Menjadi seorang Guru adalah panggilan hati. Dengan gaji yang tak banyak, tetapi banyak amanah. Itulah pilihan seorang gadis bernama Diajeng Rahayu. Putri dari seorang pedagang batik di pasar Klewer, dan lahir dari rahim seorang ibu yang kala itu berprofesi sebagai sinden, di sebuah komunitas karawitan.
Dari perjalanannya menjadi seorang guru bahasa Jawa, Diajeng dipertemukan dengan seorang murid yang cukup berkesan baginya. Hingga di suatu ketika, Diajeng dipertemukan kembali dengan muridnya, dengan penampilan yang berbeda, dengan suasana hati yang berbeda pula, di acara pernikahan mantan kekasih Diajeng.
Bagaimana perjalanan cinta Diajeng? Mari kita ikuti cerita karya Dede Dewi kali ini.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dede Dewi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Rival?
Raka telah tiba di pintu masuk cemoro kandang. Dia akan memulai pendakiannya dari tempat itu, meski bau masakan terasa begitu nikmat di sekitar pintu masuk, tetapi perutnya tak terasa lapar. Raka memandang jauh ke pemandangan dibawah sana. Karier Hanan masih setia di punggungnya, menanti ada serombongan pendaki yang akan naik sambil menunggu waktu Isya' tiba.
Adzan isya' telah berkumandang dari sebuah masjid ikonik yang bernama masjid Jabbal Lawu. Kubahnya yang indah, menarik perhatian Raka yang hendak menunaikan sholat isya' empat rakaat.
Dilepasnya karier Hanan, dan sepatunya. Raka melinting celana dan jaket Hanan juga. Mengambil air wudlu, dimulai dari mencuci tangannya sambil berdoa, membersihkan area mulut dengan berkumur dan mencuci hidung dan muka. Raka menikmati semua gerakan wudlunya dengan air yang dingin di puncak Lawu itu. Perlahan dia melepaskan segala beban di dadanya yang tadi terasa sesak. Kemudian Raka melangkah masuk ke dalam masjid sambil melafalkan doa masuk masjid. Menunaikan dua rakaat sholat tahiyatul masjid, berdzikir, dan kemudian terdengar iqomah. Raka berdiri masuk dakam shaf sholat jamaah, semua gerakan dia ikuti dengan tuma'ninah, hingga akhirnya salam.
Setelah sholat, Raka membuka ponselnya, ternyata sudah tidak ada sinyal, tetapi balasan pesan dari Nisa baru sempat dia buka.
'Ya mas, hati-hati' jawaban dari adiknya ketika Raka pamit belum bisa pulang malam ini.
Raka melihat, ada rombongan pendaki siap memasuki pintu masuk ke puncak lawu. Raka mengikuti mereka dan mendekati salah seorang diantaranya.
"Maaf mas, boleh saya gabung? Kebetulan, saya sendiri." tanya Raka.
"Oh, ya mas, boleh." jawab orang itu.
Raka dan rombongannya naik ke cemoro kandang, dengan berhati-hati karena tadi sempat hujan. Mereka mengurus perijinan terlebih dahulu di posko, barulah mereka melanjutkan perjalanan menuju puncak.
Tengah malam, mereka akhirnya tiba di puncak. Raka membentangkan tendanya, begitupun dengan pendaki yang lain. Malam itu, semua pendaki yang membersamainya tertidur lelap di tenda masing-masing. Namun, tidak dengan Raka. Dia masih belum bisa tidur, kemudian Raka keluar dari tenda dan mendekati api unggun yang sudah tinggal meninggalkan baranya saja.
Raka termenung, meratapi yang baru saja terjadi. Namun dia bukan tipe laki-laki yang mudah menampakkan air matanya di depan orang lain, sehingga dia berusaha menghindar dari semua itu. Raka tergugu dalam dinginnya malam. Menatap langit yang gelap, menggosok-gosok kedua telapak tangannya, berharap mendapat kehangatan dari sana.
"Mas..." sapaan pelan dari belakang tubuhnya, memegang pundak Raka dengan perlahan, namun berhasil membuat Raka terkejut hingga sempat melonjak saking kagetnya.
"Ya?" jawab Raka terheran-heran.
"Mas ini...yang waktu itu pernah menyelamatkan bu Ajeng dari begal 'kan?" tebaknya.
Raka tak langsung menjawab, dia mencoba mengingat wajah laki-laki itu dengan seksama dan dalam kurun waktu yang sesingkat singkatnya.
"Oh, ya. Saya ingat, anda yang sudah menolong saya dari bacokan si begal itu ya? Mas Hari?" tanya Raka mencoba menebak.
"Yap, betul mas." jawab Hari sambil menjentikkan jarinya lalu melangkahkan kakinya di gelondong kayu yang diduduki Raka, kemudian Hari ikut duduk di samping Raka.
"Mas..." Hari tampak mencoba mengingat ingat.
"Raka." jawab Raka yang mengerti gelagat Hari.
"Oh, ya. Mas Raka." jawab Hari.
"Mas Raka sendirian?" tanya Hari.
"Ya."
