Janetta Lee, dikhianati saat mengandung, ditinggalkan di jalan hingga kehilangan buah hatinya, dan harus merelakan orang tuanya tewas dalam api yang disulut mantan sang suami—hidupnya hancur dalam sekejap.
Rasa cinta berubah menjadi luka, dan luka menjelma dendam.
Ketika darah terbalas darah, ia justru terjerat ke dalam dunia yang lebih gelap. Penjara bukan akhir kisahnya—seorang mafia, Holdes Shen, menyelamatkannya, dengan syarat: ia harus menjadi istrinya.
Antara cinta yang telah mengkhianati, dendam yang belum terbayar, dan pria berbahaya yang menggenggam hatinya… akankah ia menemukan arti cinta yang sesungguhnya, atau justru terjebak lebih dalam pada neraka yang baru?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon linda huang, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 31
"Aku adalah harimau kecil. Jangan harap kau bisa mengalahkanku!" kata Xiao Han sambil mencakar wajah Willy.
"Aaahhh!" jerit Willy ketakutan. Wajahnya kini penuh bekas cakaran kecil dari kuku Xiao Han. Anak itu langsung terduduk di lantai dan menangis kesakitan.
"Dasar anak manja," ujar Xiao Han sambil mendorong tubuh lawannya hingga terkapar di lantai.
Di saat yang sama, Jay Lin dan Janny, bersama orang tua teman Willy, masuk ke ruang kelas. Mereka terkejut melihat anak-anak mereka terluka dan menangis.
"Willy! Ada apa dengan wajahmu?" tanya Janny panik sambil berjongkok di samping putranya.
"Mama… Papa… dia mencakar wajahku!" tangis Willy keras, menunjuk Xiao Han.
"Hei! Kau yang menyerangku dulu. Kenapa aku yang disalahkan?" balas Xiao Han dengan mata memerah.
"Shen Xiao Han, kau benar-benar kurang ajar! Kau harus dikeluarkan dari sekolah ini!" bentak ibu dari salah satu teman Willy.
Beberapa guru bergegas masuk setelah mendengar keributan.
"Apa yang terjadi di sini?" tanya salah satu guru dengan wajah tegang.
"Ibu guru, mereka yang menyerangku dulu!" jelas Xiao Han cepat. "Willy ingin memukulku dengan besi, dan temannya mencoba merobek pakaianku!" katanya sambil menunjukkan seragamnya yang robek di bagian bahu.
"Dasar anak sialan!" bentak Janny tiba-tiba, lalu menampar keras pipi Xiao Han.
Plak!
Tamparan itu begitu kuat hingga tubuh kecil Xiao Han terhuyung jatuh ke lantai. Di sudut bibirnya muncul garis darah tipis, dan pipinya memerah dengan bekas tangan wanita itu.
"Nyonya! Anda tidak boleh bertindak kasar terhadap murid kami!" seru guru Xiao Han sambil bergegas menolong anak itu.
Xiao Han memegang pipinya yang perih. Namun alih-alih menangis, ia menatap tajam ke arah Janny—tatapan dingin yang sama seperti milik ayahnya.
"Pantasan saja anak kalian tidak sopan," katanya pelan tapi tegas. "Ternyata kalian, orang tuanya, juga tidak punya pendidikan."
"Ulangi apa yang kau katakan!" bentak Janny.
"Anak siapa dia? Kenapa tidak jadi preman saja," ujar ibu Joy.
"Panggil orang tuanya ke sini! Mata anakku sampai terluka karena dia. Kami akan membuat perhitungan dengannya," kata ayah Joy.
Janetta melangkah masuk dan segera menghampiri kerumunan orang tua yang marah. Ia menunduk ke arah Xiao Han. "Xiao Han, siapa yang menamparmu?" tanyanya tegas.
"Mama, dia yang menamparku. Mereka berdua menyerangku," jawab Xiao Han sambil menunjuk Willy dan Joy, temannya.
"Nyonya, maaf atas kejadian ini. Kami akan mengambil tindakan terhadap mereka yang menyerang Xiao Han," ujar guru yang mendampingi Willy dengan nada menenangkan.
