NovelToon NovelToon
PENGUASA YANG DIHINA, SULTAN YANG DIRAGUKAN

PENGUASA YANG DIHINA, SULTAN YANG DIRAGUKAN

Status: sedang berlangsung
Genre:Spiritual / Matabatin / Crazy Rich/Konglomerat / Raja Tentara/Dewa Perang
Popularitas:703
Nilai: 5
Nama Author: Andi Setianusa

Ia adalah Sultan sebuah negeri besar bernama NURENDAH, namun lebih suka hidup sederhana di antara rakyat. Pakaian lusuh yang melekat di tubuhnya membuat orang menertawakan, menghina, bahkan merendahkannya. Tidak ada yang tahu, di balik sosok sederhana itu tersembunyi rahasia besar—ia memiliki kekuatan tanpa batas, kekuatan setara dewa langit.

Namun, kekuatan itu terkunci. Bertahun-tahun lalu, ia pernah melanggar sumpah suci kepada leluhur langit, membuat seluruh tenaganya disegel. Satu-satunya cara untuk membukanya adalah dengan menjalani kultivasi bertahap, melewati ujian jiwa, raga, dan iman. Setiap hinaan yang ia terima, setiap luka yang ia tahan, menjadi bagian dari jalan kultivasi yang perlahan membangkitkan kembali kekuatannya.

Rakyatnya menganggap ia bukan Sultan sejati. Para bangsawan meragukan tahtanya. Musuh-musuh menertawakannya. Namun ia tidak marah—ia tahu, saat waktunya tiba, seluruh negeri akan menyaksikan kebangkitan penguasa sejati.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Andi Setianusa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Cahaya Dalam Meditasi

Malam itu Nurendah terlelap dalam gelap. Hanya suara jangkrik dan sesekali gonggongan anjing liar yang pecah di antara kesunyian. Di balik sebuah rumah reyot di pinggiran kota, Sultan Al Fariz duduk bersila. Tubuhnya penuh lebam, wajahnya masih berbekas darah kering. Nafasnya tersengal, namun matanya terpejam rapat.

Udara malam menusuk dingin, tapi rasa sakit jauh lebih tajam daripada angin. Setiap kali ia menggerakkan tubuhnya sedikit saja, rasa nyeri menjalar hingga ke tulang. Namun Al Fariz tidak bergeming. Ia hanya duduk, diam, seakan dunia luar sudah ia tinggalkan.

“Aku masih hidup...” kalimat itu terus bergema di kepalanya, mengulang seperti mantra. Kata-kata itu menjadi jangkar, menahan jiwanya agar tidak tenggelam dalam lautan keputusasaan.

Dalam keheningan, ia mulai mengatur napas. Tarik perlahan, hembuskan perlahan. Udara dingin mengisi paru-parunya, kemudian keluar membawa sedikit beban dari hatinya.

Dan di sanalah ia melihatnya—bukan dengan mata kepala, melainkan mata batinnya.

Di dalam tubuhnya, di balik gelap yang pekat, berdiri sebuah dinding hitam. Tegak, kokoh, dan dingin. Dinding itu bukan dari batu, bukan dari kayu. Itu adalah segel, kutukan langit yang ia bawa sejak hari ia melanggar sumpahnya. Dulu, ia berusaha memecahkannya dengan amarah, dengan pedang, dengan doa. Tapi hasilnya selalu sama—dinding itu tetap tak tergoyahkan.

Kini, ia menatapnya lagi. Tak ada pedang di tangannya. Tak ada doa lantang keluar dari bibirnya. Yang ada hanya luka, hinaan, dan kesabaran yang terpaksa ia telan.

Al Fariz menarik napas lebih dalam. Ingatan demi ingatan mengalir: wajah para rakyat yang menunduk di pasar, mata anak kecil yang menatapnya dengan takut, tawa bengis para preman yang meludahinya, serta suaranya sendiri ketika ia berbisik, “Aku masih hidup.”

Setiap memori itu terasa seperti palu. Dan palu itu menghantam dinding segel.

Dummm!

Terdengar gema samar di dalam dirinya. Retakan kecil, tipis seperti goresan kuku, muncul di permukaan segel hitam itu.

Al Fariz terkejut. Matanya masih terpejam, tapi napasnya terhenti sesaat. “Retak...?” bisiknya lirih, hampir tak percaya.

Ia menahan rasa sakit di tubuhnya, lalu melanjutkan. Ia kembali mengingat wajah-wajah yang membebaninya. Bukan wajah bangsawan yang menghina, bukan wajah preman yang menendangnya, tapi wajah rakyat jelata yang menatapnya dengan mata hampa, penuh rasa putus asa.

“Aku bersumpah...” gumamnya lirih, hampir seperti doa yang tertelan angin malam. “Aku akan menebus dosaku. Aku akan mengangkat kembali mereka dari lumpur penderitaan ini, meski aku harus menanggung seribu hinaan lagi.”

Dummm!

Retakan lain muncul, lebih jelas dari sebelumnya. Dan dari celah kecil itu, seberkas cahaya tipis merembes keluar.

Cahaya itu bukan sekadar sinar. Ia hangat, lembut, namun penuh kekuatan. Saat menyentuh jiwa Al Fariz, tubuhnya yang penuh luka seolah sedikit lega. Nafasnya menjadi lebih ringan, hatinya lebih tenang.

Untuk pertama kalinya setelah sekian lama, ia merasakan kembali percikan kekuatan lamanya—kecil, nyaris tak berarti, tapi nyata.

Al Fariz menghela napas panjang. Bibirnya perlahan melengkung, membentuk senyum. Senyum yang tidak lahir dari kemenangan, melainkan dari keyakinan.

