Selina, seorang penjahat wanita yang menjadi buronan polisi, akhirnya mati dibunuh kekasihnya sendiri.
Jiwanya bertransmigrasi ke tubuh Sofie, seorang istri CEO yang bertepatan saat itu juga meninggal karena kecelakaan.
Kehidupan kembali yang didapatkan Selina lewat tubuh Sofie, membuat dirinya bertekad untuk balas dendam pada kekasihnya Marco sekaligus mencari tahu penyebab kecelakaan Sofie yang dianggap janggal.
Ditengah dendam yang membara pada Marco, ia justru jatuh cinta pada Febrian, sang CEO tampan yang merupakan suami Sofie. Bersama lelaki itu, Selina bekerjasama mengungkap semua rahasia yang berkaitan dengan kematian dirinya.
Hingga suatu ketika, Febrian pun menyadari jika jiwa istrinya sofie sudah berganti dengan jiwa wanita lain.
Bagaimanakah kisah selanjutnya?
Apa Selina berhasil membalas dendam pada Marco? Bisakah Selina mendapatkan cinta Febrian yang curiga dengan perubahan Sofie istrinya setelah dirasuki jiwa Selina?
Baca novelnya jangan lupa, like dan komen 🤗
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Afriyeni Official, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Marco menculik Harry dan Brenda
Benturan keras yang baru saja di alami Jimmy karena mobilnya menabrak pohon, membuat kepala lelaki itu terasa pusing berkunang-kunang. Dia meringis perih, menyentuh pelipisnya yang terluka dan berdarah.
Bukan hanya Jimmy, tiga orang rekannya yang lain pun ikut terluka. Mereka ikut meringis menahan sakit di sekujur tubuh karena hempasan keras akibat tabrakan itu.
Saat mereka masih dalam keadaan shock, Marco dan anak buahnya telah mengepung mobil mereka dan berteriak sambil menggedor-gedor pintu mobil.
"Turun kalian semua!"
"Keluar!"
"Buka! Buka paksa pintunya!
"Hancurkan!"
Teriakan suara Marco yang memerintah anak buahnya terdengar dari luar mobil.
Wajah Jimmy dan teman-temannya seketika berubah pucat pasi. Sulit untuk mereka bergerak bebas melawan mereka semua yang mengamuk seperti orang gila.
"Jim, bagaimana ini?" tanya salah satu rekannya panik.
"Tenanglah! Jangan panik! Aku akan coba menelpon Tuan Febrian."
Jemari Jimmy tampak gemetar mencoba menghubungi ponsel Febrian beberapa kali. Namun, ponsel itu tak kunjung di angkat.
Kepanikan makin terlihat di wajah mereka ketika salah satu anak buah Marco datang membawa kayu besar. Mereka berniat untuk menghancurkan kaca mobil Jimmy yang tertutup rapat agar bisa membuka pintu mobil itu dengan paksa.
"Woy...! Keluarlah!" teriak Arnold dan teman-temannya bersahut-sahutan.
"Gila! Ini tidak bisa dibiarkan." Desah Jimmy makin panik dan gundah.
Dia berusaha menyalakan mesin mobilnya namun gagal.
"Tak ada pilihan, jika bertahan disini kita mati! Bersiaplah untuk menyerang mereka." Ujar Jimmy pelan kepada rekan-rekannya.
Ketiga rekan Jimmy sesaat saling pandang.
"Aku akan hitung sampai tiga. Setelah itu serang dan..., lari!"
Ketiga rekannya terperangah namun mereka paham apa maksud Jimmy. Kekuatan mereka yang cuma berempat orang tidak seimbang dengan jumlah anak buah Marco yang ada sembilan orang. Apalagi mereka berempat dalam keadaan terluka akibat tabrakan.
PRANG!
Bunyi kaca pecah dari jendela samping mengejutkan mereka berempat. Merekapun langsung siaga menghadapi segala kemungkinan.
"Tak ada waktu lagi. Satu, dua, ti-ga! Dorong pintunya kuat!" teriak Jimmy spontan diikuti gerakan tangannya mendorong pintu mobilnya hingga anak buah Marco menjauh dari mobil.
Jimmy dan ketiga temannya langsung melompat turun dari mobil dan menyerang anak buah Marco yang kaget melihat reaksi mereka.
Tak ayal lagi, perkelahian sengit pun terjadi di antara mereka. Pukulan demi pukulan serta tendangan saling hajar satu sama lain terlihat menegangkan.
Jimmy yang sudah terlatih beladiri dari kecil dan merupakan pengawal pribadi andalan keluarga Sanders, dengan mudah menaklukkan dua orang anak buah Marco meskipun kepalanya masih pusing akibat benturan di stir mobil.
Dia yang saat ini tengah berhadapan dengan Arnold, mulai terasa makin pusing apalagi melihat satu persatu rekannya tumbang di hajar anak buah Marco.
Arnold adalah lawan yang cukup tangguh. Namun Jimmy tetap berusaha keras untuk mengalahkannya dengan kekuatannya yang sudah semakin lemah.
Meskipun dua teman Arnold datang membantu, ia masih bisa merobohkan dua orang anak buah Marco dengan pukulan dan tendangannya.
Ketangguhan Jimmy yang mampu merobohkan anak buahnya, membuat Marco geram. Apalagi Arnold kelihatan seperti orang bodoh dimatanya karena tak bisa mengalahkan Jimmy dengan mudah.
"Dasar dungu! Hiyaat...!" Marco hilang kesabaran dan menyerang Jimmy dari belakang dengan sebuah kayu besar yang ia dapatkan di lokasi itu.
