Sara Elowen, pemilik butik eksklusif di Paris, hidup dalam ketenangan semu setelah meninggalkan suaminya-pria yang hanya ia nikahi karena perjanjian.
Nicko Armano Velmier bukan pria biasa. Ia adalah pewaris dingin dari keluarga penguasa industri, pria yang tak pernah benar-benar hadir... sampai malam itu.
Di apartemen yang seharusnya aman, suara langkah itu kembali.
Dan Sara tahu-masa lalu yang ia kubur perlahan datang mengetuk pintu.
Sebuah pernikahan kontrak, rahasia yang lebih dalam dari sekadar kesepakatan, dan cinta yang mungkin... tak pernah mati.
"Apa ini hanya soal kontrak... atau ada hal lain yang belum kau katakan?"
Dark romance. Obsesif. Rahasia. Dan dua jiwa yang terikat oleh takdir yang tak pernah mereka pilih.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Just_Loa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Velmier
The Astraea Rooftop Lounge, Manhattan - 23.47 PM
Udara malam New York menyusup halus di antara pagar kaca transparan yang mengelilingi The Astraea Lounge. Club privat di puncak gedung pencakar langit ini tersembunyi dari dunia luar, tapi penuh dengan rahasia mahal milik mereka yang memerintahnya.
Musik ambient mengalun dari speaker tersembunyi, bercampur dengan denting gelas kristal dan tawa rendah para pengunjung eksklusif.
Nicko baru saja tiba, bukan karena ia mau, tapi karena empat sahabat lamanya memaksa. Ancaman mereka sederhana, jika ia menolak, malam ini penthouse Nicko akan berubah jadi tempat pesta. Dan Nicko tahu, mereka cukup gila untuk melakukannya tanpa rasa bersalah.
Langkahnya terdengar tenang saat melewati bar menuju area sofa VIP.
Damien, yang lebih dulu melihatnya, langsung berseru sambil mengangkat gelas,
"Lihat siapa yang akhirnya muncul dari persembunyiannya."
Axel menimpali dengan tawa, Kalau kau tak muncul malam ini, aku sudah siap kirim karangan bunga ke penthouse mu, Nick."
Nicko hanya mengangkat sebelah alis, melepas jaket kulit hitamnya lalu menjatuhkan diri ke sofa dengan gerakan santai. Ia menuang whiskey ke gelas kristal dan menyulut rokoknya perlahan, seolah waktu miliknya sepenuhnya.
Asap tipis mulai mengepul di antara mereka.
Kemeja hitamnya terbuka tiga kancing di dada, cukup untuk menampilkan tato samar di dadanya.
Di sekeliling meja oval itu, duduk empat sahabat lamanya Damien, Axel, Julien, dan Rei.
Mereka tumbuh bersama, lalu membangun jalan masing-masing, ada yang mewarisi bisnis keluarga, ada yang menciptakan kerajaan sendiri. Dunia mengenal mereka sebagai pengusaha muda dengan pengaruh di bidang seni, teknologi, pasar saham, dan parfum.
Dan seperti biasa, malam itu mereka ditemani wanita-wanita cantik bergaun glamor dan tawa ringan.
Nicko tetap sendiri. Kursi di sisinya selalu kosong.
"Kemana saja kau, Velmier?" Damien membuka suara sambil menghembuskan asap cerutunya.
Axel terkekeh. "Oh, kalian belum dengar? Si Lord ini sudah punya mainan baru."
Julien memutar mata, menatap Nicko yang tengah menyalakan rokok. "Pasti mainan yang luar biasa sampai bisa membuatmu lupa meja taruhan selama ini."
Nicko hanya menyeringai tipis, mengepulkan asap rokok pelan.
"Aku sibuk."
"Dengan apa?" tanya Rei santai, lengannya masih melingkar di bahu wanita di sebelahnya. "Kita semua sibuk. Tapi kesibukanmu...sepertinya berbeda."
Nicko menyesap whiskey-nya, lalu menatap mereka satu per satu. Asap rokoknya melayang pelan di udara sebelum ia menyelipkan batangnya di tepi asbak kristal.
"Aku sibuk... dengan sesuatu yang tak kalian miliki."
Sejenak meja itu hening. Rei menyipitkan mata. "Maksudmu.. apa?"
Julien mencondongkan tubuh, alisnya terangkat. "Saham rahasia? Proyek ilegal?"
Nicko hanya tersenyum tipis, tak memberi jawaban.
Damien akhirnya tertawa pelan, menunjuknya dengan cerutu.
"Istri?"
