Setelah Mahesa Sura menemukan bahwa ia adalah putra seorang bangsawan yang seharusnya menjadi seorang raja, ia pun menyusun sebuah rencana untuk mengambil kembali hak yang seharusnya menjadi milik nya.
Darah biru yang mengalir dalam tubuhnya menjadi modal awal bagi nya untuk membangun kekuatan dari rakyat. Intrik-intrik istana kini mewarnai hari hari Mahesa Sura yang harus berjuang melawan kekuasaan orang yang seharusnya tidak duduk di singgasana kerajaan.
Akankah perjuangan Mahesa Sura ini akan berhasil? Bagaimana kisah asmara nya dengan Cempakawangi, Dewi Jinggawati ataupun Putri Bhre Lodaya selanjutnya? Temukan jawabannya di Titisan Darah Biru 2 : Singgasana Berdarah hanya di Noveltoon.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ebez, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Duri Dalam Daging
Jenarpaksi bergegas masuk ke dalam rumah besar itu diikuti oleh Wiritanaya dan Ki Gandung. Di halaman depan pendopo, Werdhamantri Gajah Mungkur sedang asyik mengamati burung perkutut peliharaan nya yang sedang asyik berkicau.
"Gawat Gusti Werdhamantri gawat...!! "
Teriakan panik Jenarpaksi sontak membuat burung perkutut Werdhamantri Gajah Mungkur berhenti mengoceh dan ini membuat orang tua itu tidak senang. Dia segera berbalik badan sambil menatap tajam ke arah Jenarpaksi.
"Gawat gawat gundul mu itu! Kau menakuti Si Ganteng ( nama burung perkutut kesayangan nya ), dia tidak mau berkicau sekarang!!! ", hardik Werdhamantri Gajah Mungkur yang membuat Jenarpaksi ciut nyali seketika.
'Sial sekali. Masak aku kalah penting sama burung perkutut?! Memang burung keparat itu bisa apa? ', gerutu Jenarpaksi dalam hati.
" M-mohon ampun Gusti Werdhamantri, bukan maksud hamba demikian.
Tetapi ada berita yang sangat penting yang perlu Gusti Werdhamantri ketahui sekarang ", jawab Jenarpaksi sambil menghormat.
" Lekas katakan, jangan banyak cingcong..! Kalau berita mu tak berarti, aku pasti akan menjatuhkan hukuman untuk mu! ", ucap Werdhamantri Gajah Mungkur dengan nada dingin.
" Hamba tidak berani...
Orang ini, Wiritanaya, anak Akuwu Macan Biru dari Wilangan. Dia berkata bahwa Pakuwon Wilangan kini dalam kekuasaan Mahesa Sura alias Si Iblis Wulung.. "
GLLEEEERRRRRRR!!!!
Omongan Jenarpaksi langsung membuat Werdhamantri Gajah Mungkur kaget setengah mati. Tetapi lelaki tua itu cepat-cepat berusaha untuk menenangkan diri sambil menghela nafas panjang. Setelah itu ia menoleh ke samping kiri dan kanan untuk memastikan sesuatu.
"Ajak dia masuk, kita bicara di dalam.. "
Setelah berkata demikian, Werdhamantri Gajah Mungkur bergegas masuk ke dalam pendopo rumah nya. Jenarpaksi pun mengikuti di belakangnya bersama dengan Wiritanaya dan Ki Gandung.
"Kau yang bernama Wiritanaya? ", tanya Werdhamantri Gajah Mungkur begitu mereka duduk bersila di lantai pendopo.
" Hamba Wiritanaya, putra mendiang Akuwu Macan Biru dari Wilangan. Ini Ki Gandung, pengalasan hamba Gusti Werdhamantri ", jawab Wiritanaya sambil menghormat.
Hemmmmmmmmmmm...
" Sekarang ceritakan apa yang terjadi pada Pakuwon Wilangan, jangan sampai ada yang terlewat.. ", ujar Werdhamantri Gajah Mungkur segera.
Wiritanaya pun segera menceritakan tentang apa yang terjadi pada Pakuwon Wilangan. Tentang penguasaan paksa oleh Mahesa Sura beserta orang-orang nya.
" Bahkan ia mulai mencari dukungan dari wilayah pakuwon sekitarnya, Gusti Werdhamantri. Hamba dengar beberapa pakuwon sudah di kirimi surat yang isinya meminta pengakuan dari mereka atas hak Si Iblis Wulung atas tahta Kertabhumi ", pungkas Wiritanaya mengakhiri ceritanya.
