Desa Tirto Wening adalah sebuah desa yang ada di pelosok sebuah wilayah Kabupaten. Dipimpin oleh seorang pemimpin berdarah biru yang merupakan keturunan bangsawan keraton, desa itu terkenal dengan kemakmuran warganya.
Mahesa Narendra, pria tampan yang di gadang - gadang akan menjadi penerus kepemimpinan sang Ayah di Desa Tirto Wening, di minta untuk menikahi seorang gadis, putri dari sahabat Ayahnya.
Pak Suteja, sahabat sang Ayah, meminta Raden Mas Mahesa untuk menikahi putrinya yang bernama Anaya Tunggadewi. Semua itu Pak Suteja lakukan untuk melindungi putri semata wayangnya dari keluarga yang sedang memperebutkan harta waris.
Bagaimanakah romansa di antara keduanya?
akankah mereka berdua hidup bahagia?
apakah Anaya akan betah tinggal bersama suaminya di desa?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon GoodHand, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
35. Tidak Tau Diri
"Raden Ayu, kamu gak apa - apa, Nduk?" Tanya Gusti Ayu yang mendatangi rumah Eaden Mas Mahesa untuk melihat kondisi Anaya.
"Gak apa - apa, Bu. Hanya luka sedikit." Jawab Anaya sambil meringis.
"Astaghfirullah. Sedikit gimana to, Nduk. Lihat ini panjang sekali seperti ini kok." Ujar Gusti Ayu.
"Kita ke Dokter saja ya. Ini pasti perih sekali rasanya." Ajak Gusti Ayu.
"Itu, dari tadi aku ajak ke Dokter juga menolak, Bu." Sahut Raden Mas Mahesa.
"Aku gak apa - apa, Bu. Jangan khawatir, sudah gak sakit lagi." Jawab Anaya yang berusaha menenangkan Ibu Mertuanya.
"Untung saja Raden Mas gak ngobrak - abrik Pabriknya." Kekeh Raden Madana yang ikut datang bersama Gusti Ayu.
"Hampir saja aku mau gulingkan semua oven yang ada di sana." Sahut Raden Mas Mahesa yang membuat Anaya menelan kasar ludahnya.
"Kenapa Andini kok bisa kesandung sampai nabrak Raden Ayu? Ibu sudah tanyakan?" Tanya Raden Mas Mahesa.
"Katanya, dia keserimpet sendalnya, Raden Mas. Lalu gak sengaja menabrak Raden Ayu yang ada di depannya. Ternyata itu membuat Raden Ayu limbung dan jatuh menabrak oven." Jawab Gusti Ayu yang menjelaskan dari sudut pandang Andini.
"Kon nyeker wae sok neh. (Suruh berjalan tanpa alas kaki saja besok lagi.) Memangnya Istriku pagar beton yang tetap berdiri tegak setelah di dorong." Sahut Raden Mas Mahesa yang masih kesal, sementara Raden Madana hanya bisa tertawa melihat kekesalan Kakaknya.
"Jangan seperti itu to, Raden Mas. Gimana pun dia sepupumu dia juga sudah minta maaf karna tidak sengaja mencelakai Raden Ayu." Gusti Ayu menasehati putranya.
"Iya, Raden Mas. Jangan kesal seperti itu, lagi pula lukanya bisa sembuh kok, bekasnya juga bisa hilang. Nanti temanku kirimkan obat untuk menghilangkan bekas lukanya." Imbuh Anaya turut membujuk Suaminya.
Anaya pun merasa tak nyaman jika sampai Raden Mas Mahesa bersikap berbeda saat bertemu Andini nantinya.
"Ibu sama menantu kok sama saja." Sungut Raden Mas Mahesa yang membuat Anaya dan Gusti Ayu tersenyum.
...****************...
"Mas, aku boleh ke Pabrik kan hari ini?" Bujuk Anaya setelah luka di tangannya sudah kering.
"Tapi jangan ke tempat yang berbahaya, Dek Ayu." Jawab Raden Mas Mahesa.
"Iya.. Iya. Matur nuwun Raden Mas tresnane kulo. (Terima kasih Raden Mas cintaku)" Ujar Anaya yang di akhiri dengan kecupan di pipi suaminya.
"Njih, sami - sami Sayangku." Jawab Raden Mas Mahesa sambil tersenyum.
Keduanya kemudian sarapan bersama. Saat sedang menikmati sarapan, mereka berdua mendengar keributan di halaman depan rumah mereka. Keributan yang terjadi antara Jaka, Raka, dan suara yang sedikit asing di telinga Raden Mas Mahesa, namun tidak bagi Anaya.
"Siapa itu kok sudah bikin ribut pagi - pagi ini." Gerutu Raden Mas Mahesa.
"Mas, itu suara Tama." Lirih Anaya.
"Tama sepupu kamu?" Tanya Raden Mas Mahesa yang di jawab anggukan oleh Anaya.
Raden Mas Mahesa segera beranjak tanpa bicara apapun lagi. Wajahnya terlihat menahan gejolak amarah karena ketenangan di rumahnya sudah di usik. Anaya pun turut mengekor Suaminya, walaupun hanya sampai di ruang tamu dan mengintip di balik jendela.
