Maya Amelia, seorang mahasiswi hukum Universitas Bangsa Mulya, tak pernah menyangka kalau takdir akan mempertemukannya dengan Adrian Martadinata pengacara muda,tampan,dan terkenal di kalangan sosialita.
Awalnya, Maya hanya mengagumi sosok Adrian dari jauh. Namun, karena sebuah urusan keluarga yang rumit, Adrian terpaksa menikahi Maya gadis magang yang bahkan belum lulus kuliah, dan tak punya apa-apa selain mimpinya.
Setelah Menikah Adrian Tak bisa melupakan Cinta Pertamanya Lily Berliana seorang Gundik kelas atas yang melayani Politisi, CEO, Pejabat, Dokter, Hingga Orang-orang yang punya Kekuasaan Dan Uang. Lily Mendekati Adrian selain karena posisi dirinya juga mau terpandang, bahkan setelah tahu Adrian sudah memiliki istri bernama Maya, Maya yang masih muda berusaha jadi istri yang baik tapi selalu di pandang sebelah mata oleh Adrian. Bahkan Adrian Tak segan melakukan KDRT, Tapi Ibunya Maya yang lama meninggalkannya kembali Greta MARCELONEZ asal Filipina untuk melindungi Putrinya
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Putri Sabina, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Pelindung dan Pengamat
Ahmad berjalan ke belakang, memastikan semua berjalan lancar di dapur. Bau bumbu tumis dan uap nasi memenuhi ruangan. Tapi baru beberapa langkah masuk, tubuhnya sedikit limbung.
Ia meraih kursi kayu di dekat rak bumbu dan duduk perlahan.
Tangan kirinya menekan dada, napasnya mulai berat. Raut wajahnya menegang, menahan nyeri yang kembali datang tanpa aba-aba.
"Astaghfirullah...," desisnya lirih, keringat dingin membasahi pelipis.
Ahmad menunduk, mencoba menarik napas dalam. Dipejamkannya mata sebentar, mengatur detak jantung yang mulai tak beraturan.
"Tolong, ya Allah... jangan dulu... anakku masih butuh aku..."
Ia meraih botol air mineral di meja, meneguknya perlahan. Perlahan-lahan nyerinya mulai mereda, meski dadanya masih terasa berat. Ia tahu, ini bukan sekadar kelelahan biasa. Tapi ia menolak lemah.
"Maya harus tetap fokus kuliah. Jangan sampai dia tahu," gumamnya pelan.
Tak lama, terdengar langkah kaki Maya dari dapur sebelah. Ahmad buru-buru duduk tegak, menghapus keringat dengan handuk kecil yang tergantung di lehernya.
Lantai depan restoran sudah bersih. Maya baru saja selesai menyapu dan mengepel, tangannya masih menggenggam kain pel saat ia masuk ke dapur.
Langkahnya terhenti mendadak saat melihat sang ayah terduduk lemas di kursi dekat rak bumbu, tangan Ahmad menempel di dada, wajahnya pucat dan berkeringat.
"Astagfirullah… Ayah kenapa?" seru Maya panik, langsung menghampiri dengan napas tercekat.
Ahmad tersentak pelan. Ia buru-buru tersenyum, menyembunyikan rasa sakit di balik wajah lelahnya.
"Nggak apa-apa, May... Ayah cuma capek. Tadi sempat ngobrol sama dua pelanggan itu, ibu-ibu sosialita kayaknya," ucapnya, mencoba terdengar ringan, meski suaranya agak gemetar.
Maya memandangi wajah ayahnya dengan cemas, namun kemudian mencoba tersenyum kecil—berpikir mungkin benar hanya kelelahan biasa.
"Ya udah, Ayah duduk sini aja istirahat, ya. Biar Maya aja yang lanjutin di dapur."
Ahmad mengangguk lemah.
"Iya, iya… Ayah di sini aja."
Maya beranjak, kembali ke kompor sambil mengambil pot berisi sup yang akan dihangatkan. Suaranya riang tanpa sadar, mencoba mencairkan suasana.
Sementara itu, Ahmad hanya bisa menatap punggung putrinya dalam diam. Matanya mulai basah, tetapi cepat-cepat ia usap sebelum Maya menoleh.
"Kuat ya, Nak..." bisiknya pelan, menatap langit-langit dapur.
"Ayah akan sembunyikan ini selama bisa... demi kamu."
Uap hangat dari panci sup mulai memenuhi dapur. Maya sibuk memotong daun bawang untuk taburan, tapi sesekali matanya melirik ke arah sang ayah yang masih duduk diam di sudut ruangan.
Wajah Ahmad terlihat lebih pucat dari biasanya. Nafasnya pendek, meski ia berusaha menyembunyikan dengan senyum setiap kali Maya menatapnya.
Maya mengernyit.
Ada yang terasa... ganjil. Tapi apa?
Tangannya berhenti mengiris. Perasaan tak nyaman itu semakin jelas. Ada yang mengusik pikirannya.
"Ayah gak biasanya kelihatan selemas ini...," batinnya.
Maya membersihkan tangannya cepat-cepat lalu berjalan pelan ke arah ayahnya, pura-pura menyodorkan segelas teh hangat.
"Yah, minum dulu. Biar badan gak makin lemas."
Ahmad tersenyum, menerima gelas itu. "Makasih, Sayang. Ayah udah baikan kok."
Tapi Maya tak segera pergi. Ia duduk di kursi sebelah, memperhatikan gerak-gerik sang ayah lebih dalam.
