kehilangan bukan lah kesalahan ku, tetapi alasan kehilangan aku membutuhkan itu, apa alasan mu membunuh ayah ku? kenapa begitu banyak konspirasi dan rahasia di dalam dirimu?, hidup ku hampa karena semua masalah yang datang pada ku, sampai aku memutuskan untuk balas dendam atas kematian ayah ku, tetapi semua rahasia mu terbongkar, tujuan ku hanya satu, yaitu balas dendam, bukan jatuh cinta.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon nurliana, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
selamat tinggal Zelena
Saat Leon tiba di rumah sakit, Liora sudah mengemasi semua barang-barangnya. Bahkan infusnya pun sudah dilepaskan. Liora duduk sendirian di sofa ruang rawatnya.
"Kenapa cepat sekali berberes?" tanya Leon sambil masuk dan duduk di sebelah Liora.
Liora menatap Leon. Hanya Leon yang bisa membuatnya merasa tenang di tengah badai masalah yang datang bertubi-tubi.
"Aku harus pulang hari ini, tapi aku tidak tahu harus pulang ke mana," jawab Liora sambil menunjukkan foto rumahnya yang sudah dihancurkan oleh orang tak dikenal.
Leon tahu, semua ini pasti ada hubungannya dengan Arman dan Ahmad.
"Aku akan menyewakan rumah untukmu. Masalah uangnya, kita bisa bicarakan nanti. Yang penting sekarang kau punya tempat tinggal dulu."
"Bisnismu... apakah sudah berjalan lancar lagi?"
Bisnis yang mereka bangun bersama dan sempat ditinggalkan oleh Liora saat Leon berada di puncak kesuksesannya. Kini, ia bertanya karena merasa Leon tampak baik-baik saja.
"Ya, bisnis itu berjalan dengan lancar. Mungkin setelah pernikahanku, aku akan luangkan waktu untuk melihat keadaannya," jawab Leon.
"Pernikahan?!"
Liora bertanya lirih, terdengar canggung dengan kata-kata itu. Ia sempat membuat pria ini membenci pernikahan, dan kini ia bertanya-tanya wanita mana yang mampu mengubah pikirannya.
"Ya, aku akan menikah dua hari lagi," ucap Leon, duduk lebih dekat di samping Liora.
Liora menatapnya dan menyentuh wajah Leon. "Kau kembali lagi? Wanita mana yang membuatmu berani mengambil langkah itu?"
Leon menjauh. Rasanya tidak pantas bagi Liora untuk menyentuh wajahnya lagi. Hubungan mereka sudah lama berakhir, namun luka di hati Leon masih meninggalkan bekas.
"Siapa pun wanita itu, intinya aku akan menikah dengannya. Apa pun maksud dari semua ini, kau tidak perlu tahu, karena aku akan menjalani hidupku sendiri... tanpamu."
Walau tak sepenuhnya jelas, tetapi Leon memang sudah meminta Liora untuk menjauh darinya. Ia ingin fokus menjalankan rencana hidup barunya.
Leon mengeluarkan selembar kertas berisi alamat. "Ini, datanglah ke sini dan tinggallah bersama Amna di sana. Aku sudah membayar sewa satu tahun penuh, kau bisa tenang tinggal di sana."
Liora tidak berkata-kata. Ia hanya menatap Leon yang kembali menjadi dingin. Rasa benci di hatinya tak bisa hilang begitu saja.
*
*
*
Pagi hari di rumah Ahmad.
"Ayah, hari ini aku sama Amira dan Tama mau makan di luar," ucap Zelena sambil turun dari kamar, dengan pakaian rapi. Amira ada di sampingnya.
Kenzo menatap Zelena. "Ayah tidak ada. Dia sedang pergi mengundang teman-temannya untuk acara besok."
Kenzo tidak menyebutkan apa acara besok, karena ada Amira. Orang asing tidak boleh tahu soal pernikahan Zelena dengan Leon.
"Iya Kak, tapi siapa yang akan nyetir aku?"
"Arman. Karena Leon juga sedang tidak ada, mungkin dia sedang mengambil barang di butik."
Kenzo menatap Amira dengan tatapan tajam.
"Kenapa, Kak Kenzo?" tanya Amira, merasa sedang dipelototi.
"Tidak," jawab Kenzo singkat lalu pergi dari sana.
Mereka bertiga pergi bersama. Namun di tengah perjalanan, Amira mendadak ingin pulang karena alasan mendesak. Akhirnya hanya Zelena dan Tama yang melanjutkan jalan-jalan mereka.
Sementara itu, Amira kembali ke rumah dan melihat rumah kosong. Ia naik ke kamar Kenzo. Ini saatnya menjalankan rencana busuknya. Karena hanya ini satu-satunya jalan untuk bisa masuk ke dalam kemewahan keluarga ini.