PRAK! Aaargh...!
Bunyi kayu yang patah serta teriakan kesakitan terdengar disusul jatuhnya tubuh Jimmy ke atas tanah.
Lelaki itu tertelungkup di tanah dengan kepala mengucurkan darah segar.
"Lekas! Pindahkan Harry dan Brenda ke dalam mobil kita!" teriak Marco kemudian, menyuruh anak buahnya bergerak cepat membawa Harry dan Brenda yang terikat dalam mobil Jimmy untuk di pindahkan ke dalam mobil mereka.
Tanpa membuang waktu, Arnold dan rekan-rekannya bergerak cepat melaksanakan perintah majikannya.
"Kita balik ke markas!"
Marco bergegas masuk kedalam mobil miliknya dan memerintahkan anak buahnya untuk kembali ke markas membawa Harry dan Brenda yang yang masih belum sadarkan diri dari pingsannya.
Dua buah mobil yang di tumpangi Marco dan anak buahnya itupun segera melesat pergi meninggalkan Jimmy dan ketiga rekannya yang tidak di ketahui bagaimana nasibnya.
*****
Tak selang beberapa menit.
"Sayang, itu..., itu mobil Jimmy!" pekik Selina kaget, menunjuk pada sebuah mobil yang menabrak pohon dipinggir jalan.
Febrian ikut terkejut dan bergegas menepikan mobilnya. Mereka berdua langsung melompat turun melihat Jimmy dan ketiga rekannya tampak tergeletak diatas tanah.
"Jim! Jimmy!" tangan Febrian mengguncang bahu Jimmy cemas melihat kondisi kepalanya yang banyak mengeluarkan darah.
Ia mencoba mengecek denyut nadi Jimmy dan tampak agak panik.
"Halo! Ambulans! Kami butuh bantuan, segera!" Selina ternyata sudah menghubungi ambulans tanpa disuruh oleh Febrian.
Setidaknya rasa cemas lelaki itu sedikit berkurang oleh inisiatif Selina yang yang cukup sigap menyadari situasi emergency.
"Kita harus hentikan pendarahan di kepala Jimmy!" Ucap Febrian panik dengan sorot mata terlihat begitu cemas dan khawatir.
Selina sejenak kebingungan.
BRETT...
Tak ada pilihan, dia terpaksa merobek ujung gaun bagian bawahnya untuk mengikat luka di bagian kepala Jimmy yang mengeluarkan darah.
Sesaat Febrian terpana melihat kesigapan istrinya yang tanpa pikir panjang merobek gaunnya demi membalut luka Jimmy. Namun dia tak punya waktu untuk memperdebatkan hal sepele itu. Nyawa Jimmy saat ini jauh lebih berharga.
Mereka berdua pun bekerjasama membalut luka Jimmy dan memeriksa ke tiga rekan Jimmy yang ikut pingsan dan terluka di hajar anak buah Marco. Untung saja, mereka bertiga tidak separah Jimmy.
NGUING... NGUING... NGUING...
Sirene ambulans yang mendekat, membuat hati Febrian dan Selina sedikit lega.
Jimmy dan ketiga rekannya dengan cepat dilarikan ke rumah sakit yang terdekat untuk mendapatkan bantuan medis.
*****
DI RUMAH SAKIT.
"Kamu pasti capek, istirahatlah!" suara Febrian terdengar serak menunjukan kegundahan hatinya yang sedari tadi tampak gelisah didepan pintu ruang tunggu IGD.
"Mau istirahat dimana? Pikirannya pasti kacau sekali," Selina jadi bingung sendiri dalam hati namun ia pendam karena melihat lelaki itu begitu kalut memikirkan keadaan Jimmy sang asisten sekaligus orang kepercayaannya itu.
"Aku akan menemanimu disini." Sahut Selina seraya menaruh pantatnya di bangku ruang tunggu dan mendekap kedua tangannya di dada.
Febrian ikut duduk di sebelah istrinya dan menaruh lengannya ke bahu sang istri. Tubuhnya merapat dan memeluk istrinya untuk memberikan pelukan hangat.
"Menurutmu, siapa orang yang bertanggung jawab atas kejadian yang menimpa Jimmy?"
Kepala Selina berputar menoleh sejenak memandangi wajah Febrian yang terlihat muram dan penuh pemikiran.
"Hanya Jimmy dan teman-temannya yang tahu. Kamu bisa menanyakan mereka setelah mereka sadar nanti." Jawab Selina dengan nada berat.
Meskipun ia tahu siapa pelakunya, Selina tak bisa mengungkapkannya pada Febrian. Jawabannya bisa menambahkan kecurigaan yang sudah ada dihati lelaki itu.
"Hhhh... Aku berharap kamu memberitahuku. Tapi sudahlah, besok aku akan tahu sendiri." Ucap Febrian, memejamkan matanya seraya menekan kepala istrinya agar lebih merapat dalam dekapannya.
Selina termangu, coba memahami arah perkataan suaminya. Lama kelamaan, setiap kalimat Febrian seolah mengandung arti dan penuh jebakan.
"Bersiaplah untuk hari esok! Kita akan berperang untuk merebut Harry dan Brenda dari tangan mereka!" ujar Febrian, dingin.
Lelaki itu bicara pelan, dengan ekspresi wajah datar, tanpa membuka matanya yang sedang terpejam rapat. Seakan apa yang ia ucapkan barusan, merupakan beban yang teramat berat untuk ia lakukan.
.
.
.
Apakah yang akan terjadi selanjutnya?