Janetta menatap ke arah guru dengan dingin. "Sebagai guru, kalian gagal mengawasi murid dengan baik. Ini bukan pertama kali ... apa tindakan kalian? Apa gunanya biaya yang kami bayar jika anakku terus ditindas?" suaranya tegas, lalu melangkah mendekati Janny.
"Kau menampar anakku?" tanya Janetta.
"Iya. Lalu kenapa? Anakmu yang mencakar wajah Willy," sahut Janny.
Janetta tidak menunggu lama. Dengan gerakan cepat ia menampar pipi kiri Janny — plak! — lalu menampar pipi kanannya sekali lagi. Tamparan yang kuat membuat wanita itu tersungkur; darah tipis keluar di sudut bibirnya.
"Janny!" seru Jay yang terkejut.
"Kalian sebagai orang tua gagal mendidik anak kalian. Yang preman itu anak kalian. Perlukah aku turun tangan memberi pelajaran pada kalian?" tanya Janetta dingin, menatap tajam pada orang tua Willy dan Joy.
"Lalu, bagaimana dengan mata anakku? Kalau saja dia jadi buta! Apakah kau mau bertanggung jawab?" ujar ibu Joy dengan panik.
Janetta melangkah mendekat, suaranya tetap dingin. "Anak kalian datang ke kelas anakku dan menyerang anakku. Sebagai korban, tidak ada salahnya anakku membela diri. Kalau kalian tidak puas, bagaimana kalau aku yang mendidik anak kalian?"
Ayah Joy yang tidak tahan lagi mencoba menampar Janetta, namun tangannya ditahan cepat oleh Janetta. "Kau pemilik studio di Hebei, bukan? Percaya atau tidak, aku bisa membuat studiomu tutup," ancam Janetta sambil mengeluarkan ponselnya.
"Dasar wanita sombong!" bentak ayah Joy.
Janetta mengangkat ponselnya. "Halo. Aku Janetta Lee. Anakku ditampar oleh wanita yang tidak waras. Aku ingin melaporkan kasus kekerasan ini. Dua murid yang menyakiti anakku harus bertanggung jawab," katanya dan memutuskan melakukan panggilan.
"Siapa yang kau hubungi?" tanya Jay gugup.
"Polisi. Tindak kekerasan harus diadili," jawab Janetta tegas. "Anak kalian akan kuadili sampai tuntas."
"Nyonya, kalau masalah ini sampai tersebar, itu akan merusak nama baik sekolah kami," kata guru yang panik mencoba menenangkan suasana.
"Nama baik sekolah? Biaya tahunan kami selalu bayar sesuai aturan, tapi kalian bahkan tidak bisa melindungi anakku. Hari ini anakku ditampar — bagaimana kalau besok lebih parah? Setelah kejadian ini aku akan menarik anakku dan memindahkannya ke sekolah lain. Dan tentu saja, orang tua pembully tidak akan lolos dari hukum," Janetta menutup pembicaraan dengan ancaman tegas, napasnya teratur namun mata tetap dingin.
"Kita selesaikan saja di sini, tidak perlu sampai ke pengadilan," kata Jay dengan nada menahan emosi.
"Takut? Seorang laki-laki takut?" balas Janetta tajam. "Kalau kau bisa mengawasi anak dan istrimu, hal seperti ini tidak akan terjadi hari ini! Aku akan meminta bukti visum dari dokter, dan itu akan menjadi bukti kekerasan bahwa istrimu telah menyakiti anakku dengan sengaja!"
Janetta segera menggendong Xiao Han, lalu melangkah pergi.
"Xiao Han, mari kita ke rumah sakit," ucap Janetta lembut sambil menenangkan anaknya.
"Iya, Ma," jawab Xiao Han pelan.
***
Beberapa saat kemudian, Janetta bersama Xiao Han dan lainnya tiba di departemen kepolisian Tiongkok.
Suara tangisan Xiao Han terdengar menggema di dalam ruang kantor polisi itu.
"Kakek, ini tidak adil bagiku! Lihatlah wajah tampanku terluka, ada bekas tamparan dari bibi itu. Anaknya menyerangku, tapi dia malah menyalahkanku! Aku tidak berani kembali ke sekolah. Aku... aku putuskan untuk belajar di rumah saja!" ucap Xiao Han sambil menangis tersedu, memeluk kaki kapten Yi.
