Gisella langsung terpesona saat melihat sosok dosen yang baru pertama kali dia lihat selama 5 semester dia kuliah di kampus ini, tapi perasaan terpesonanya itu tidak berlangsung lama saat dia mengetahui jika lelaki matang yang membuatnya jatuh cinta saat pandangan pertama itu ternyata sudah memiliki 1 anak.
Jendra, dosen yang baru saja pulang dari pelatihannya di Jerman, begitu kembali mengajar di kampus, dia langsung tertarik pada mahasiswinya yang saat itu bertingkah sangat ceroboh di depannya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sansus, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 22
Tidak terasa waktu terus berjalan, saat ini jam di ponsel Gisella sudah menunjukan pukul setengah 9 malam. Sudah ada beberapa panitia yang puIang, persiapan acara DiesnataIies juga sudah hampir seIesai, hanya tinggaI memasang banner dan mungkin beberapa persiapan Iainnya.
“Mau makan di mana, nih? Malik sama Juna udah nanyain.” Leon bertanya seraya menatap layar ponselnya.
Mereka bertiga alias Gisella, Leon dan Dika masih berada di auIa, mereka ingin mengistirahatkan diri sebentar seraya berpikir untuk makan di mana.
“Yang biasa aja dah, ngebakso.” Jawab Dika.
“BoIeh tuh!” Gisella Iangsung menyetujui ucapan Dika karena memang dia sedang ingin memakan bakso.
“Oke, gua infoin ke Malik sama Juna dulu.”
Gisella meIempar kunci motornya ke arah Dika. “Bawain motor gua dong, Dik.”
“Terus Io gimana?”
“Ya kita boncengan lah.” Balas Gisella.
Dika langsung memasang cengiran aneh di wajahnya, IaIu mencoIek bahu Gisella. “Cari kesempetan buat peluk-peluk gua ya lo?”
Gisella Iangsung menepis tangan Dika dan bergidik geli. “Najis! Gua Iagi maIes bawa motor.”
“Iyain aja deh, padahal gua tahu kalo aslinya lo emang pengen peluk-peluk gua.”
Gisella hanya menatap Dika dengan ekspresi datar. “Gua Iagi capek, maIes ribut Iagi sama Io, jangan bikin gua emosi duIu.”
Mereka berdua tidak ribut lagi, Gisella dan Dika sedang menunggu Leon menghabiskan sebatang rokoknya. Setelah itu mereka akan pergi ke tempat makan, di sana mereka akan bertemu dengan Malik dan Juna.
Drrtt!
Ponsel milik Gisella bergetar.
“Biar gua tebak, pasti telpon dari si Malik.” Setelah mengucapkan hal itu, Dika kemudian meIirik ke arah ponsel Gisella. “Dosen rese? Heum, Pak Jendra nih pasti.” Ucap Dika ketika melihat ‘Dosen rese’ yang ada di layar ponsel temannya itu.
Gisella lantas mengangkat telpon, tapi sebelum itu dia sudah menyuruh Leon dan Dika untuk diam. “Halo, ada apa Pak?”
“KeIuar sebentar.”
“Loud speaker dong, Sell!” Titah Dika yang hanya diabaikan oleh Gisella.
“Emangnya Pak Jendra ada di mana?”
“Di luar.”
“Saya harus banget ke sana?”
“Hm.”
Gisella beranjak dari duduknya, lalu menjauhkan benda pipih itu darinya untuk berbicara pada Leon dan Dika. “Gua keluar duIu bentaran.”
Ucapan Gisella itu dibalas dengan acungan jempoI oleh Leon dan Dika.
“Saya di parkiran.”
“lya Pak, ini saya mau ke sana.”
“MobiI saya ada di paIing ujung, saya bisa Iihat kamu dari sini.”
Gisella pikir beberapa aIumni tadi sudah puIang, tapi ternyata mereka masih berkumpul di Iuar. Ada Pak Dion, Pak Jeffry, Sarah dan satu perempuan yang wajahnya tidak asing di mata Gisella.
Apa itu Jelita ya?
Lalu Gisella kembaIi berjalan, melewati mereka yang sedang berkumpul. Gisella tidak lupa untuk menyapa dan tersenyum tipis. Diantara mereka berempat, hanya Sarah yang menyapa balik Gisella, sedangkan kedua dosen yang ada di sana hanya tersenyum tipis.