"Yah... Ayah gak ada yang disembunyiin, kan?"
Ahmad tersedak pelan. Tapi ia cepat-cepat meneguk teh untuk mengalihkan.
"Nggak, Sayang. Ayah cuma capek. Namanya juga kerja dari pagi."
Maya masih menatapnya. Ada bisikan kecil dalam hatinya yang belum bisa ia abaikan.
"Tapi kenapa firasatku nggak enak, ya..."
Rumah Keluarga Martadinata – Sore Hari
Pintu utama terbuka. Suara langkah sepatu hak terdengar bergema di lantai marmer.
"Bi! Bibi!?" panggil Mariana sambil melepas jaket tipisnya dan meletakkannya di gantungan dekat pintu.
Dari arah dapur, terdengar suara tergopoh-gopoh. Bibi Yahya muncul dengan celemek masih terikat di pinggang.
"Iya, Bu. Maaf tadi lagi ngangkat rebusan ayam."
Mariana berjalan ke ruang tamu, menjatuhkan tubuhnya di sofa dengan helaan napas.
"Aduh Bi... hari ini saya ketemu anak yang luar biasa."
Bibi Yahya menatap penasaran sambil menyuguhkan segelas air putih.
"Luar biasa gimana, Bu? Siapa memangnya?"
"Inget waktu saya hampir kecopetan di pasar tempo hari? Ternyata hari ini saya ketemu lagi sama anak itu... dan dia—Bi!—dia yang kerja bantuin di restoran bebek yang Jeng Lintang rekomendasiin."
Bibi Yahya membulatkan mata. "Ih iya? Terus orangnya gimana?"
Mariana menatap langit-langit, sejenak berpikir.
"Sopan... halus... dan wajahnya tuh, Bi, adem banget. Beda sama... ya, kamu tahu lah siapa."
Nada suaranya mengarah pada satu nama yang tak perlu disebut.
"Kayaknya bukan dari keluarga berada, tapi... saya justru suka. Ada aura keikhlasan."
Bibi Yahya hanya tersenyum.
"Wah, Bu... jangan-jangan udah cocok buat calon mantu, nih?"
Mariana mengangkat bahu, pura-pura acuh.
"Saya nggak bilang begitu... tapi saya pengin tahu lebih banyak soal anak itu."
Hujan rintik turun perlahan di luar jendela kaca besar rumah mewah itu. Udara terasa lebih dingin setelah Magrib. Mariana baru saja menyelesaikan shalat, lalu mengenakan cardigan tipis sebelum turun ke ruang tengah.
Lampu gantung kristal memancarkan cahaya keemasan yang hangat, memantul di lantai marmer dan lukisan-lukisan klasik yang menggantung anggun di dinding.
Mariana duduk di kursi santai, menyeruput teh hangat melati buatan Bi Yahya. Namun wajahnya tampak penuh pertimbangan, pikirannya masih tertinggal di pertemuan siang tadi.
Ia meraih ponsel dari meja kecil di samping kursinya, lalu menekan sebuah nama yang sudah sangat dikenalnya: Pak Indra – Asisten Pribadi.
"Halo, Bu Mariana. Ada yang bisa saya bantu?"
"Pak Indra, saya butuh bantuan kecil. Tapi tolong... discreet, ya."
"Tentu, Bu. Silakan."
Mariana berdiri, berjalan perlahan ke arah jendela dan menatap tetesan hujan yang membasahi kaca. Suaranya tenang, namun ada nada kehati-hatian yang terasa.
"Tadi siang saya makan di sebuah restoran tradisional—warung Bebek Pak Ahmad. Di sana saya bertemu seorang gadis. Namanya Maya. Sopan, sederhana, dan... entah kenapa saya merasa ada yang menarik dari dia."
Ia terdiam sebentar, sebelum menambahkan dengan nada lebih serius.
"Saya ingin tahu siapa dia. Latar belakang keluarganya, kuliah di mana, tinggal di mana. Tapi ingat, jangan sampai bikin orang curiga. Lakukan diam-diam."
"Baik, Bu. Saya mulai lacak dari pemilik warungnya. Saya kabari secepatnya setelah dapat info."
Mariana masih menatap hujan.
"Oh satu lagi..." katanya pelan. "Selidiki juga tentang Lily. Saya ingin tahu... siapa dia sebenarnya. Di luar apa yang Adrian ceritakan. Keluarganya, latar belakang, gaya hidup. Semuanya."
Pak Indra tak perlu bertanya lebih jauh.
"Saya mengerti, Bu. Akan saya urus secepatnya."
Telepon ditutup. Mariana kembali duduk, menghela napas panjang. Jemarinya mengetuk-ngetuk pelan cangkir teh.
"Kalau memang kamu anak baik-baik, Maya... siapa tahu, kamu yang sebenarnya cocok untuk keluarga ini. Bukan yang hanya kelihatan dari luar."
Pinginnya gak panjang-panjang awalan ceritanya...
malah kadang suka lebih seru kalau awalan nya langsung yg konflik atau sudah jadi nya aja 👍😁
Ditengah atau setelahnya baru dehh bisa di ceritakan lagi sedikit atau pelan-pelan proses dari awalan Konflik tsb 👍😁🙏
kalau di awalin sebuah perjalanan cerita tsb,kadang suka nimbulin boring dulu baca nya... kelamaan ke konflik cerita tsb nya 🙏🙏🙏