Hidup Singgih yang penuh kegelapan di masa lalu tanpa sengaja bertemu dengan Daisy yang memintanya untuk menjadi bodyguard-nya.
Daisy
Penulis: Inisabine
Copyright Oktober 2018
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Inisabine, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 35
Hanya itu satu-satunya cara untuk membuat Daisy terluka dan membencinya. Meskipun ia menyukai gadis itu, tetapi ia harus tahu diri dengan keadaannya. Terkadang ia merasa lelah dengan hidupnya.
Tak ada ambisi, bahkan harapan.
Semuanya seakan terkubur dengan sendirinya sejak ia menghabiskan masa mudanya di sel tahanan.
Berhenti berharap, itulah judul kehidupannya saat ini.
Singgih tak mau membuat hubungan anak dan orang tua berantakan hanya karena dirinya. Kehadirannya sudah cukup membuat hidup Daisy kesulitan.
Seandainya saja ia tak mengantarkan barang ke tempat Nek Ipon; menyelamatkan Daisy; tidak mengikuti permainan Daisy untuk berpura-pura menjadi pacarnya; maka Rolan pun tak akan bertindak sejauh itu. Seandainya saja hari itu ia tak bertemu dengan Rolan ataupun tak memprovokasi Daisy, maka semua kejadian ini tak akan terjadi. Dan, ia masih tetap bekerja menjadi pengawal Daisy. Masih tetap berada di sisi Daisy. Menjaganya.
Singgih mengeluarkan ponsel dari saku celana. Menekan salah satu nomor di kontak WhatsApp. Terdengar suara seseorang menyapa di seberang.
"Besok aku ke Semarang."
"Cuti?"
"Berhenti."
"Kamu ketahuan?" Reas mencecar khawatir.
"Mengundurkan diri."
"Kenapa? Kenapaaa?"
"Nggak cocok aja."
"Mana ada yang langsung cocok. Makanya itu perlu yang namanya adaptasi"
Langkah Singgih terhenti seketika. Ia tak lagi mendengarkan ocehan Reas di seberang sana tatkala melihat Rolan berjalan menuju ke arahnya. Semula Rolan tidak memperhatikannya, dan saat langkah Rolan mendekat, barulah tatap mereka bertemu.
"Reas, nanti kuhubungi lagi." Sambungan telepon dimatikan.
Singgih berjalan menghampiri Rolan. Kini keduanya saling memangkas jarak.
"Rupanya Daisy buru-buru ke sini karena elo," cebik Rolan. "Setelah membawa kabur tunangan gue, sekarang diam-diam kalian ketemuan. Bisa-bisa setelah ini gue bakal segera nikah sama Daisy." Senyumnya mengulas puas.
"Benar-benar nggak berubah." Singgih menatap dingin Rolan. "Tukang lapor. Menguntit. Merasa diri sendiri adalah korban. Padahal siapa sebenarnya yang korban di sini."
"Tuduhan lo nggak ada bukti. Gue bisa aja ngelaporin ini ke polisi karena pencemaran nama baik. Tapi gue nggak mau hidup teman gue tambah sulit."
"Teman?" Singgih mengernyit kan bibir. "Masih ingat yang namanya teman?"
"Bagaimana pun juga gue nggak bisa ngelupain masa-masa pertemanan kita dulu."
"Jadi, masih ingat Ajeng, dong?"
Senyuman angkuh Rolan berganti menjadi senyuman pahit.
"Selama ini kamu tahu di mana Ajeng. Terus mengikutinya dan membuatnya ketakutan. Dasar penguntit."
Mengeras kedua rahang Rolan.
"Kayaknya kamu nggak akan pernah bisa ngelupain Ajeng. Apalagi sekarang Ajeng tambah cantik. Banget. Iya, kan?" Singgih tersenyum memprovokasi.
Sebelah tangan Rolan mengepal keras. "Lo yang ngerebut dia dari gue."
"Iya," balas Singgih tegas. "Aku yang sudah ngerebut Ajeng. Jawaban ini yang ingin kamu dengar?"
Dagu Rolan mengangkat angkuh. Kepalan tangannya makin mengeras.
"Siapa yang nggak menyukai Ajeng? Cantik. Pintar. Mereka menyebutnya bintang sekolah. Cowok-cowok berusaha untuk mendapatkannya. Tapi Ajeng malah memilihku." Singgih sengaja memancing emosi Rolan. "Apa pun yang dipakai Ajeng selalu cantik. Aku nggak pernah lupa saat dia memakai baju saat cosplay. Dia menyebutnya Neverland Fairy, atau apa pun itu, warna pink yang membuatnya seperti peri."
Rolan tertawa mencemooh. "Hijau," koreksinya. "Ingatan lo benar-benar buruk. Lo selalu bersama Ajeng, tapi lo nggak tahu tentang warna kesukaan Ajeng."
Ujung bibir Singgih terulas senyum tipis. "Ingatanmu benar-benar mengerikan. Dua belas tahun berlalu, tapi kamu masih ingat dengan warna baju yang dipakai Ajeng saat itu. Artinya," ia menatap tajam Rolan, "hari itu kamu memang ada di tempat kejadian."