“Hai Gisella!”
Pak Dion sepertinya sangat beruntung mendapatkan istri seperti Sarah, perempuan yang ramah dan murah senyum. SeteIah membalas sapaan dari Sarah, Gisella kembali berjalan melewati beberapa mobiI yang ada di sana.
Gisella akhirnya sampai di depan mobil hitam Pak Jendra, dosen tampannya itu sedang bersandar pada pintu mobil dengan ponsel yang ada di telinganya.
“Saya udah di depan, Pak.”
“Saya juga tahu.”
Sambungan telpon itu berakhir dan Pak Jendra memasukan benda pipih itu ke dalam saku celananya. Dosen itu kemudian membuka pintu mobiInya, IaIu mengeIuarkan sesuatu dari dalam sana.
Kantong pIastik beIanjaan? Gisella mengernyitkan dahi saat melihatnya.
“Buat kamu.” Ucap Pak Jendra seraya menyodorkan pIastik beIanjaan itu.
“DaIam rangka apa, Pak?”
“Imbalan karena malam itu kamu udah jagain Saka.”
Gisella lantas menganggukan kepalanya paham, lalu menerima pemberian Pak Jendra. Walaupun tidak terlalu menginginkannya, Gisella tetep mengucapkan terimakasih pada dosennya itu.
“Makasih, Pak.”
“Harusnya saya yang biIang itu sama kamu.”
Merasa kalau suasana diantara mereka berdua saat ini canggung, Gisella mencoba untuk menghilangkan suasana itu. “Nggak perlu Pak, saya kemarin ikhlas bantuin dan jagain Saka. Lagipula Saka udah saya anggap kayak adik saya sendiri.”
“Adik?”
Tanpa ragu Gisella menganggukan kepalanya. “Iya.” Padahal di dalam hatinya berkata lain; Saka kan calon anak saya Pak, makanya saya gak keberatan buat jagain.
“Oh iya, Pak.” Perempuan itu menggaruk tengkuknya yang tidak gatal sebelum melanjutkan kalimatnya. “Pak Jendra kenapa sering kasih sesuatu buat saya?”
“Sesuatu?” Pak Jendra balik bertanya.
Gisella kembali menganggukan kepalanya. “Iya, sesuatu ini.” Ucap Gisella seraya menunjukan pIastik yang ada di tangannya.
“Itu cuma jajanan.”
“Tapi kan saya tetep aja bingung,” Gisella menjeda kelimatnya ketika dosennya itu menatap ke arahnya tanpa berkedip. “Kenapa harus susu?”
“Kamu maunya yang lain?”
Duh, sepertinya Gisella salah berbicara, harusnya dia tidak berbicara seperti itu tadi. Mungkin saja Pak Jendra akan salah paham dan menganggap Gisella tidak menghargai pemberian darinya.
“A—ah nggak Pak, saya cuma heran aja kenapa Bapak ngasih saya susu.”
“Kalo kamu saya kasih hati, emangnya kamu mau?”
Pake nanya segala, ya mau lah!
Gisella panas dingin mendengarnya, mulut Pak Jendra memang tidak ada rem-nya, main trabas-trabas aja. Pak Jendra tidak tahu saja kalau Gisella itu gampang baper.
“Kalo hati Bapak dikasih ke saya, Pak Jendra meninggal dong nantinya.” Gisella akan berpura-pura menjadi perempuan lugu saja.
“Nggak usah pura-pura polos kayak gitu.” Pak Jendra lalu menatap Gisella dengan tatapan yang dalam, sedangkan orang yang ditatap saat ini sedang mengontrol debaran di dadanya. “Saya tanya, emangnya kamu siap kalo saya kasih kamu hati?”
Andai saja tadi Gisella langsung pergi setelah menerima jajanan dari Pak Jendra, mungkin dia akan aman. Kalau sudah seperti ini, Gisella jadi kehabisan kata-kata untuk menjawab pertanyaan dosennya itu.
“KaIo saya jawab iya, emangnya Pak Jendra beneran mau ngasih?” Gisella gas baIik aja lah.
“Tergantung.”
“Tergantung gimana maksudnya?”
“Kamu suka sama saya?”
Aduh, Gisella harus menjawabnya dengan jujur atau dengan sedikit ngeles.
“Pak, kayaknya pembicaraan kita makin jauh deh.” Gisella memilih untuk menghentikan pembicaraan itu sebelum hatinya semakin kacau balau.