Amira sengaja melukai kakinya. Luka itu akan menjadi alasan untuk berpura-pura sakit dan masuk ke kamar Kenzo. "Kak Kenzo!" teriak Amira lirih sambil memegangi luka di kakinya.
Kenzo membuka pintu kamar, mengira Zelena yang terluka. "Iya, ada apa? Di mana Zelena?" tanyanya, melihat Amira berdiri di depan kamarnya dengan luka yang cukup parah.
Amira mendekat dan memegang bahunya. "Zelena pergi sama Tama, aku jatuh di depan."
Kenzo melihat lukanya, cukup dalam tapi tidak terlalu parah. Ia memapah Amira dan membawanya masuk ke kamar.
Amira duduk di sofa tempat Kenzo biasa merias. Saat Kenzo sedang mengambil kotak P3K, Amira sengaja menaikkan rok agar lukanya terlihat jelas.
Kenzo kembali dan mulai mengobati luka Amira. "Kenapa aku merasa pakaianmu hari ini..."
Kenzo tidak bisa fokus. Amira sudah mencoba menarik perhatiannya secara terang-terangan.
Amira memegang tengkuk leher Kenzo, membisik, "Kenapa, Kak?"
Kenzo berdiri dan menatap Amira tajam. "Kali ini aku tidak akan terperangkap dalam rencanamu. Aku tahu apa yang kau mau. Aku tidak akan menyentuh wanita mana pun selain istriku."
Deg.
Jawaban Kenzo membuat Amira kaget. Ia semakin yakin bahwa Kenzo adalah laki-laki yang ia inginkan. Semudah itu hatinya berpaling dari Tama ke Kenzo. Setelah merusak hubungan Tama dan Zelena, kini ia jatuh cinta pada kakak sahabatnya sendiri.
*
*
*
"Kalau kamu kuliah, kamu mau ambil jurusan apa, Zel?" tanya Tama pada Zelena.
Saat ini mereka sedang berjalan menuju halte bus, setelah selesai belanja dan makan.
Zelena menoleh ke Tama. "Tiba-tiba kamu nanya gitu, kenapa emangnya?"
Tama sedang dalam tahap mencari universitas untuk dirinya, tapi ia belum tahu harus ambil jurusan apa. Ia bertanya karena mungkin suatu saat mereka bisa kuliah di tempat dan jurusan yang sama.
"Pengen tahu aja. Kata Amira kamu nggak akan kuliah, jadi aku penasaran," jawab Tama.
Zelena berpikir sejenak. "Karena aku suka menggambar, aku mau ambil jurusan arsitektur. Itu cocok banget."
Zelena tersenyum manis, dan Tama ikut tersenyum karena mendapatkan jawaban langsung dari gadis yang ia suka.
"Zel, kamu mau coba baju itu?" tanya Tama, menunjuk salah satu baju pengantin yang dipajang di butik yang tak sengaja mereka lewati.
Zelena berbalik. Sejak tadi ia berjalan di depan Tama. Ia menatap gaun putih yang indah itu. Ia ingin sekali memakainya dan memperlihatkannya kepada Leon, tapi sekarang itu tak mungkin karena acaranya besok.
"Boleh," jawab Zelena. Setidaknya, ada Tama yang bisa melihatnya memakai baju pengantin itu, walau Tama tidak tahu kenyataan yang sebenarnya.
Mereka masuk, dan Tama meminta pegawai butik memberikan baju itu untuk Zelena.
Zelena mencoba baju itu di ruang ganti. Setelah pas di tubuhnya, ia keluar dan memperlihatkan diri kepada Tama.
"Bagaimana?" tanyanya.
Zelena sangat cantik. Wajahnya tampak bersinar. Itu pertama kalinya Tama melihat senyuman tulus di wajah Zelena.
"Cantik," jawab Tama pelan. Ia merendahkan suaranya agar Zelena tidak salah paham dan membuat hubungan mereka jadi canggung lagi.
"Apa? Aku nggak dengar. Bagus nggak?" tanya Zelena lagi.
"Bukan hanya bagus, Zelena. Tapi indah... Dari semua keindahan dan kecantikan dunia yang pernah kulihat, tak ada yang setara denganmu malam ini," kata Tama dalam hati.
"Tama kenapa diam?" tanya Zelena sambil sibuk melihat gaunnya.
"Bagus banget. Sekarang ayo keluar, kita kan nggak berniat beli baju ini."
Zelena cemberut lalu masuk kembali ke ruang ganti dan berganti pakaian. Mereka melanjutkan perjalanan ke halte bus.
Mereka naik bus dan duduk bersebelahan. Tama sama sekali tidak mengalihkan pandangannya dari Zelena. Ini adalah hari terakhir ia bisa menatap Zelena, karena besok ia akan keluar negri untuk kuliahnya.