Amara Kirana tidak pernah menyangka hidupnya hancur seketika saat keluarganya terjerat utang.
Demi menyelamatkan nama baik keluarga, ia dipaksa menikah dengan Bagas Atmadja—pria dingin yang ternyata adalah ayah dari sahabatnya sendiri, Selvia.
Pernikahan itu bukan kebahagiaan, melainkan awal dari mimpi buruk.
Selvia merasa dikhianati, Meylani (istri kedua Bagas) terus mengadu domba, sementara masa lalu kelam Bagas perlahan terbongkar.
Di tengah kebencian dan rahasia yang menghancurkan, muncul Davin Surya, pria dari masa lalu Amara yang kembali menawarkan cinta sekaligus bahaya.
Antara pernikahan paksa, cinta terlarang, dan pengkhianatan sahabat… akankah Amara menemukan jalan keluar atau justru tenggelam semakin dalam?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon funghalim88@yahoo.co.id, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 35 TUSUKAN DARI DALAM
Layar ponsel masih menyala redup di genggaman Amara. Pesan itu menempel di kepalanya: “Besok, seseorang yang paling kau percaya akan menusukmu dari belakang.” Kata-kata itu terus bergema, lebih keras dari deru hujan di luar jendela.
Ia memeluk ponsel erat-erat, seakan bisa melindunginya dari kenyataan. Matanya terpejam, tapi pikirannya tidak berhenti berputar. Siapa yang dimaksud? Rani? Indra? Atau… Bagas?
Pagi menjelang, tubuh Amara lelah, namun ia memaksa diri bangun. Yayasan tidak bisa berhenti hanya karena ketakutannya. Ia menatap wajahnya di cermin: pucat, tapi sorot matanya keras.
“Aku tidak akan kalah,” bisiknya pada bayangan sendiri.
Ruang kelas yayasan dipenuhi anak-anak yang sedang menggambar. Rani mengatur kertas, Indra sibuk menyalakan proyektor. Di pojok, Livia dengan lincah membantu seorang anak kecil yang sulit memegang gunting. Dari luar, pemandangan itu tampak indah—tapi bagi Amara, ada sesuatu yang terasa janggal.
Setiap kali Livia tersenyum, Amara merasa senyum itu tidak sampai ke matanya.
Amara mendekat, pura-pura menepuk bahu Livia. “Kau cepat sekali menyesuaikan diri. Anak-anak menyukaimu.”
Livia menoleh dengan senyum cerah. “Aku hanya ingin membantu, Kak. Sejak pertama kali melihat yayasan ini, aku kagum pada perjuanganmu.”
Kalimat itu terdengar sempurna, tapi justru itulah yang membuat Amara semakin curiga. Ia mengangguk singkat, lalu berjalan pergi, menyembunyikan keresahan di dadanya.
Menjelang siang, berita baru muncul di portal daring: “Donatur Besar Tarik Dukungan dari Yayasan Cahaya Anak.” Judul itu membuat suasana kantor kacau. Relawan berbisik-bisik, beberapa hampir menangis.
“Kalau donatur utama pergi, bagaimana kita bayar sewa gedung?” seru salah satu relawan.
Rani meremas rambutnya, wajahnya panik. “Kita baru saja menyusun program semester baru. Kalau dana hilang, semua bisa batal!”
Amara berdiri di depan mereka, menekan rasa panik yang sama. “Tenang. Ini memang guncangan, tapi kita tidak boleh bubar hanya karena satu berita. Kita buktikan yayasan ini tidak berdiri karena uang semata, tapi karena hati kita.”
Namun begitu ia selesai bicara, pandangannya jatuh pada meja Livia. Di sana tergeletak selembar kertas—salinan laporan keuangan yayasan. Amara yakin kertas itu tidak pernah ia berikan padanya.
Bagaimana bisa dia punya itu?
Sore itu, Amara memutuskan menguji Livia. Ia sengaja menaruh sebuah map kosong di meja kerjanya, berpura-pura meninggalkannya begitu saja. Dari balik pintu, ia mengintip.
Benar saja. Livia melirik sekeliling, lalu membuka map itu dengan cepat. Wajahnya berubah kecewa ketika mendapati isinya kosong. Ia menutup map buru-buru, lalu bersikap seolah tidak terjadi apa-apa saat Amara masuk kembali.