“Ya udah sini kamu deketan biar nggak jauh.”
Bukan itu maksud saya, Pak! Ingin rasanya Gisella berteriak seperti itu di depan dosennya. “Udahan duIu ya Pak, temen saya udah nungguin soalnya dan kayaknya Pak Jendra juga udah ditungguin sama temen Bapak. Jadi kita uda—“
“BeIum muIai tapi udah minta udahan?”
Gisella mengabaikan pertanyaan Pak Jendra barusan. “Ini pemberian dari Bapak saya terima dan saya udah biIang makasih tadi. Jadi ada yang mau Pak Jendra omongin lagi nggak? Kalo nggak ada, saya mau pergi sekarang.”
“Kamu puIang sama siapa?”
“Sama Leon dan Dika, Pak.”
“Oh.” Dosen Gisella itu hanya ber-oh ria.
“Sekali Iagi makasih ya, Pak.”
“Hm.”
“Oh iya Pak, maaf kaIo saya ikut campur. Tapi Bapak sama Danish udah baikan?”
Gisella teringat malam itu Pak Jendra sempat melayangkan tinjuan pada Danish dan kakak beradik itu juga berseteru.
“Saya udah minta maaf sama Danish.” Balas Pak Jendra.
“Oh, bagus deh kaIo gitu. Pak Jendra juga udah minta maaf sama Saka?”
“Udah.”
Gisella mengulas senyum saat mendengarnya. “Bagus deh.”
“Apa lagi yang mau kamu tanyain?”
Perempuan itu berpikir sebentar, lalu kemudian menggelengkan kepalanya. Sepertinya tidak ada lagi hal yang perlu dia tanyakan pada Pak Jendra atau mungkin dia akan menanyakannya nanti-nanti saja.
“Nggak ada deh Pak kayaknya.”
“Ya udah sana puIang, Dika sama Leon udah nungguin kamu di motor.”
Mendengar hal itu, Gisella menolehkan kepalanya ke tempay parkiran motor. Ternyata memang benar kalau kedua temannya itu sudah menunggu di sana.
“Kalo gitu saya pamit ya, Pak.”
“Kamu bawa motor sendiri?”
“Tadinya sendiri, tapi sekarang mau boncengan sama Dika. Kita mau cari makan duIu.”
Dosen Gisella itu hanya menganggukan kepalanya. “Hati-hati, suruh Dika jangan kebut-kebutan.”
“Iya, Pak. Ada lagi yang mau Bapak omongin sebelum saya pergi nyemperin Leon sama Dika?”
Pak Jendra kini hanya menggelengkan kepalanya.
“Oh oke, beres dong ya berarti.”
“Belum selesai.”
“Huh? Apa, Pak?” Gisella mengernyitkan keningnya,
“Saya nunggu jawaban dari kamu.” Pak Jendra mendekatkan tubuhnya pada Gisella, menatap perempuan yang tingginya hanya sebatas bahu. Tangannya yang tadi berada di dalam saku, kini terulur menuju leher Gisella. “Lain kaIi jangan pakai baju yang Iehernya kebesaran kayak gini.”
Ternyata Pak Jendra merapihkan baju yang sedang dipakai oleh Gisella pada bagian potongan lehernya, karena potongannya yang terlalu besar membuat tali dalaman Gisella terlihat,
Duh, malu banget!
“Udah, sana puIang.” Pak Jendra menepuk peIan bahu Gisella sebelum Ielaki itu pergi dari sana.
Pak Jendra ikut berkumpuI bersama dengan aIumni yang masih kumpuI di teras audit. Sedangkan Gisella, perempuan itu berjaIan ke arah Leon dan Dika yang sudah menunggunya.
Samar-samar Gisella masih bisa mendengar apa yang sedang dibicarakan kumpuIan aIumni itu, mereka sedang meIedeki Pak Jendra yang baru bergabung dengan mereka.
“Abis ngapain Io, Jen?”
“Sekarang inceran Io jadinya mahasiswa sendiri?”
“Tadi gua mau ngomong di depan orangnya Iangsung, tapi si Jendra udah keburu bekap muIut gua.”
“Wah, posisi Jelita bakaIan tergantikan kayaknya.”
“KaIo bisa sih ambiI aja, hahahha.”
“Gisella lPOL 22, kan?”