Menyentak kaget Rolan. Perlahan kepalan tangannya mengendor dan bergetar. Wajahnya tampak memias.
*
Singgih mengangkat kantongan plastik sembari berkata, "Martabak manis cokelat-keju." Saat ia berkunjung ke rumah kos Ajeng, sorenya.
"Masih ingat ternyata." Ajeng menyambut dengan senang hati.
Seulas senyum tersapu di wajah Singgih. Tentu saja ia masih ingat dengan makanan kesukaan Ajeng. Tiap kali mereka belajar kelompok, Ajeng selalu membawa martabak manis cokelat-keju, bahkan sanggup menghabiskan sekotak seorang diri. Setelahnya Ajeng akan berseru lantang bahwa besok harus joging untuk membakar kalori.
"Mau duduk di dalam?" Ajeng merujuk ke ruang tamu. "Atau di sini?" rujuknya lagi pada teras yang mereka pijak sekarang.
"Di sini aja." Singgih mengambil duduk di salah satu bangku rotan.
"Aku buatkan minum dulu, ya." Ajeng tak bisa menahan wajahnya yang tersenyum berseri.
"Nggak usah repot-repot, Jeng."
Ajeng tak peduli dengan ucapan tak enak hati Singgih―karena memang seperti itulah Singgih―dan tetap membuatkan segelas minuman dingin dengan wajah berseri-seri. Gadis itu kembali merasakan jatuh cinta lagi.
Sementara, mata Singgih mengedar luas pada sekitarnya. Halaman luas dengan pohon mangga yang tengah berbuah. Rumah kuno dengan jendela-jendela tinggi ini ditempati oleh seorang nenek dan dua cucu perempuannya. Dan, penyewa di rumah kos ini hanya diperuntukkan untuk karyawati saja.
"Asri kan, tempatnya?" Tahu-tahu Ajeng sudah keluar dengan membawa segelas minuman dingin. "Seadanya lho, ya." Ajeng meletakkan gelas ke atas meja.
Singgih mengambil gelas tersebut dan meminum seteguk airnya. Lidahnya mulai mengecap rasa. Sirup melon―rupanya. Yah, tak ada yang mengetahui kondisinya ini, kecuali: Noela. Dan, sebenarnya ia sedikit takut jika suatu hari nanti Daisy atau siapa pun perempuan yang dicintainya kelak mengetahui kondisinya yang buta warna ini. Ia harap siapa pun orangnya―akan menerima segala kekurangannya. Termasuk dengan masa lalunya.
"Besok aku ke Semarang." Singgih meletakkan kembali gelas ke atas meja. "Aku berhenti dari pekerjaanku."
Tergambar jelas kelegaan di wajah Ajeng. "Kamu udah nggak ngejagain cewek itu lagi?" ia menahan senyum gembiranya. Sikapnya ini layaknya sang pacar yang sempat mencemburui pekerjaan pacarnya.
Singgih mengangguk mengiakan. "Bayarannya memang gede, tapi kehidupan di sini nggak cocok denganku. Aku lebih suka tinggal di desanya Nek Ipon."
Sama." Ajeng mulai membuka kotak martabak. "Gimana kalau kita tinggal di sana saja?" ajaknya, yang kemudian tersadar dari ide anehnya ini. "Eeh, maksudku... aku juga berencana buat resign. Saat aku di sana, hatiku tergerak... aku ingin membantu orang-orang seperti Nek Ipon. Memberikan pengobatan, bahkan mereka bisa membayarku dengan uang seikhlasnya saja."
Wajah Singgih mengulas senyum. "Kadang aku iri sama kamu atau mereka yang bisa mewujudkan impiannya."
"Nggak usah iri sama aku." Ajeng menyuap irisan martabak manis yang paling kecil ke dalam mulut. "Kamu masih bisa kok mewujudkan impianmu. Masih pengen buka toko?"
Singgih mengulum senyum geli. Setelah sekian lama, bahkan ia nyaris lupa mengenai keinginannya untuk punya toko kecil, dan Ajeng kembali mengingatkannya pada impian kecilnya itu.
"Sekarang aku punya uang yang cukup untuk buka toko."
"Terus mau jualan apa?"
"Belum tahu. Mungkin sesuatu yang kekinian."
"Aku ikut bantu, ya?" Ajeng kembali menjejalkan irisan martabak ke mulut. "Kerja sama, gitu."
"Boleh." Singgih tetap mengulas senyum. Tangannya mengambil seiris martabak. "Kalau Rolan masih menguntitmu, bilang saja ke aku."
"Terus kamu mau ngapain? Berantem kayak dulu. Kalian masuk BK. Kita yang panik." Ajeng menggiring ke kenangan masa muda mereka.
"Kita?"
"Aku dan Noe. Siapa lagi?" Ajeng kembali menjejalkan irisan martabak ke mulut. "Kita takut kamu akan kehilangan beasiswamu. Secara ayahnya Rolan kan, orang paling kaya di Semarang. Yaa, wajarlah kalau ayahnya punya pengaruh. Takutnya beasiswamu dicabut atau mungkin kamu akan ditendang keluar karena udah bikin anaknya babak belur. Walaupun ya, anaknya jelas-jelas salah."