" Sial! Dasar sial..!!! ", maki Werdhamantri Gajah Mungkur sambil memukul meja kecil di depannya.
Akibatnya meja kecil itu langsung hancur berantakan.
Sebuah sesal menggelayut dalam hati sang menteri tua. Andai dia dulu berhasil membunuh seluruh keluarga Dyah Mahisa Rangkah, tentu kejadian ini tidak akan terjadi.
Ya, dulu Dyah Sindupati demi bisa mendapatkan kekuasaan Kertabhumi, mengumpulkan beberapa pendekar sakti untuk menghabisi nyawa saudara iparnya Dyah Pitaloka yang merupakan istri Dyah Mahisa Rangkah. Para pendekar sakti itu termasuk Gajah Mungkur berhasil membantai Dyah Mahisa Rangkah dan para pengikutnya, cuma sayang putra mereka yang masih bayi menghilang setelah di hanyutkan ke aliran sungai.
Beberapa tahun berselang, Gajah Mungkur mendengar kabar bahwa putra dari Dyah Mahisa Rangkah masih hidup sebagai anak angkat Mpu Randu. Maka Gajah Mungkur yang sudah menjadi pejabat istana Kertabhumi pun memerintahkan pada Kebo Panoleh dan beberapa pendekar jagoan lainnya untuk menyamar sebagai perampok dan berhasil membunuh Mpu Randu dan keluarganya. Tetapi lagi-lagi anak Dyah Mahisa Rangkah yang diketahui bernama Mahesa Sura berhasil meloloskan diri.
Kebo Panoleh sempat memburu Mahesa Sura kecil hingga sampai di kaki Gunung Kampud. Mahesa Sura kecil nyaris tertangkap oleh Kebo Panoleh hingga terpaksa masuk ke dalam Lembah Embun Upas, salah satu tempat paling berbahaya di wilayah Mandala Keling, yang akhirnya menyelamatkannya.
Takut amarah Werdhamantri Gajah Mungkur, Kebo Panoleh membuat laporan palsu dengan membawa kepala seorang anak kecil seumuran Mahesa Sura kecil. Untuk beberapa tahun ke depan, Werdhamantri Gajah Mungkur sudah menjadi tenang dan tidak khawatir tentang bahaya yang mungkin disebabkan oleh keturunan Dyah Pitaloka.
Tetapi ketenangan itu akhirnya buyar setelah kabar kematian Kebo Panoleh dan munculnya seorang pendekar muda berilmu tinggi yang bernama Mahesa Sura. Dia berusaha melacak keberadaan Mahesa Sura hingga mata-mata nya menemukan nya di Padepokan Bukit Rawit dan inilah alasan sebenarnya mengapa pasukan Kertabhumi dikirim ke Padepokan Bukit Rawit yakni untuk menghabisi nyawa Mahesa Sura.
Lolosnya Mahesa Sura dari kepungan para prajurit Kertabhumi sangat mengganggu ketenangan batin Werdhamantri Gajah Mungkur. Ia mengirimkan Jenarpaksi dan Ki Banyak Pethak untuk mencari keberadaan Mahesa Sura yang ia anggap sebagai duri dalam daging. Sayangnya mereka belum sempat menemukan Mahesa Sura malah sudah celaka di tangan Perawan Lembah Wilis.
Dan sekarang terdengar kabar bahwa Mahesa Sura sedang membangun kekuatan dari Pakuwon Wilangan, jelas ini akan bertujuan untuk merebut kembali hak atas tahta Kertabhumi yang memang menjadi hak nya. Dan ini tidak boleh dibiarkan terjadi.
"Aku akan menghadap Gusti Bhre Kertabhumi untuk masalah ini. Untuk sementara kau tinggal dulu disini. Jenarpaksi, urus mereka.. "
Setelah berkata demikian, Werdhamantri Gajah Mungkur segera bergegas keluar dari rumahnya. Dengan mengendarai kuda hitam kesayangannya, dia bergerak menuju ke arah Istana Kertabhumi.
Di Pendopo Agung Istana Kertabhumi, beberapa orang pejabat seperti Senopati Kebo Bang, Patih Lembu Wungu yang baru menjabat serta Tumenggung Mayang nampak duduk di tempatnya dengan rapi mendengarkan titah sang penguasa Kertabhumi.
Werdhamantri Gajah Mungkur segera menghormat pada Bhre Kertabhumi Dyah Sindupati begitu sampai.