“Jalan ini benar...” bisiknya dalam hati, begitu pelan hingga nyaris lenyap ditelan malam. “Setiap hinaan... adalah palu. Setiap sabar... adalah pukulan. Dan aku... akan terus menanggungnya. Sampai rantai terakhir hancur.”

Di ruang sunyi itu, Sultan Al Fariz duduk bersila dengan tubuh penuh luka, namun matanya masih terpejam tenang. Dari dalam segelnya yang hitam pekat, cahaya tipis kini merembes keluar. Perjalanan baru saja dimulai, dan untuk pertama kalinya, ia merasa jalan ini akan membawanya kembali pada takdir sejatinya.

Angin malam merayap masuk lewat celah dinding bambu yang reyot, membuat lampu minyak bergoyang-goyang. Namun Al Fariz tidak bergeming. Ia tetap duduk bersila, tubuhnya nyaris tak sanggup lagi menyangga rasa sakit. Meski begitu, di dalam dirinya, sesuatu telah berubah.

Cahaya tipis yang muncul dari retakan segel itu perlahan semakin jelas. Semula hanya seperti seutas benang cahaya, kini mulai melebar, menyingkap bayangan-bayangan di sekelilingnya.

Al Fariz merasakan dirinya seperti ditarik masuk ke dalam ruang batinnya sendiri. Langkah kakinya menapak di tanah yang hitam pekat, langitnya kosong tanpa bintang. Di hadapannya menjulang dinding segel yang retak, dan dari celah itu cahaya hangat menetes, jatuh ke tanah seperti tetesan embun emas.

Ia menunduk. Setiap tetes cahaya yang menyentuh tanah hitam, segera berubah menjadi bunga-bunga kecil bercahaya. Bunga itu bergetar lembut, seolah menyambut kehadirannya.

Al Fariz menatapnya dengan mata bergetar. “Apakah ini... benih dari kekuatanku yang dulu?” gumamnya lirih.

Namun tiba-tiba, dari balik kegelapan muncul bayangan. Wujudnya samar, namun Al Fariz segera mengenalinya—bayangan dirinya sendiri. Wajahnya angkuh, penuh wibawa seorang Sultan, namun mata itu dingin dan keras.

“Aku adalah dirimu yang dulu,” suara bayangan itu bergema, berat dan penuh keangkuhan. “Aku adalah raja yang memerintah dengan pedang, dengan ketakutan, dengan darah. Kau merindukanku, bukan?”

Al Fariz terdiam. Ada bagian dalam dirinya yang memang rindu pada kejayaan itu. Ia rindu pada saat-saat semua orang tunduk, saat tidak ada yang berani menertawakan atau menghina dirinya.

Bayangan itu mendekat. “Hentikan sandiwara kesabaranmu. Balas hinaan dengan pedang. Hancurkan musuhmu, rebut kembali tahtamu dengan darah. Itulah jalanku—jalanku yang dulu adalah jalan seorang raja sejati!”

Suara itu menggema seperti guntur di dalam batin. Al Fariz mengepalkan tangan. Dadanya bergetar. Setiap kata dari bayangan itu adalah racun sekaligus godaan.

Namun sebersit cahaya dari celah segel kembali menyinari wajahnya. Hangat. Lembut. Mengingatkannya pada senyum samar seorang anak kecil di pasar, pada tatapan rakyat yang hampa namun penuh harapan tersembunyi.

Al Fariz menarik napas panjang. Ia menatap bayangan itu dengan sorot mata berbeda. “Aku memang pernah menjadi raja yang angkuh. Tapi aku tahu, jalan itu hanya membawaku pada kehancuran.”

Bayangan itu menyeringai. “Lalu apa yang bisa dilakukan seorang raja yang rela dipermalukan di hadapan rakyatnya sendiri? Apa yang bisa dipimpin seorang pengecut?”

Al Fariz terdiam sejenak. Lalu, dengan suara tegas namun tenang, ia berkata:

“Seorang raja sejati adalah ia yang mampu menanggung hinaan demi rakyatnya. Aku tidak ingin lagi memimpin dengan ketakutan. Aku akan memimpin dengan keberanian yang lahir dari kesabaran.”

Cahaya dari retakan segel mendadak berpendar lebih terang, seolah menanggapi sumpah itu. Bayangan gelap tubuhnya terdorong mundur, perlahan hancur menjadi serpihan debu hitam yang lenyap di udara.

Dalam keheningan ruang batin itu, Al Fariz merasakan tubuhnya diliputi kehangatan. Luka-luka di tubuhnya memang belum sembuh, tapi rasa sakitnya terasa lebih ringan. Ada percikan energi yang mengalir di nadinya, kecil tapi hidup.

Matanya masih terpejam, namun bibirnya melengkung tipis. Untuk pertama kalinya, ia merasa seakan beban berat yang menindih pundaknya berkurang, meski hanya sedikit.

“Aku akan menanggung semua hinaan... sampai dinding ini runtuh. Sampai cahaya kembali sepenuhnya.”

Dan di ruang sunyi malam itu, tanpa seorang pun menyadari, sebuah perjalanan kultivasi baru telah benar-benar dimulai.

Di dalam gelap, Sultan Al Fariz menemukan secercah terang. Segelnya memang belum pecah, namun untuk pertama kalinya, ia berhasil menolak bayangan dirinya yang lama. Cahaya telah lahir dari dalam kegelapan, dan itu cukup untuk menyalakan api kecil di hatinya: api yang kelak akan membakar rantai-rantai segel hingga habis.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!