“Maaf, Kak, aku hanya ingin merapikan meja.”
Amara tersenyum samar, menyembunyikan gejolak di hatinya. Jadi benar… dia bukan sekadar relawan biasa.
Malamnya, Bagas datang ke rumah aman. Ia menemukan Amara duduk di balkon, memandangi langit. “Aku dengar donatur besar menarik dukungan,” katanya tanpa basa-basi.
Amara mengangguk pelan. “Ya. Yayasan bisa lumpuh kalau ini berlanjut.”
“Lalu apa rencanamu?”
Amara menoleh, menatap Bagas. “Aku akan terus berdiri. Kalau yayasan hancur, setidaknya aku jatuh karena berjuang, bukan menyerah.”
Bagas menatapnya lama, lalu berkata pelan, “Kadang kau terlalu keras pada dirimu sendiri.”
Amara tersenyum getir. “Kalau aku tidak keras, aku sudah lama hancur.”
Keduanya terdiam. Udara malam terasa lebih pekat, tapi ada sesuatu yang tak terucap di antara mereka.
Keesokan harinya, gosip di kampus kembali bergema. Selvia menyebarkan kabar bahwa ada relawan baru di yayasan yang siap bersaksi melawan Amara. “Kau pikir siapa yang akan berbicara? Relawan yang sudah dekat dengannya sendiri,” bisiknya pada sekelompok mahasiswa.
Nama Livia beredar samar di forum mahasiswa. Beberapa bahkan mulai berspekulasi bahwa ia adalah “saksi kunci” yang bisa menghancurkan Amara.
Saat mendengar kabar itu, Amara merasa lututnya melemas. Apakah benar Livia akan menusukku dari belakang?
Di yayasan, suasana semakin mencekam. Indra mendekati Amara. “Kita harus hati-hati, Mar. Kalau benar ada pengkhianat di dalam, semuanya bisa runtuh dari sini.”
Amara menatapnya penuh luka. “Aku tidak tahu siapa yang bisa kupercaya lagi, Indra. Bahkan sahabat pun bisa jadi musuh.”
Indra meraih bahunya. “Aku tidak akan meninggalkanmu.”
Kata-kata itu hangat, tapi di benaknya terngiang pesan semalam: “Seseorang yang paling kau percaya akan menusukmu dari belakang.”
Amara menatap Indra, hatinya diliputi rasa takut. Apakah bisa aku benar-benar mempercayaimu, Indra?
Malam itu, ia menulis di buku catatannya.
“Hari ini aku mulai melihat tusukan dari dalam. Aku tidak tahu siapa yang akan menikamku lebih dulu—relawan baru yang manis, sahabat yang selalu ada, atau seseorang yang diam-diam mendukungku. Rasanya aku dikelilingi mata-mata. Tapi aku tidak boleh jatuh. Jika mereka ingin menusukku, biarlah aku tetap berdiri saat mereka melakukannya.”
Ia menutup buku dengan tangan bergetar. Tepat saat itu, ponselnya berbunyi. Sebuah pesan masuk dari nomor tak dikenal:
“Besok, kebenaran akan terbuka. Dan kau akan tahu siapa yang benar-benar di sisimu, dan siapa yang hanya menunggu untuk menusuk.”
Amara memandang layar itu lama, tubuhnya gemetar. Untuk pertama kalinya, ia benar-benar merasa sendirian di tengah keramaian.
Keesokan paginya, suasana yayasan semakin tegang. Para relawan berkumpul di ruang rapat kecil. Wajah-wajah mereka muram, sebagian menunduk, sebagian berbisik tanpa berani menatap Amara.
“Kabar tentang kebocoran data sudah makin luas,” kata Indra sambil mengetuk meja pelan. “Kalau kita tidak segera merespons, semua program bisa dibekukan.”
Rani menambahkan, nada suaranya penuh kecemasan. “Beberapa orang tua anak-anak yayasan sudah bertanya-tanya. Mereka takut nama anak mereka ikut tercemar. Kita harus beri kepastian, Mar.”
Amara berdiri, menatap mereka satu per satu. “Aku tahu semua ini berat. Tapi kita tidak bisa mundur sekarang. Setiap gosip baru adalah ujian—dan setiap ujian hanya bisa kita jawab dengan bukti, bukan dengan ketakutan.”
