NovelToon NovelToon
Berenkarnasi Menyelematkan Kahancuran Keluarga

Berenkarnasi Menyelematkan Kahancuran Keluarga

Status: sedang berlangsung
Genre:Fantasi / Reinkarnasi / Crazy Rich/Konglomerat / Mengubah Takdir / Balas dendam dan Kelahiran Kembali / Light Novel
Popularitas:1.2k
Nilai: 5
Nama Author: Michon 95

Hidup terkadang membawa kita ke persimpangan yang penuh duka dan kesulitan yang tak terduga. Keluarga yang dulu harmonis dan penuh tawa bisa saja terhempas oleh badai kesialan dan kehancuran. Dalam novel ringan ini kisah ralfa,seorang pemuda yang mendapatkan kesempatan luar biasa untuk memperbaiki masa lalu dan menyelamatkan keluarganya dari jurang kehancuran.

Berenkarnasi ke masa lalu bukanlah perkara mudah. Dengan segudang ingatan dari kehidupan sebelumnya, Arka bertekad mengubah jalannya takdir, menghadapi berbagai tantangan, dan membuka jalan baru demi keluarga yang dicintainya. Kisah ini menyentuh hati, penuh dengan perjuangan, pengorbanan, keberanian, dan harapan yang tak pernah padam.

Mari kita mulai perjalanan yang penuh inspirasi ini – sebuah cerita tentang kesempatan kedua, keajaiban keluarga, dan kekuatan untuk bangkit dari kehancuran.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Michon 95, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 35 : Terungkapnya Identitas Anggota Organisasi

Oke, seharusnya semuanya sudah jelas.

Zaidan terbujur di lantai dengan tubuh sebelah kiri yang kejang-kejang dan berlumuran darah yang mengalir dari beberapa tempat. Sebuah simbol organisasi The Judges dibuat dengan sangat terburu-buru dan hasilnya jelek banget. Kami berhasil di TKP dalam waktu yang begitu cepat sampai-sampai si pelaku tidak mungkin kabur. Jadi, siapa pun yang kami temukan di TKP kemungkinan besar adalah pelaku.

Yang tidak kusangka, kami menemukan lima anggota The Judges di sini, mengelilingi Zaidan tanpa berbuat apa-apa.

Asumsi apa lagi yang bisa kubuat selain bahwa merekalah pelakunya?

Akan tetapi, entah kenapa firasatku mengatakan semuanya tidak benar. Semua ini terlalu gampang. Meski organisasi itu mengakui diri mereka sebagai organisasi paling berkuasa di sekolah kami, menganiaya seorang siswa adalah perbuatan kriminal yang cukup berat. Apa mereka sebegitu mengerikannya, dan percaya bahwa mereka adalah anak-anak kebal hukum?

Tidak. Aku tidak percaya. Lagipula, aku bisa mencium rasa takut dari anak-anak itu. Oke, bukan bau sungguhan. Maksudku, aku bisa melihat beberapa anggota The Judges tampak gemetaran, satu menangis, satu mencopot topi dan alat pengubah suaranya, sisanya berusaha menghadapi kami sambil mengumpulkan sisa-sisa ketenangan mereka.

Aku berjalan maju ingin memeriksa Zaidan, tapi salah satu anggota The Judges menahanku. "Maaf, kalian harus pulang sekarang."

Kata-kata itu tidak hanya ditunjukkan pada kami.

Aku menoleh dan melihat kerumunan di belakang semakin ramai. Tidak hanya ada Adelia dan Ralfa yang menyusul kami, melainkan juga dua orang dewasa yang tidak kukenali, Wahyu dan cewek tinggi yang sering bersamanya, beserta Anggun yang muncul paling terakhir.

"Enak aja," tukas Cindy yang berdiri paling depan dari kerumunan itu bersamaku. "Mau ngusir kami dan menutupi kesalahan kalian? Tidak akan kubiarkan, nona!"

Si anggota The Judges diam sejenak. "Kamu nggak tahu pasti aku cewek apa cowok?"