"Ada apa? Kenapa kamu membuat keributan di rumahku pagi - pagi begini?" Suara tegas Raden Mas Mahesa membuat semua orang yang ada di sana terdiam. Termasuk sepupu Anaya yang ternyata tak datang sendiri.
"Dimana Mbak Anaya? Aku ingin bertemu dengan Mbak Anaya, Raden Mas." Pinta Tama.
"Untuk apa? Aku melarang Istriku untuk bertemu dengan bajingan seperti kalian." Jawab Raden Mas Mahesa dengan lantang.
"Tolong Raden Mas, jangan seperti ini. Bukankah kita saudara sepupu? Bagaimana pun, aku ini sepupu Istrimu." Bujuk Tama.
"Sepupu katamu? Cuuuiiihh!" Raden Mas meludah.
"Sepupu macam apa yang tega menyakiti sepupunya sendiri? Kamu tidak ingat, bagaimana saat kamu menyekap Istriku?" Geram Raden Mas Mahesa.
"Maafkan aku, Raden Mas. Aku di paksa paman Cokro untuk melakukan itu. Tolong maafkan aku." Ujar Tama yang kini berlutut di hadapan Raden Mas Mahesa.
"Semudah itu kamu minta maaf setelah apa yang kamu lakukan? Hahahaha jangan mimpi kamu!" Bentak Raden Mas Mahesa.
"Kenapa? Kamu butuh bantuan Istriku karna bisnismu yang sudah hancur?" Tanya Raden Mas Mahesa dengan wajah mengejek.
"Semua ini pasti ulah Raden Mas kan?" Tuduh Tama dengan geram. Pria itu mengepalkan tangannya dengan erat menahan amarah.
"Kalau iya, kenapa? Padahal ini baru permulaan. Tetapi kalian sudah mau menyembahku dan Istriku." Ujar Raden Mas Mahesa dengan senyum smirk.
"Hentikan, Raden Mas! Raden Mas bisa membunuhku juga anak dan Istriku." Ujar Tama.
"Apa kamu pernah berpikir seperti itu saat ikut merongrong harta Istri dan Ayah Mertuaku?" Tanya Raden Mas Mahesa.
"Nikmati saja awal dari penderitaan kalian. Aku bukan orang baik bagi manusia jahat." Imbuh Raden Mas Mahesa kemudian.
"Mbak Anaya! Mbak! Keluar lah Mbak, aku ingin bicara. Tolong maafkan aku dan hentikan perbuatan Suamimu pada kami. Kasihanilah keponakanmu, Mbak." Tama berteriak memanggil - manggil Anaya.
Sejujurnya, Anaya merasa tak tega. Terlebih mengingat sosok dua keponakannya yang tak bersalah. Namun, ini sudah menjadu keputusan Suaminya, dan ia tak ingin ikut campur dengan apa yang Raden Mas Mahesa lakukan pada orang - orang yang menjahatinya.
"Mbak Anaya! Tolong keluarlah, Mbak. Kita bicara baik - baik." Bujuk Tama yang masih berlutut.
Pada akhirnya, Anaya pun keluar dari dalam rumah. Raden Mas Mahesa segera mendekat ke arah Istrinya begitu melihatnya keluar.
"Ada apa?" Tanya Anaya.
"Mbak, tolonglah aku. Tolong suruh Raden Mas menghentikan ulahnya. Karna ulah Raden Mas, bisnis keluargaku hancur, Mbak. Gak hanya aku, saudaramu yang lain pun juga begitu." Ujar Tama.
"Maaf, aku gak bisa. Apa yang sudah di lakukan oleh Raden Mas, itu sudah ia pertimbangkan baik - baik. Aku gak bisa membantu." Jawab Anaya.
"Mbak! Kenapa kamu tega membiarkan kami menderita?" Sergah Tama yang mulai emosi.
"Apa dulu kalian pernah memikirkanku dan Ayahku? Apa dulu kalian pernah memikirkan perasaan kami?" Tanya Anaya.
"Kalian hidup berkelimpahan harta, Mbak. Harusnya kalian berbagi pada saudara yang lain." Jawab Tama.
"Kurang bagaimana kami berbagi pada kalian? Apa usaha yang kalian jalani itu kalian mulai sendiri dari nol? Enggak kan? Itu semua usaha yang di jalankan Ayahku sebelumnya. Kenapa kalian tidak pernah berterima kasih dan justru semakin merongrong?" Ujar Anaya yang emosi hingga dadanya naik turun.
"Sampun, Dek Ayu. (Sudah, Dek Ayu.)" Raden Mas Mahesa merangkul bahu Istrinya.
"Masuk ya, Sayang, biar ini menjadi urusanku." Imbuh Raden Mas Mahesa kemudian.
Anaya hanya bisa mengangguk sambil mengatur nafasnya yang naik turun karna emosi.
"Mbak Tika! Tolong bawa Raden Ayu ke kamar." Titah Raden Mas Mahesa.
Mbak Tika pun segera menjalankan perintah tuannya. Ia membawa Anaya masuk ke dalam kamarnya.
"Sudah dengar apa kata Istriku? Sekarang pergi dari sini dan jangan pernah datang lagi. Ingat, ini baru awal permainanku, aku pastikan kalian akan lebih menderita." Ujar Raden Mas Mahesa.