Namun saat ia berbicara, matanya tanpa sadar menoleh ke arah Livia. Perempuan itu duduk di pojok, pura-pura sibuk menulis di buku catatan. Tapi Amara jelas melihat ponsel di bawah mejanya bergetar—dan kilatan pesan masuk sempat terpampang di layar.
“Laporkan hasil rapat. Jangan sampai ada yang terlewat.”
Amara menahan napas. Ia tahu sekarang: Livia memang sedang bermain di dua sisi.
Siang itu, Bagas datang ke yayasan dengan pengacara Mira. Mereka membawa kabar dari kejaksaan.
“Pemeriksaan lanjutan dijadwalkan minggu depan,” ujar Mira. “Mereka akan memanggil saksi dari pihak relawan. Ada kemungkinan salah satu dari orang dalam yayasan diminta bersaksi.”
Amara merasakan perutnya mual. “Saksi dari relawan? Siapa… siapa yang mereka pilih?”
Mira menatap map di tangannya. “Belum resmi diumumkan. Tapi ada satu nama yang sudah masuk daftar awal: Livia.”
Ruangan terasa berputar. Rani terbelalak, Indra mengumpat pelan. Amara merasakan jantungnya berdetak kencang, seolah hendak meloncat keluar dari dadanya.
“Tidak mungkin,” Rani berbisik. “Dia baru beberapa minggu di sini!”
Bagas menatap Amara lekat-lekat. “Mereka memang sengaja memasukkan orang baru agar bisa mengaku saksi. Kita tidak boleh lengah.”
Amara terdiam, dadanya sesak. Jadi pesan itu benar… seseorang yang kupercaya akan menusuk dari belakang.
Malam hari, Amara duduk sendiri di ruang kelas yang sudah kosong. Lampu remang membuat bayangan panjang di lantai. Ia menatap kursi-kursi kosong, membayangkan anak-anak yang biasanya memenuhi ruangan dengan tawa.
“Kalau yayasan ini runtuh, apa yang akan terjadi pada mereka?” gumamnya pelan.
Suara langkah membuatnya menoleh. Bagas berdiri di pintu, masih mengenakan jas kerjanya. Wajahnya lelah, tapi matanya tajam.
“Kau tidak boleh memikirkan kemungkinan runtuh,” katanya. “Kau harus memikirkan cara agar tetap berdiri.”
Amara tersenyum getir. “Kau selalu berbicara seolah semuanya sederhana.”
“Karena aku sudah terbiasa menghadapi serangan,” jawab Bagas. Ia berjalan mendekat, lalu duduk di kursi dekat Amara. “Tapi kau berbeda. Kau masih peduli pada semua orang, bahkan saat mereka berbalik melawanmu. Itu kekuatanmu sekaligus kelemahanmu.”
Amara menunduk. “Kalau aku kehilangan mereka, aku kehilangan diriku sendiri.”
Untuk pertama kalinya, Bagas menatapnya bukan hanya dengan dingin, tapi dengan sorot yang lebih dalam. Ada sesuatu yang menahan kata-katanya agar tidak keluar, namun tatapannya cukup untuk membuat Amara merasakan sesuatu yang hangat di tengah ketakutan.
Larut malam, Amara menulis lagi di buku catatannya.
“Hari ini aku tahu kebenaran yang paling menyakitkan: pengkhianatan tidak datang dari luar, tapi dari dalam. Livia akan menjadi saksi melawan aku. Mungkin bukan hanya dia. Mungkin ada nama lain yang siap menusuk. Aku tidak tahu siapa yang masih bisa kupercaya. Tapi aku tahu satu hal: aku akan tetap berdiri, bahkan jika aku harus berdiri sendirian.”
Tangannya berhenti menulis ketika ponselnya kembali bergetar. Pesan masuk dari nomor yang sama seperti sebelumnya:
“Kau sudah melihat bayangannya. Besok, bayangan itu akan membuka mulut. Bersiaplah.”
Amara menutup ponsel dengan tangan gemetar. Matanya menatap jendela gelap, hujan mulai turun lagi, kali ini lebih deras dari malam sebelumnya. Ia merasa seolah seluruh dunia bersiap untuk menjatuhkannya.
Namun di dalam hatinya, ada bisikan kecil yang masih bertahan: Aku tidak boleh runtuh.