"Hahaha... jangan kira aku bodoh," ucap Cindy dengan tawa yang dibuat-buat. "Buat pemilik daya ingat yang kuat sepertiku, cukup mudah menebak kamu cewek apa cowok."

Berani taruhan, anggota The Judges itu tersenyum di balik topengnya. "Benarkah begitu, Cindy Amelia?" dengan nada meremehkan.

Aku berusaha mencegah Cindy menyerang anggota The Judges itu. Aku tidak membesar-besarkan, tapi cewek ini punya kemampuan fisik yang jauh lebih kuat dari cewek-cewek pada umumnya. Cewek yang berusaha mencari perkara dengan Cindy adalah cewek yang bodoh dan membahayakan keselamatan dirinya sendiri.

Dan, meski aku sudah berusaha mencegah, Cindy berhasil melewatiku dan menyerang anggota The Judges itu. Dari tangannya yang mencengkram, kusadari dia hanya berusaha merenggut topeng anggota The Judges itu. Akan tetapi, si anggota The Judges berhasil merunduk dengan gerakan cepat. Sebelum kami semua sadar, orang itu melempar sesuatu pada Cindy dan mengenai lututnya.

"Cindy!" Adelia langsung merangsek ke depan, begitu juga Ralfa. "Kamu nggak apa-apa?"

"Nggak," bentak Cindy yang semakin berani saja, lantaran kami yang dilempar batu rada terpincang-pincang. "Ini bukan apa-apa, ternyata kau boleh juga ya, eh, Hakim Tertinggi?"

Eh, tunggu dulu. Gerakan gesit? Melempar batu? Hakim Tertinggi? Jangan-jangan...

Cindy melancarkan tinjunya, kali ini dengan begitu cepat sampai-sampai si Hakim Tertinggi tidak bisa mengelak. Tapi di samping si Hakim Tertinggi, salah satu anggota The Judges segera menahan tinju Cindy, sementara tangannya yang lain berusaha meninju wajah Cindy. Dengan spontan, Adelia maju dan menendang tangan itu, bertepatan dengan Ralfa yang juga langsung menjotos muka si pemilik tangan, membuat orang yang kami serang itu terpental ke belakang.

Si Hakim Tertinggi maju dengan marah, demikian juga anggota-anggota The Judges yang lain. Sementara itu, di sekitarku, aku bisa merasakan Cindy, Adelia, dan yang lainnya siap menerjang pula. Tapi lalu Ralfa tiba-tiba berteriak dengan suara keras, "Stop! Semuanya berhenti!"

Mungkin karena kaget, semua orang mematuhinya dan menghentikan gerakan mereka.

"Udah waktunya kalian berhenti mengenakan topeng segala. Kalo emang kalian nggak salah, nggak seharusnya kalian menyembunyikan identitas kalian. Bener nggak, Kak Erza, Kak Abil?"

Yep, aku cukup yakin, Hakim Tertinggi adalah Erza Scarlet, si ketua klub drama sekaligus ketua klub memanah. Hanya dia di sekolah ini yang bisa membidik setepat itu dengan batu kecil sekaligus bisa bergerak dengan gesit.

"Kalian salah..."

"Tunggu, mereka benar."

Si Hakim Tertinggi membuka topengnya, dan tampaklah wajahnya yang cantik namun dingin. Sesuai dugaanku, di sebelahnya, anggota yang membuka topeng dengan wajah terpaksa adalah Abil Faiz, yang bibirnya bengkak penuh darah lantaran dijotos Ralfa.

"Eh, kalo pemimpinnya Erza dan Abil, yang lain-lainnya pasti Arinda, Firda,dan Rifki!"

Topeng-topeng itu terbuka seiring dengan nama-nama yang disebutkan Wahyu, menampakkan wajah-wajah yang cukup kukenal. Arinda adalah ketua klub memasak, sementara Firda adalah sahabatnya, si bendahara satu OSIS,Alfian adalah pacar Firda sekaligus ketua klub karate.Yep, orang-orang ini adalah sahabat-sahabat dekat, dengan bekingan keluarga-keluarga yang solid dan terhormat, serta memiliki pengaruh yang tidak sedikit di akademi sekolah.