Nicko hanya menyunggingkan senyum samar, menyesap whiskeynya.
"Menarik, tebakanmu."
Sejenak meja itu hening. Axel menurunkan gelas, Julien mencondongkan tubuh, matanya membulat.
Nicko akhirnya mengangkat alis tipis, suaranya datar.
"Tepat."
Julien tersedak minumannya. "Serius? Kau menikah?"
Nada tidak percayanya terdengar jelas. "Tuan Dingin dan Tak Tersentuh akhirnya mengikat diri? Konyol sekali."
Rei menyipitkan mata, senyum tipis tersungging.
"Pernikahan? Jangan bilang kau melakukannya demi... cinta, Nick."
Nicko tertawa pendek, tanpa benar-benar tersenyum.
"Cinta tidak ada dalam kontrakku. Yang ada hanya kontrol."
Sejenak meja itu hening. Axel mendengus, menggeleng tak percaya.
"Kontrol? Kau bicara soal istri atau saham mayoritas?"
Nicko meraih rokoknya kembali, menyalakan api dengan gerakan santai.
"Dua-duanya bekerja dengan prinsip yang sama, siapa yang memegang kendali, dialah yang bertahan."
Damien terkekeh, matanya berkilat penuh minat.
"Dan wanita itu? Apa dia sadar sedang jadi bagian dari eksperimenmu?"
Nicko mengembuskan asap, tatapannya menusuk tapi tetap dingin.
"Dia sadar. Justru itu yang membuatnya berharga."
Julien mencondongkan tubuh, wajahnya campuran antara jijik dan kagum.
"Kau terdengar seperti penjahat dalam novel murahan, Nick."
Nicko menyeringai tipis, akhirnya menatap mereka satu per satu.
"Bedanya, aku nyata... Julien."
Tawa mereka padam, tersisa hanya aroma asap dan ketegangan yang menekan.
Julien terkekeh, menepuk meja.
"Wanita mana yang puas dengan trik tanganmu, Velmier? Seriously… you’re such a loser. Totally useless at sex.”
Nicko hanya tersenyum tipis.
“When I want, I own.”
Julien tertawa keras, menepuk meja.
“Damn, Velmier… only you could say that shit.”
Axel mengangkat alis sambil menyeringai.
“Cold as ever, huh?”
Nicko tidak menjawab, hanya mengepulkan asap rokok, membiarkan mereka menertawakan kalimat yang baginya lebih serius dari yang terlihat.
Damien mencondongkan tubuh, senyum nakal.
"Jadi kau hanya main-main, atau ada yang benar-benar kau serahkan?"
Nicko menatap gelasnya sebentar.
"I gave her everything."
Sejenak keheningan menyelimuti meja.
Semua mata tertuju pada Nicko. Tidak ada tawa. Tidak ada komentar.
Nicko hanya memutar gelasnya perlahan. Cairan amber di dalamnya berputar lembut, memantulkan cahaya lampu bar. Senyum tipisnya tetap ada, tapi sorot matanya... dingin.
Dalam diam itu, pikirannya melayang. Satu jam lalu....
Sara menatapnya penuh kebencian, matanya merah, tangan gemetar memegang gelas anggur yang kini tinggal setengah. Nicko tersenyum melihatnya, bukan kebiasaan Sara menatapnya seperti itu. Sosoknya terlihat rentan, namun tetap cantik.
Nicko memperhatikan dari jarak dekat. Dengan tenang, ia melangkah mendekat menyampirkan jasnya di bahu Sara.
Sara mengangkat gelasnya hendak meneguk lagi, tapi tangan Nicko menahan perlahan, meletakkan gelas itu kembali di meja.
“Cukup. Kau mabuk Sara. Ayo kita pulang,” katanya, senyum tipis menghiasi wajahnya.
Sara menepis jas itu sebentar, menyipitkan mata.
“Aku tidak mabuk! Dan jangan kira aku mau pulang hanya untuk tidur di pelukanmu,” katanya penuh penolakan.
Nicko tertawa pendek, matanya menyipit geli, lalu menarik kursi dan duduk di sebelah Sara. Tatapannya intens, matanya menelusuri wajahnya.
Senyumnya lembut tapi tulus, campuran geli dan kagum, melihat Sara yang kacau karena dua gelas anggur.
“Ah, jadi kau mabuk… tapi masih berani menolakku? Lucu sekali,” suaranya datar tapi menggoda.
Sara menutup matanya, sedikit bersandar ke bahu Nicko.
“I hate you for all you’ve done,” gumamnya, suaranya lemah tapi penuh kebencian.
