakan jaket kulit cokelat tua di atas kaos sederhana, rambutnya sedikit berantakan tapi justru membuatnya terlihat semakin menawan.
Ketika matanya menemukan sosokku, aku melihat senyum perlahan merekah di wajahnya. Senyum yang tidak berlebihan, tapi cukup untuk membuatku hampir kehilangan pijakan.
“Hai!”, sapanya pelan, seolah dunia hanya terdiri dari kata itu.
“Hai!”, jawabku, berusaha menahan degup jantung yang menggila.
Nick membukakan pintu untukku, lalu kami pun berangkat. Jalanan sore dipenuhi cahaya lampu yang baru dinyalakan, dedaunan berguguran di trotoar, dan langit perlahan memudar ke jingga. Aku berpikir ia akan membawaku ke sebuah restoran atau kafe, tapi ternyata mobil berhenti di sebuah supermarket besar di pinggir kota.
Aku menoleh bingung. “Supermarket?”
Nick menoleh sekilas, bibirnya melengkung nakal. “Ya. Kenapa? Apa kamu kecewa, Nora?”
Aku terkekeh, meski masih heran. “Aku hanya... tidak menduga.”
“Percayalah!” katanya sambil turun dari mobil, “Terkadang momen paling berkesan justru datang dari hal-hal sederhana.”, katanya, tersenyum hangat kepadaku.
Kami masuk ke supermarket yang hangat dan terang, berbeda dengan dingin sore di luar. Nick mengambil keranjang, lalu mendorongnya di antara lorong-lorong penuh warna—sayuran hijau, buah segar, roti yang baru dipanggang.
“Apa yang sebenarnya kamu rencanakan, Nick?”, tanyaku sambil memperhatikan dia berhenti di depan rak pasta.
Nick menoleh, menatapku dengan sorot mata serius tapi hangat. “Aku ingin memasak sesuatu yang spesial untukmu malam ini.”
Kata-kata itu membuat pipiku kembali panas. Aku hanya bisa mengangguk, menutupi gugup dengan pura-pura sibuk melihat tomat di rak sebelah.
Perjalanan belanja itu berubah jadi permainan kecil. Nick bercanda ketika aku memilih paprika terlalu lama, mengatakan aku memperlakukannya seperti sedang menyeleksi batu permata. Aku membalas dengan menaruh seikat seledri ke dalam keranjang tanpa bertanya, membuatnya mendengus pura-pura kesal.
“Kalau kamu terus menaruh apa saja, kita akan berakhir memasak sup ajaib,” katanya sambil tertawa.
Aku tersenyum, menikmati kebersamaan ini lebih dari yang kubayangkan. Bahkan ketika kami berebut siapa yang mendorong keranjang—Nick menariknya ke arahnya, aku mendorong dari belakang—tawa kami bergema di lorong supermarket, membuat beberapa orang menoleh dengan senyum simpul.
Setelah hampir satu jam, keranjang pun sudah penuh dengan bahan makanan. Saat keluar dari kasir, aku merasakan sesuatu yang berbeda. Bukan sekadar belanja, tapi semacam latihan kecil menjadi “kami”—dua orang yang berbagi keranjang, berbagi pilihan, berbagi tawa.
Dalam perjalanan ke rumahnya, aku menatap kantong belanjaan yang terisi penuh di bagasi belakang. “Kamu serius akan memasak semua ini malam ini?” tanyaku, setengah ragu.
Nick hanya tersenyum, matanya menatap jalan. “Aku serius. Untukmu, aku bisa memasak apapun.”
Kata-kata itu membuatku terdiam, menatapnya dengan hati yang bergetar. Di luar, langit sudah berubah menjadi biru gelap, dan lampu kota mulai berpendar seperti bintang-bintang kecil. Aku tahu malam ini akan berbeda.
Malam yang mungkin akan terukir lama dalam ingatan.