"Endria hanya milikku," tekannya dengan manik abu yang menyorot tajam.
***
Sekembalinya ke Indonesia setelah belasan tahun tinggal di Australia, Geswa Ryan Beck tak bisa menahan-nahan keinginannya lagi.
Gadis yang sedari kecil ia awasi dan diincar dari kejauhan tak bisa lepas lagi, sekalipun Endria Ayu Gemintang sudah memiliki calon suami, di mana calon suaminya adalah adik dari Geswa sendiri.
Pria yang nyaris sempurna itu akan melepaskan akal sehatnya hanya untuk menjadikan Endria miliknya seorang.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Jelitacantp, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Sakit 1
"Sebesar itulah cintaku Endria, sehingga aku tak bisa menampungnya lebih lama lagi," kata Geswa panjang lebar, lalu pria itu lebih menunduk dan memiringkan kepalanya berniat ingin mencium bibir merekah yang sedari tadi seperti memanggil-manggil untuk dihisap sarinya.
Endria tak menghindar, pernyataan panjang dari Geswa tadi seperti mantra yang membuat otaknya ngeblank dan menerima apa saja perlakuan Geswa padanya.
Maka pada akhirnya kedua material basah dan lembut itu bersatu.
Geswa memeluk pinggang ramping Endria begitu erat, lalu mel*mat bibir gadisnya dengan sangat lembut dan penuh perasaan seakan-akan ingin kembali menyatakan rasanya lewat ciuman ini.
Geswa menggigit pelan bibir Endria sehingga membuat gadis itu men*esah tertahan dan membuka mulutnya sampai Geswa bisa meneroboskan lidahnya, mengabsen satu persatu gigi Endria.
Geswa melepaskan ciumannya sekilas bertujuan ingin memberi Endria jeda untuk bernapas sejenak.
"Balas ciumanku, Sayang," kata Geswa dengan suara yang serak-serak basah.
Setelah berkata seperti itu, Geswa kembali me*umat bibir manis gadisnya, kali ini permainan lebih kasar karena Endria berani membalas ciumannya walaupun masih kaku tapi tak menampik membuat hati Geswa bersorak senang. Endria berjinjit lalu mengalunkan kedua tangannya di leher Geswa, gadis itu terlena.
Geswa menggeram di saat dia merasakan seluruh tubuhnya memanas, terbakar oleh ga*rah disituasi yang pria itu buat sendiri. Lalu tanpa berkata-kata dia menggendong tubuh Endria ala koala, ciuman mereka berdua masih berlanjut.
Kaki Geswa melangkah ke arah kamarnya, lalu pria itu pun menaruh tubuh Endria secara hati-hati di atas kasur. Geswa menghentikan ciumannya, lalu memberi jarak.
Menatap Endria di posisi di mana ia sedang menindih gadis itu di atas kasur, membuat otak kotornya berteriak meminta lebih.
Sedangkan Endria, menatap Geswa dengan jarak dekat dari bawah sini yang sialnya membuat pria itu terlihat berkali-kali lipat lebih tampan dan mendominasi apalagi tatapan mata Geswa yang seakan-akan ingin men*lanj*nginya.
Geswa mengecup sekilas bibir Endria yang masih berusaha meraup udara sebanyak-banyaknya.
"Can i?" tanya Geswa meminta izin dan penuh harap, manik abunya nampak memendam kabut ga**ah yang begitu tebal.
Dan kalian ingin tahu bagaimana reaksi Endria? Ya, tentu saja gadis itu menolak, hei, ia bukan gadis murahan. Walaupun sempat terlena, belum tentu ia akan mengizinkan Geswa mendapatkan lebih dari tubuhnya.
Endria bukan penganut *ex before married. Kalaupun Geswa menginginkannya pria itu harus menikahinya terlebih dulu, meminta dirinya secara baik-baik pada Dewangga.
Tanpa ingin berlama-lama di kamar ini, Endria lantas bangun menimbulkan tabrakan antara kening dan hidung bengir Geswa membuat masing-masing dari mereka merasa kesakitan.
Geswa bangkit sambil mengusap-usap hidungnya yang terasa patah, sedangkan Endria, gadis itu hanya meringis kecil lalu berlari keluar dari kamar serta penthouse ini sebelum kembali terjebak, tak peduli pada Geswa dengan hidung yang sudah mengeluarkan darah.
"Shit!" umpat pria itu kesal, bukannya mendapat kesenangan hari ini, ia malah berakhir kesakitan.
***
Cerita ini alurnya kembali maju mundur, di mana waktunya tak beraturan. Aku buat begini demi untuk kelancaran cerita, semoga nggak bingung, ya.
Sedangkan di waktu yang berbeda, di mana jarum jam menunjuk ke arah nomor tujuh. Geswa dengan tampilannya yang berantakan dan penuh darah serta bau alkohol tengah duduk sambil menunduk di kursi tunggu tepat depan ruang operasi yang tertutup.
Kedua tangannya menelungkup, tak henti-henti untuk berdoa meminta pertolongan serta mendoakan seorang gadis, korbannya, yang sedang dioperasi di dalam sana.