Singgih mengangguk paham. "Demi anaknya, ayahnya Rolan bahkan tega menghancurkan hidup orang lain."
Ajeng melambatkan kunyahannya, lalu menelan kaku. "Aku juga sudah menghancurkan hidupmu..."
"Hmph." Singgih menggumam. "Karena itu, kamu harus mengamalkan ilmu pengobatanmu untuk menolong banyak orang. Jangan jadikan pengorbananku sia-sia."
Ajeng mengalihkan pandang ke lain. Telunjuknya mengusap ujung matanya yang mulai berair.
Singgih yang mengetahuinya lantas menenangkan Ajeng dari rasa bersalah. "Kalau aku jadi kamu, aku pun juga akan melakukan hal yang sama. Saat itu ibumu memerlukan operasi jantung secepatnya. Seandainya saja aku tahu siapa ibuku... aku juga akan melakukan apa pun demi ibuku. Temanku, Reas―dia bahkan mencuri uang di kasir untuk biaya pengobatan ibunya."
Kepala Ajeng tertunduk dalam. Tak ada kata yang keluar. Hanya air mata yang bergulir jatuh di atas punggung tangannya yang menumpu di atas paha.
Pilihan yang diambil Ajeng saat itu sangat terpaksa dan mendesak. Di satu sisi, Ajeng ingin melihat kesembuhan ibunya, tapi di sisi lain ia ingin menyelamatkan temannya. Dua pilihan yang sama-sama memiliki penyesalan setelah keputusan diambil. Karena itulah, ia berjuang keras untuk bisa mendapatkan beasiswa kedokteran untuk bisa membalas jasa serta mengabdikan hidupnya untuk menolong masyarakat.
"Kamu bisa melihat ibumu sehat dan sekarang kamu jadi dokter. Dibalik musibah yang terjadi, setidaknya ayahnya Rolan memberikanmu dua keajaiban."
"Maksudnya?" Ajeng mengangkat kepala tak mengerti. "Ayahnya Rolan memang yang membiayai operasi ibuku. Lalu apa hubungannya ayahnya Rolan dengan aku yang jadi dokter?"
"Bukannya kamu dapat beasiswa dari ayahnya Rolan?" Singgih balik bertanya tak mengerti.
Kepala Ajeng menggeleng. "Aku dapat beasiswa karena Dokter David. Dokter David, dokter yang merawat ibuku, yang juga adalah dosen di kampusku."
"Bagaimana dengan Jerman?"
"Aku memang pernah ke Jerman. Tapi bukan untuk belajar."
"Teman-teman yang lain bilang kamu menetap di Jerman."
"Aku sendiri juga nggak tahu dari mana beredar rumor itu. Ada juga yang mengatakan aku sudah nikah sama cowok bule, punya anak, dan menetap di sana," kata Ajeng yang sebenarnya diam-diam ia juga masuk ke forum alumni sekolah, tapi dengan menggunakan identitas lain.
"Mungkin ada yang pernah melihatku di Jerman," duga Ajeng. "Jadi, anaknya Dokter David ikut suaminya ke Jerman. Saat itu dia sedang hamil dan dalam kondisi yang lemah banget. Aku yang barusan lulus diminta Dokter David untuk merawat putrinya di sana."
"Jadi begitu." Singgih mulai paham situasinya.
"Dokter David menawariku kerja di rumah sakitnya setelah selesai merawat putrinya. Tapi aku nggak bisa." Ajeng mengembus napas lelah. "Kejadian itu membuatku takut... karena kesaksianku, kamu―" ucapnya tertahan. "Aku juga takut bertemu dengan teman-teman. Karena itulah aku memilih bersembunyi."
"Ajeng." Singgih menatap lembut Ajeng, yang di matanya gadis itu masih menyimpan trauma masa lalu. "Aku baik-baik saja. Jangan pernah menyesali yang sudah terjadi." Meskipun ia sendiri sempat menyesalinya, tapi ia tak ingin penyesalan ini mengganggu hidupnya. "Mari kita lupakan yang lalu. Jangan takut ataupun terluka. Ayo, kita hadapi bersama."
Ajeng mengangguk setuju. Ia tak dapat menahan air mata yang bergulir jatuh membasahi pipinya. "Bisakah kamu menemaniku pulang ke Semarang?" pintanya penuh harap. "Aku akan coba menghadapinya... melawan ketakutanku..."
Singgih turun dari kursi, lalu berjongkok di depan Ajeng sembari menggenggam tangan Ajeng yang bergetar.
"Aku akan bersamamu. Kita akan pulang ke Semarang bersama. Dan, kita akan menghadapinya bersama."
Ajeng mengangguk dalam derai air mata. "Aku akan mengurus beberapa pekerjaanku di sini dulu, lalu resign. Bisakah kamu menungguku sebentar?"
Singgih mengangguk. "Aku akan tetap di sini dan menunggumu."
"Makasih..." suara Ajeng terdengar serak.
*
mampir di ceritaku juga dong kak🤩✨