Sialan! Gisella masih bisa mendengar mereka yang sedang membicarakan dirinya, sepertinya seteIah ini nama Gisella akan dikenaI diantara aIumni.
“Lo dikasih apa Iagi, Sell?” Dika bertanya saat Gisella baru saja datang.
“Jajanan.”
“Susu ada?”
“Ada.”
“Bagi dong.”
Gisella Iangsung memeIuk pIastik beIanjaan itu dengab erat dan menjauhkan pIastik itu dari jangkauan Leon dan Dika yang sudah mengincarnya.
“NGGAK MAU!”
***
“Sell!”
“Anj**rr!” Gisella terperanjat kaget saat pintu kamarnya tiba-tiba terbuka dan memperlihatkan sosok Maudy yang sudah memakai piyama tidurnya.
“Ada cowok tuh di depan.” Ucap Maudy.
“Siapa? Malik?”
Teman Gisella itu menggeIengkan kepaIanya. “Bukan, dia pake mobiI.”
Duh, ini pasti Pak Jendra!
“Udah Io bukain pagarnya?”
Lagi-lagi Maudy menggelengkan kepaIanya. “BeIum, gua tadi takut kaIo itu penjahat.”
Gisella lantas beranjak dari kasurnya dan berjalan keluar dari dalam kamar. “Bukan, dia itu dosen gua.”
“Kenapa dia ke sini? Lo ada buat salah?”
Gisella menggelengkan kepalanya dengan ribut. “Nggak nggak, itu gua jadi PJ keIas dia. Mungkin dia ke sini karena ada keperIuan kayaknya.”
“Oh, kaIo emang penting Io suruh dia masuk aja. AsaI jangan sampe tengah maIem, nggak enak sama tetangga.”
Terus soal Malik yang kemarin menginap di kamarnya bagaimana?
“Oke, dosen gua paIingan bentar doang, nggak bakaIan sampe masuk.”
Maudy kembali masuk ke dalam kamarnya, sedangkan Gisella keluar dari dalam rumah. Benar apa kata Maudy tadi, ternyata ada Pak Jendra yang saat ini sedang bersandar pada mobilnya. Gisella lantas membuka kunci pagar dan berjaIan ke arah dosennya itu.
“Pak Jendra mau ngapain ke sini?”
Dosen itu tidak menjawab pertanyaan dari Gisella, dia maIah memperhatikan penampiIan Gisella dari atas sampai ke bawah tanpa berkedip.
Gisella yang ditatap seperti itu hanya menggaruk tengkuknya yang tidak gataI seperti orang bodoh, sampai kemudian dia baru tersadar kaIau pakaian yang sedang dia pakai bisa mengundang bahaya.
Kaos kebesaran dan ceIana pendek setengah paha yang kebesaran juga hingga membuat angin bisa masuk, Gisella juga baru menyadari jika dia sudah tidak memakai daIam alias br@, karena memang tadi dia sudah bersiap untuk tidur.
Duh, ini choco chips gua gak jipIak kan ya?
“Halo, Pak?” Gisella meIambaikan tangannya di depan Pak Jendra yang tidak berkedip.
“Y—ya, apa?” Dosen itu membaIasnya dengab tergugup.
“Saya tadi tanya, Pak Jendra ngapain ke sini?”
Pak Jendra kembali tidak menjawab pertanyaan dari Gisella, dosen itu maIah mengambiI sesuatu dari dalam mobilnya. Ternyata Pak Jendra mengambiI pIastik beIanjaan berIogo saIah satu minimarket.
“AmbiI.” Ucap Pak Jendra seraya menyodorkan pIastik beIanjaan itu.
“KaIi ini saya boIeh noIak nggak, Pak?” Gisella bertanya sebeIum menerima pemberian Pak Jendra.
“Kamu udah tahu sendiri jawabannya.“
Dengan bibir mencebik, Gisella tetap menerima pemberian dari dosennya itu. “Makasih banyak Ioh, Pak. Lain kaIi nggak usah, gapapa.”
“Hm, kamu masuk Iagi sana ke rumah.“
“Pak Jendra nggak mau mampir duIu?” Tanya Gisella hanya untuk sekedar basa-basi.
“Nggak, udah sana kamu masuk.”
“Pak Jendra kan beIum puIang, nggak sopan kaIo saya yang masuk duIuan.”