Proses operasi sudah berjalan selama enam jam, tetapi para dokter bedah atau perawat belum ada satupun yang keluar untuk menemuinya.
Hati Gatra resah, pria itu mengutuk dirinya sendiri yang telah tak sengaja menabrak orang pagi tadi.
Tak lama, pintu lebar ruang operasi tersebut terbuka menampilkan seorang dokter dengan baju khusus operasi, berjalan menghampiri Gatra.
"Dengan keluarga pasien?" tanyanya yang membuat Gatra mendongak lalu meregangkan kedua tangannya yang sedari tadi mengatup.
Gatra mengangguk lalu pria itu berdiri. "Iya, saya suaminya. Bagaimana keadaan istri saya Dokter?" tanya Gatra dengan nada khawatir yang tak dibuat-buat.
Tak ingin ditanya-tanya lebih lanjut, Gatra lebih memilih untuk mengaku sebagai suami pasien.
Mendengar jawaban dari Gatra, membuat dokter yang sudah berumur itu mengernyit heran karena tadi ia sempat mendengar dan melihat Gatra berdoa. Namun, sang dokter kembali menghalau rasa penasarannya, ya, dia menebak sendiri pasangan suami istri ini berbeda agama.
"Baiklah, tolong ikuti saya ke ruangan untuk mendengar keadaan istri Anda lebih lanjut." Dokter itu kembali membuka suara. "Sementara istri Anda akan dipindahkan ke ruangan ICU."
***
Kepala terasa pusing, mata sayu, dengan raut wajah yang tak bersemangat seperti mendapat pengumuman tanggal kematian, begitulah yang tergambar dalam diri Endria.
Lolos dari Geswa, Endria meluncur kembali ke rumahnya berniat untuk menjernihkan pikiran, tapi bukannya pikirannya menjadi jernih, kepalanya malah menjadi pusing.
Bagaimana tidak? Sedari tadi kejadian yang baru saja terjadi antara dirinya dan Geswa terus melayang-layang dalam kepalanya sampai-sampai gadis itu terus berteriak seperti orang gila.
"Enyah! Enyah! Enyah!" teriak Endria beruntun dari dalam kamarnya.
Kembali, gadis itu bertingkah kali ini ia menendang-nendang udara karena entah kenapa suara kecupan terdengar jelas di telinganya.
"Pergilah setan penggoda!" teriakannya kali ini lebih kuat.
Kemudian, Endria bangkit dari tidurnya lalu tanpa mempedulikan penampilannya yang berantakan dengan rambut tak beratur gadis itu keluar dari kamarnya.
Endria mengira setan yang dimaksudnya akan terus menggoda kalau ia sendirian. Jadi kali ini ia lebih baik keluar lalu mencari seseorang untuk menemaninya, lagipula ia juga ingin minum.
Turun di lantai bawah, Endria langsung berjalan gontai menuju dapur, gadis itu mengambil sebuah gelas sebelum membuka kulkas berpintu empat itu.
"Ahh..! Segarnya." Endria mendesah lega lalu tersenyum semringah setelah melongokkan wajahnya ke dalam kulkas.
Endria menjauhkan diri saat ia sudah merasa kedinginan yang semakin menambah rasa sakit di kepalanya. Kemudian, Endria memilih menyimpan kembali botol berisi air dingin lalu meminum air hangat saja yang ada di teko samping kompor.
Selesai menyegarkan tenggorokannya, Endria menyimpan gelas bekas tersebut di wastafel lalu melangkahkan tungkainya keluar.
Melewati ruang tengah, mata Endria melihat sosok Dewangga yang tengah asik menonton acara gosip di televisi.
Sangat langka Endria melihat sang ayah di jam segini. Jam kerja yang tak menentu dengan Endria yang sibuk kuliah membuat mereka berdua jarang bertemu.
"Ayah...," pangilnya dengan nada manja. Gadis itu duduk di sofa samping Dewangga lalu memeluk tubuh sang ayah yang masih segar bugar.
"Hei, hei, putri ayah kenapa, ini?" Dewangga membalas pelukan putrinya, lalu dia mengelus-elus lembut kepala Endria penuh dengan kasih sayang.
Istrinya meninggal saat melahirkan sang anak. Waktu itu Dewangga benar-benar terpuruk.
"Kangen...," bisik Endria masih dalam pelukan ayahnya.
"Kangen atau kamu ada maunya nih?" Dewangga bertanya menggoda.
"Nggak ada, pengen meluk Ayah aja," jawab Endria pelan, matanya terlihat perlahan-lahan tertutup.
"Tapi kamu baik-baik aja, kan?" tanya Dewangga mulai khawatir.
Masih mengelus-elus rambut sang putri sulung, dan karena pertanyaannya belum juga dijawab, Dewangga berinisiatif merenggangkan pelukan antara mereka berdua.
"Dria, Nak, kamu tidur?" tanya Dewangga, tetapi tak ada jawaban sama sekali. Dewangga mencoba untuk mencubit pipi tembem Endria, tetapi tak ada reaksi apa pun.
Dewangga berubah panik karena mengira anaknya jatuh pingsan, apalagi dia merasakan tubuh anaknya yang panas.