"Paman Werdhamantri Gajah Mungkur, bukankah kau sedang sakit? Angin apa yang memaksa mu untuk datang ke pisowanan rutin ini? ", tanya Bhre Kertabhumi Dyah Sindupati begitu melihat Werdhamantri Gajah Mungkur menyembahnya.
" Hamba ingin melapor Gusti Bhre...
Pakuwon Wilangan sudah jatuh ke tangan pemberontak Mahesa Sura dan Nyai Landhep. Tersiar kabar bahwa mereka tengah menyusun kekuatan untuk bersiap menyerbu kemari ", ucap Werdhamantri Gajah Mungkur setelah duduk bersila di tempatnya.
APAAAAAAAA??!!!
"Bagaimana ini bisa terjadi? Apa saja kerja kalian semua hah?! ", teriak Bhre Kertabhumi Dyah Sindupati sambil berdiri dari singgasananya.
" Mohon ampun Gusti Bhre...
Kita memang kecolongan karena sibuk dengan urusan para perampok di perbatasan dengan Matahun. Mohon Gusti Bhre Kertabhumi memaklumi ", ucap Senopati Kebo Bang sambil menghormat.
"Aku tidak butuh alasan mu, Senopati..
Sekarang juga persiapkan dan esok pagi pimpin seluruh pasukan mu untuk menumpas para pemberontak itu sebelum mereka menyerbu kemari", titah Bhre Kertabhumi lantang.
" Tapi Gusti Bhre, separuh pasukan Kertabhumi bukankah digerakkan ke perbatasan Matahun atas perintah dari Gusti Bhre Kertabhumi sendiri?
Saat ini di Ksatrian Kertabhumi hanya ada 5 ribu orang prajurit. Apakah itu saja yang akan kita kerahkan kesana? ", sahut Tumenggung Mayang segera.
" Hamba rasa 5 ribu orang prajurit kita sudah lebih dari cukup Gusti Bhre.
Sekelas Pakuwon Wilangan paling banyak hanya ada 2 ribu prajurit. Jika Mahesa Sura sudah bisa menguasainya, kemungkinan besar jumlah prajurit mereka juga tidak lebih dari itu. Maka 5 ribu orang prajurit kita sudah pasti bisa menumpas para pemberontak itu ", kali ini Werdhamantri Gajah Mungkur angkat bicara.
Hemmmmmmmmm...
"Baik, aku setuju dengan pendapat mu Paman Werdhamantri. Senopati Kebo Bang, tumpas para pemberontak itu dan bawa kepala Mahesa Sura kemari.. ", titah Bhre Kertabhumi Dyah Sindupati yang membuat Senopati Kebo Bang langsung menghormat.
" Hamba laksanakan, Gusti Bhre.. "
Hari itu juga, kesibukan besar terjadi di Kota Anjuk Ladang. Ratusan pedati bahan pangan dikeluarkan dari lumbung pangan istana, para prajurit mengasah senjata, para pekatik sibuk merawat kuda kuda yang akan menjadi tunggangan para prajurit dan beberapa yang bertugas di perlengkapan keprajuritan sibuk dengan mempersiapkan baju zirah perang untuk para pemimpin pasukan.
Semua kesibukan ini menjadi perhatian para penduduk Kota Anjuk Ladang karena ini jelas merupakan bagian dari persiapan peperangan. Dalam hati mereka bertanya-tanya apa yang sebenarnya sedang terjadi kali ini.
Seorang lelaki bertubuh gempal dengan pakaian bagus selayaknya orang kaya yang melihat keriuhan ini langsung berbalik arah ke arah kediamannya. Ia tahu bahwa ini adalah persiapan penyerbuan seperti yang pernah di omongkan oleh Nyai Landhep beberapa waktu yang lalu.
Orang itu adalah Jurumeya, bekas murid Padepokan Bukit Rawit yang kini menetap di Kota Anjuk Ladang dan menjalankan usaha dagang beras dan kain. Ketika tempo hari Nyai Landhep memintanya untuk bergabung dengan Mahesa Sura, ia menolaknya tetapi berjanji untuk tetap membantu dengan cara memberikan kabar setiap pergerakan prajurit Kertabhumi.
Sedikit terburu-buru, Jurumeya menulis kalimat singkat di atas secarik kain kecil yang diikat pada kaki burung merpati surat. Diatas kain putih itu tertera kata-kata,
'Pasukan Kertabhumi mulai bergerak..'