Air mata menetes perlahan di pipinya, tapi ia tetap tidak menoleh.
Nicko mencondongkan tubuh, menatapnya intens.
“Good,” bisiknya, suaranya rendah dan dingin. “Because I want it that way.”
Dan saat akhirnya ia bersandar padanya, tertidur begitu saja, Nicko tak bisa menahan senyum miring.
Sara Elowen, biasanya tenang dan terkendali, kini terlelap setelah dua gelas anggur. Ia bukan peminum, tapi malam ini meneguk cepat, seolah ingin menghapus keberadaannya sendiri. Nicko tersenyum tipis melihatnya.
Bukan karena rayuan.
Bukan karena kelembutan.
Melainkan karena wanita itu terlalu muak, terlalu lelah, hingga memberi celah.
Dan Nicko tak pernah menyia-nyiakan celah.
Nicko tersenyum tipis, senyum yang hanya menyentuh satu sisi bibir. Tangannya meraih rokok yang tinggal puntung, lalu mematikannya di asbak kristal.
Damien sempat melirik. "Apa itu? Senyum puas?"
Axel ikut mencondongkan badan. "Sejak kapan Velmier main di ranah perasaan?"
Nicko hanya menggeleng pelan, tapi matanya... tak bisa berbohong.
Ada sesuatu yang baru saja ia kenang.
Sesuatu yang membuat darahnya tetap panas meski angin malam menusuk.
Dan hanya satu nama yang ada di balik semua itu.
Tapi seperti biasa, ia tak memberi mereka celah.
"Kali ini berbeda. Aku menikah karena aku mau," ujarnya datar.
"Kalian saja yang terlalu sering mencari yang bisa dibeli. Sampai lupa... ada hal yang cuma bisa ditundukkan."
Julien tertawa pendek, menegakkan duduknya.
"Dan kau yakin sudah menundukkannya?"
Matanya menyipit, nadanya setengah mengejek.
"Velmier, hal yang bisa kau tundukkan... biasanya juga bisa menghancurkanmu saat kau lengah."
Nicko menatapnya lama, tatapannya nyaris tak berkedip. Lalu ia mengangkat gelas whiskey-nya, menyesap sedikit sebelum berbicara.
"Kalau bisa menghancurkanku... berarti memang pantas untuk kumiliki."
Julien mendengus pelan, menatap Nicko sambil mengangkat gelas.
"Jika istrimu itu memang benar nyata, kenapa kau tidak membawanya kemari?"
Nicko hanya tersenyum remeh, memutar gelas whiskey di tangannya.
"Dia tidak suka tempat seperti ini. Dan aku juga tidak berniat menjadikannya pajangan."
Rei mengangkat alis, nada suaranya datar tapi menyimpan rasa ingin tahu.
"Semakin kau menyembunyikannya, Velmier… semakin kami ingin tahu. Wanita seperti apa yang bisa membuatmu bicara begini."
Nicko menyesap whiskey-nya pelan.
"Istriku tidak butuh panggung dan tak akan kubuat jika ia tak mau,"
Damien terkekeh, menyandarkan diri di kursi.
"Hanya kau yang bisa membuat hal seperti itu terdengar… menakutkan dan memikat sekaligus."
Axel tertawa rendah, menepuk bahu Nicko.
"Baiklah, Velmier. Jadi kita semua cuma penonton dalam permainanmu?"
Damien ikut tertawa, mengangkat gelas.
"Kalau begitu, mari kita minum untuk misteri itu semoga dia tahu seberapa berpengaruhnya wanita itu."
Rei menyeringai tipis, menyesap minumnya.
"Tentu saja, dan kita semua akan terus penasaran. Tapi setidaknya malam ini, Velmier menang."
Mereka tertawa lagi, tapi tawa yang lebih pelan. Lebih hati-hati.
Karena meskipun Nicko tampak santai...
Mereka tahu. Ada sesuatu, atau seseorang, yang sedang menguasai pria itu perlahan.
Dan tidak akan ada satu pun dari mereka yang bisa menyentuhnya.
akan melakukan nya lagi dengan Sura
dan pada akhirnya sura berkata jujur karena minuman minuman itu...
hanya author yg tau
lanjut thor ceritanya
pelan" akan terobati...
kasihan Nick selalu bermain solo
karena ingin menyembuhkan Sara...
lanjut thor ceritanya
Sara bisa tenang
berada di sisi Nick
bisa jadi obat untuk trauma nya
yg menyakiti akan menyembuhkan
lanjut thor ceritanya
tetapi masih mengikuti keegoisannya...
lanjut thor ceritanya
di tunggu updatenya lagi