Janetta menatap putranya dengan ekspresi heran.
“Sejak kapan anak ini pintar berakting? Tadi dia masih bisa tertawa, sekarang di depan Kapten Yi malah menangis seolah-olah jadi korban,” batinnya kesal.
“Shen Xiao Han, duduklah. Kakek akan mengadili kasus ini,” ujar Kapten Yi dengan nada tenang. Ia sudah lama mengenal sifat Xiao Han yang suka mencari perhatian.
“Kakek, aku ketakutan... mereka semua galak padaku. Aku trauma. Tolong lindungi aku, Kakek!” isak Xiao Han, suaranya parau penuh drama.
“Iya, iya, tenang saja. Kakek akan melindungimu,” jawab Kapten Yi sambil menghela napas panjang. Dalam hatinya ia bergumam, “Bocah ini selalu pintar berulah. Biasanya dia yang melukai orang lain, sekarang dia mengunakan kesempatan ini untuk menyalahkan mereka.”
“Inspektur Yi, aku juga ingin menuntut wanita itu yang telah menamparku!” seru Janny dengan nada tinggi.
Inspektur Yi menatap semua pihak dengan wajah serius. “Apa kalian semua belum cukup? Masalah anak-anak saja sampai dibawa ke kantor polisi. Kenapa kalian sebagai orang tua tidak bisa mengawasi anak kalian? Masih kecil saja sudah saling menindas,” katanya tegas.
Ia kemudian menatap Jay dan Janny, secara bergantian, lalu menyerahkan selembar dokumen.
“Tanda tangani di sini, sebagai pengakuan. Hasil visum dari Shen Xiao Han menunjukkan adanya luka akibat tindakan kekerasan. Untuk tindakan selanjutnya, kasus ini akan diproses di pengadilan,” ucap Inspektur Yi dengan nada resmi.
“Inspektur Yi, lalu bagaimana dengan anak kami? Matanya hampir saja menjadi buta!” ujar ayah Joy dengan suara gemetar penuh emosi.
Inspektur Yi menatap pria itu dingin tapi tegas. “Kejadian ini korban utamanya adalah Shen Xiao Han. Dari keterangan saksi dan visum yang masuk, ia membela diri. Kalau tidak mau terluka, kenapa suka menindas orang lain terlebih dahulu?” jawabnya lugas.
"Kalau Papa tahu masalah ini, aku pasti akan dibunuh," batin Jay dengan wajah pucat. Keringat dingin mengalir di pelipisnya, ia tampak gelisah dan tak berani menatap siapa pun.
Tak lama kemudian, suara langkah sepatu kulit terdengar keras di lorong. Semua mata menoleh ke arah pintu. Saat pintu terbuka, seorang pria berjas hitam dengan aura dingin melangkah masuk. Tatapannya tajam, setiap gerakannya membawa tekanan yang membuat udara di ruangan terasa berat.
Tatapan itu membuat Jay Lin yang melihatnya langsung merinding. Wajahnya berubah tegang, seolah mengenali siapa sosok yang baru datang itu.
"Siapa dia?" batin Jay dalam hati, jantungnya berdetak cepat.
"Istriku! Xiao Han!" seru Holdes dengan suara berat dan tegas, langkahnya langsung menghampiri anak yang duduk di kursi.
"Papa!" seru Xiao Han dengan mata yang berkaca-kaca, lalu berlari memeluk ayahnya.
"Holdes!" sahut Janetta lega, namun masih menahan amarah di wajahnya.
Jay Lin terpaku di tempatnya.
“Holdes? Apakah dia adalah Holdes Shen? Anak ini namanya Shen Xiao Han… artinya dia adalah anak Holdes Shen?” batin Jay panik.
Wajahnya langsung pucat pasi. “Gawat! Kalau Papa tahu Janny menyinggung musuhnya, bisa saja Janny akan diusir. Aku dan Willy akan dihukum,” gumamnya lirih dengan ketakutan yang makin jelas di matanya.
up lg dobel2.... lagii
semangatt thorr
Klo bnr wahh perang bathin si Holdes 🤭🤭🤭