"Kenapa tidak bersama rombongan mas?" tanya Hari.
"Lagi pingin sendiri aja." jawab Raka.
"Ada masalah ya?" tebak Hari.
"Ya. Begitulah... Saya merasa dengan mendaki, masalah saya akan terasa lebih ringan." jawab Raka.
"Mengapa begitu?"
"Karena dengan mendaki, kita akan disuguhkan dengan segala kekuasaan Tuhan, yang kita tidak dapatkan di kota." jawab Raka.
"Ya, emang kadang masalah itu adalah sebuah cara pendewasaan mas." kata Hari bijak.
"Kaya kenal kalimat itu." gumam Raka.
"Hehe, iya. Itu kalimat dari bu guru cantik mas, bu Ajeng. Dia itu, selain cantik, juga baik. Meski kadang galak, tapi dia bijak. Dia jarang sekali marah. Makannya dia awet muda. Tapi, sekalinya marah, dia tidka bisa ditoleransi." kata Hari menceritakan sosok wanita yang sedang tidak ingin diingatnya.
"Ngerti banget tentang bu Ajeng?" tanya Raka.
"Karena aku ini penggemar beratnya bu Ajeng mas."
"Oya?"
"Mas Raka juga?" tebak Hari.
Tanpa Raka menjawab, Hari mengerti jawaban itu dari raut wajahnya.
"Dia memang pantas diidolakan mas. Bahkan, aku kemarin sempat nembak dia." kata Hari.
"What? Nembak?" spontan Raka terkejut, bukan karena apa-apa. Hari masih terlalu muda jika menginginkan bu Ajeng.
"Gila ni bocah." gumam Raka.
"Emang, bahkan aku dikatain Gila sama temen-temen. Gara-gara aku nembak guruku sendiri." komentar Hari ketika mendengar gumaman Raka yang pelan.
"Diterima?" tanya Raka penasaran.
"O... ya jelas..." jawab Hari sambil membusungkan dadanya, Raka melihatnya Heran. Dan lam benak Raka, masa' iya bu Ajeng berselera sama ABG model Hari begini?
"Ga diterima." lanjutnya lagi sambil nyengir kuda. Spontan Raka melemparkan potongan rumput ke muka Hari.
"Dasar!"
"Lah, ya dilogika aja mas, masa' iya seorang bu Ajeng mau nerima aku?" tanya Hari.
"Kalau tau begitu, kenapa nembak bu Ajeng?" tanya Raka.
"Ya... biar aku lega aja." jawab Hari santai.
"Meski jawabannya jelas ga diterima?" tanya Raka.
"Iya." jawab Hari.
"Mas Raka mau praktek?" tanya Hari. Seketika itu Juga, Raka menggeleng.
"Dia udah punya calon." jawab Raka.
"Calon? Mana ada? Calonnya udah nikah duluan mas." bantah Hari.
"Bukan itu. Itu 'kan mantannya. mas Adnan." jawab Raka.
"Lah, yang dimaksud terus siapa?" tanya Hari penasaran, karena sejauh yang Hari tau, sejak ditinggal menikah pak Adnan, Bu Ajeng masih single.
"Entah, tapi yang jelas, tadi sore dia abis dilamar." kata Raka dengan lemas.
"Owalah. tau aku sekarang. Kenapa mas Raka ke sini. Hehehe, patah hati ya?" tebak Hari.
"Ya udah, kalau begitu, supaya sainganku berkurang, bagaimana kita doain aja, supaya bu Ajeng ga jadi nikah sama tunangannya ini?" usul Hari
"Maksudmu?"
"Jelek-jelek gini, aku juga ngerti agama dikit-dikit kali mas. Jadi, gadis yang udah dilamar, itu 'kan ga boleh di lamar? Tapi, mereka kan belum menikah, so, masih ada kesempatan dong buat nikung dia." jelas Hari.
"Nikung? Gimana bisa nikung?"
"Ya iyalah, kita nikung dengan doa. Biar pernikahan bu Ajeng ga jadi sama orang itu.
"Yang bener aja Har, ga bagus itu."
"Lah, takdir itu bisa diubah dengan doa mas. Kalau emang mau memperjuangkan cinta, ya kita kudu berusaha."
"Ya tapi ga dengan doain yang jelek-jelek juga kali buat orang lain."
"Aku ga doain yang jelek, aku cuma berdoa, supaya bu Ajeng ga jadi sama orang itu."
"Ya sama aja lah...".
"Yang jelas... kita ini rival."
"Rival?"
"Iya. Kita Rival. Jangan dikira abis ditolak aku berhenti gitu aja mas. Aku masih berusaha nanti kalau udah lulus sekolah, aku bakal lamar dia kalau aku udah lulus dan bekerja.
"Eh, kok gitu?" Raka heran.
"Iya lah, ini namanya perjuangan cinta." jawab Hari.
setelah dirasa cukup, Dan Raka sudah mulai menguap, akhirnya raka dan Hanan memutuskan intuk istirahat di tenda lebih baim Rasanya.
💜💜💜💜💜💜
Maaf reader, rada lemot. Ini author lagi nyambi garap rapot.
typo kah????