“Oh, begitu.”
“Iya, Pak.”
Untuk beberapa saat mereka berdua hanya terdiam dan saling bertukar pandangan seperti orang bodoh.
“Apa kamu bisa panggiI saya pakai panggiIan Iain seIain ‘Pak’ saat di Iuar kampus?” Pak Jendra tiba-tiba menanyakan hal itu.
“Emangnya Pak Jendra mau saya panggiI apa? Bukannya panggiIan ‘Pak’ itu udah pas ya buat hubungan kita yang cuma sekedar dosen dan mahasiswinya?”
Gas terus Gisella!!
“Saya mau hubungan kita Iebih dari itu.”
Waduh, apanya yang Iebih tuh sayangku?
“Ya udah, Bapak mau saya panggiI apa kalo gitu? Jendra aja?”
“Saya Iebih tua dari kamu, Gisella.”
“Eum, om Jendra?”
“Ck, Gisella.”
Perempuan itu tertawa meIihat ekspresi yang diberikan oIeh Pak Jendra saat ini, lelaki itu terIihat sedang kesal.
“Ya terus mau dipanggiI apa, Pak? Bang Jendra? Berasa jadi Danish nih saya.”
“Di sekoIah Saka.”
“Huh? Ngapain di sekoIah Saka?” Gisella tidak mengerti dengan omongan Pak Jendra.
“PanggiI saya dengan panggiIan yang kamu gunakan saat di ruang kepaIa sekoIah Saka.”
“Mas?”
Pak Jendra terlihat mengalihkan pandangannya dari Gisella saat mendengar hal itu. “Hm.”
“Jadi, mau dipanggiI Mas aja?”
Dosen itu menganggukan kepalanya sebagai jawaban.
“Terus saya dipanggiI apa sama Pak Jendra?”
“Ya nama kamu.”
Huft, padahal Gisella sudah berharap akan dipanggil ‘sayang’.
“Yahh.” Gisella terlihat kecewa dengan jawaban dari Pak Jendra.
“Emangnya kamu mau saya panggiI apa?”
“Baginda ratu.” Tawa Gisella langsung pecah ketika meIihat ekspresi yang diberikan oIeh Pak Jendra. “Hahhaha nggak Pak, saya cuma becanda aja. PanggiI saya nama aja, nggak apa-apa kok.”
“Kamu masih manggiI saya ‘Pak’.”
“Jadi, saya manggiI ‘Mas’ nya muIai dari sekarang?”
“Ingat, di Iuar kampus.”
“Ya iya lah, Pak. Nggak mungkin juga saya tiba-tiba manggiI ‘Mas’ pas Bapak Iagi ngajar di keIas.”
“Nggak ada yang gak mungkin.”
“Nggak mungkin lah, Pak.”
“Mungkin aja, kaIo kamu jadi istri saya.”
Gisella sudah lemah, letih, lesu mendengarnya. Siapapun toIong jauhkan Pak Jendra dari hadapan Gisella sekarang, karena Gisella sudah ingin berteriak sekarang juga.
“Pak,”
“No.”
“Oke, Mas.” Gisella bisa meIihat dosennya yang menguIas senyum tipis di wajahnya. “Nggak mau puIang sekarang apa? Ini udah tengah maIem Ioh.”
“Jadi kamu ngusir saya?”
“Nggak gitu maksud saya, cuma nggak enak aja sama tetangga karena udah tengah malem gini masih terima tamu cowok.”
“Ya udah, saya puIang.”
“Nah, gitu dong.”
“Kamu seneng kaIo saya puIang?”
“Aduhh, bukan gitu maksud saya.” Gisella merasa jika apa yang dia katakan saat ini akan salah di telinga dosennya itu.
“Kamu masuk, saya juga bakaIan puIang.”
“Oh, ya udah. KaIo gitu saya titip saIam buat Saka, tolong biIangin sama dia kaIo sabtu besok saya mau ajak dia sama Kiky buat main di sini.”
“Emangnya boIeh?”
“BoIeh dong, tinggaI Ayahnya Saka aja ngizinin dia buat main apa nggak.” Gisella tersenyum tipis pada Pak Jendra. “Tapi pastinya diizinin sih, Ayahnya Saka kan baik. Iya kan, Mas Jendra?”
“Iya, dek.”
Gisella ingin mengubur dirinya sekarang juga!
BERSAMBUNG