Aila Rusli tumbuh dalam keluarga pesantren yang penuh kasih dan ilmu agama. Diam-diam, ia menyimpan cinta kepada Abian Respati, putra bungsu Abah Hasan, ayah angkatnya sendiri. Namun cinta mereka tak berjalan mudah. Ketika batas dilanggar, Abah Hasan mengambil keputusan besar, mengirim Abian ke Kairo, demi menjaga kehormatan dan masa depan mereka.
Bertahun-tahun kemudian, Abian kembali untuk menunaikan janji suci, menikahi Aila. Tapi di balik rencana pernikahan itu, ada rahasia yang mengintai, mengancam ketenangan cinta yang selama ini dibangun dalam doa dan ketulusan.
Apakah cinta yang tumbuh dalam kesucian mampu bertahan saat rahasia masa lalu terungkap?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ZIZIPEDI, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
PENANTIAN CINTA HALAL
Bayu duduk di tepi ranjang, membisu. Pandangannya kosong menatap langit-langit kamar, sementara tangannya saling bertaut gelisah. Helaan napasnya berat.
Pintu kamar terbuka pelan. Aila masuk, mengenakan baju tidur sederhana, lalu berjalan perlahan dan duduk di sisi ranjang. Ia menatap Bayu lama, seolah mencari celah untuk memahami pikiran suaminya itu.
“Kenapa Mas tanggung semuanya sendiri?” suara Aila tenang, tapi terdengar dalam dan menyentuh.
Bayu tak langsung menjawab. Ia hanya menghela napas pelan.
Aila melanjutkan, “Mas Bayu tahu kan, tindakan Mas mempertahankan Mbak Zea… bisa jadi bumerang. Nama baik pondok, nama baik keluarga… juga nama baik Mas sendiri, semuanya sedang dipertaruhkan.”
Bayu menunduk.
“Sekarang, apa yang akan Mas lakukan? Mas mau umumkan bahwa bayi itu bukan anak Mas? Bahwa pernikahan Mas dan Mbak Zea sebenarnya cacat hukum menurut agama?”
Aila menatap wajah Bayu, berusaha menahan emosi yang membuncah.
“Tapi menurutku, itu terlalu kejam, Mas. Mbak Zea sudah cukup hancur. Kalau Mas buka semuanya, dia bisa lebih hancur lagi. Bahkan mungkin… tak bisa berdiri lagi.”
Bayu masih diam. Matanya memejam perlahan, menahan getir di dada. Suara Aila menggema dalam benaknya.
Aila menggeser duduknya lebih dekat, lalu melanjutkan lembut, “Aku tahu, Mas Bayu nggak tahu apa-apa saat menikahi Mbak Zea. Aku tahu Mas hanya ingin menolong. Tapi… sekarang setelah semuanya begini, apa Mas akan terus jadi tameng buat dia, sampai kapan?”
Bayu membuka mata. Perlahan, ia mengalihkan pandangannya ke Aila. Bibirnya bergetar, nyaris bicara, namun kembali diam. Ia tahu, kebenaran memang harus disuarakan, tapi tidak semua kebenaran perlu diumumkan pada dunia, terutama jika itu hanya akan menambah luka.
Langkah kaki Bayu terhenti di depan kamar Azela. Pintu terbuka sedikit. Dari celahnya, ia bisa melihat Azela tengah memasukkan baju-baju ke dalam koper. Di sudut kamar, Baby Azril tertidur dalam boks kecil, tak tahu bahwa hidupnya akan segera berubah.
Bayu mengetuk pelan pintu. “Zel…”
Azela menoleh sejenak, lalu kembali melipat pakaian. “Masuk aja, Mas.”
Bayu melangkah pelan, berdiri di ambang pintu dengan tatapan yang tak sanggup disembunyikan: sedih, bingung, dan... kosong.
“Kamu mau ke mana?” tanyanya lirih.
“Pergi. Dari rumah ini. Dari hidup Mas Bayu.” jawab Azela tanpa menatap.
Bayu menarik napas panjang. “Zel, kita bisa bicara baik-baik. Jangan pergi begini…”
Azela menghentikan tangannya. Ia berdiri, menatap Bayu dengan mata yang sembab tapi mantap.
“Sudah terlalu lama aku menunda ini, Mas. Aku tahu… sejak awal semua ini salah. Aku menipu Mas, menutupi kehamilan itu, pura-pura semuanya baik-baik saja. Tapi Mas Bayu terlalu baik. Bahkan setelah tahu kebenarannya pun, Mas tetap bertahan.”
Bayu tak menyahut. Azela melanjutkan dengan suara yang mulai bergetar, “Tapi Mas… aku nggak bisa terus-terusan ngumpet di balik kebaikan Mas. Mas nggak pantas diseret-seret terus dalam hidupku. Bayi ini… bukan anak kandung Mas. Aku nggak mau Azril tumbuh besar dalam kebohongan, dan aku nggak mau Mas harus terus berkorban demi kesalahan yang bukan Mas buat.”
Tangannya menggenggam koper yang hampir penuh. Tapi sebelum ia menutupnya, ia berbalik sekali lagi, kali ini tatapannya lembut, suaranya lirih.
“Mas Bayu… selama jadi istri Mas, meski hanya di atas kertas, aku bahagia. Sangat bahagia. Mas tahu kenapa?”
Bayu menggeleng pelan.
“Karena Mas nggak pernah memperlakukan aku seperti perempuan yang hina. Karena Mas bikin aku merasa dihargai… Mas memperlakukan aku seperti… manusia. Bahkan lebih dari itu. Aku jatuh cinta, Mas. Aku jatuh cinta sama ketulusan dan ketegaran Mas.”
Bayu menatap Azela lekat-lekat. Bibirnya terbuka, tapi tak satu pun kata bisa keluar. Hatinya bergetar mendengar pengakuan jujur itu.
Azela menunduk, menyeka air matanya cepat-cepat. “Tapi cinta nggak cukup buat aku tetap di sini. Nggak cukup buat nutupin luka masa lalu. Dan aku nggak mau, Mas Bayu ngerasa terjebak.”
Ia menggandeng koper, lalu menghampiri boks bayi dan mengangkat Azril dengan penuh kasih.
“Aku akan pergi, Mas. Tapi aku nggak akan pernah lupa kebaikan Mas Bayu. Terima kasih… karena pernah jadi pelindung buat aku dan Azril.”
Azela melewati Bayu perlahan. Tapi saat berada di depan pintu, Bayu akhirnya bersuara.
“Zel…”
Langkah Azela terhenti.
“Kalau kamu butuh apa pun… kapan pun, hubungi aku.”
Azela hanya menunduk pelan. Lalu melangkah pergi.
Dan Bayu hanya bisa berdiri di sana, merasakan kekosongan yang ditinggalkan oleh kejujuran seorang perempuan, yang akhirnya mencintainya, justru saat ia akan pergi.