Semua orang ini satu geng, orang-orang yang selalu jalan bareng ke mana-mana.

"Bukan kami yang mencelakai Amirudin dan Zaidan," kata Erza mewakili teman-temannya menjelaskan. "Hanya saja kebetulan kami berkumpul di sini dan mungkin memergoki si pelaku."

"Kebetulan yang aneh, ya," sindir Cindy. "Lalu si pelaku itu lari ke mana?"

"Kami juga nggak tahu," geleng Abil. "Aku tiba lebih awal bersamaan dengan Arinda, dan saat itu pelakunya udah nggak ada."

"Gudang ini nggak punya pintu belakang," tegasku. "Hanya ada satu pintu yang mengarah ke koridor."

"Berarti," kata Erika, "pelakunya ada di antara kalian. Mungkin kamu, Abil, yang nongol duluan..."

"Jangan nuduh sembarangan," ketus Erza pada Cindy. "Ini bukan waktunya berdebat. Kita harus menolong Zaidan..."

"Nggak usah repot-repot," sela salah satu orang yang tidak kukenal. "Aku udah nelpon Inspektur Benjamin sekaligus ambulans. Mereka dalam perjalanan kemari."

"Hahaha, rasain kalian!" teriak Cindy penuh kemenangan. "Begitu Inspektur Benjamin nongol, udah pasti kalian semua bakalan dijeblosin ke penjara. Nggak ada gunanya tekan-tekan ponsel buat minta sogokan sama ortu kalian! Si Inspektur nggak mempan disuguhi senampan emas."

Ucapan Cindy langsung membuat pucat para anggota The Judges. Sikap penuh kendali yang mereka tampakkan beberapa hari ini lenyap, berganti dengan ketakutan dan kekhawatiran.

"Apa boleh kita biarin Zaidan begitu aja?" mendadak Arinda bertanya dengan nada cemas. "Halusnya kita hentikan pendarahannya, kan?"

"Kalian yang ngelarang kami mendekati Zaidan, kan?" tanya Cindy sebal.

"Ya, kita memang nggak boleh membiarkannya, tapi bukan kalian yang berhak menyentuhnya, melainkan kami," kata Abil sambil berlutut di samping Zaidan. "Sebaiknya kalian jauh-jauh supaya nggak mengacaukan TKP."

Dasar menyebalkan. Orang-orang ini hanya ingin menang sendiri. "Eh, kamu kira kalian nggak mengacau?" bentak Cindy. "Minimal cuma satu yang deket-deket, dan kamu," dia memelototi Abil, "berhubung kamu orang yang pertama nyampe di TKP, jadi kamu adalah orang yang tertuduh. Kami pihak netral yang lebih bisa dipercaya, tau?"

"Aku aja," seru Wahyu. "Aku anggota PMR."

Aku ingat, Wahyu jugalah orang pertama yang mendatangi Amirudin dan menghentikan pendarahannya.

"Oke, biar kamu aja yang periksa Zaidan, Wahyu," angguk Erza menyetujui.

Abil berusaha mengemukakan keberatan. "Tapi..."

"Udah, kamu nggak usah protes," ketus Cindy. "Dari tadi banyak bacot, biar si Wahyu ini aja yang ngurusin orang sekarat."

"Sudah dua orang," ucap Erza muram. "Dan cukup dua orang aja."

"Kalo kamu segitu sedihnya, kenapa kamu malah ngelanjutin acara seleksi nggak guna gini waktu baru Amirudin yang terluka kemarin?"

"Karena..." Ucapan Erza terhenti. "Ini keputusan kami bersama yang nggak bisa diganggu gugat."

Dari nada bicaranya, jelas-jelas cewek ini tidak setuju dengan dilanjutkannya acara seleksi. Siapa di antara para anggota itu yang menginginkan acara ini tetap berjalan seperti biasa?

"Sebagian besar luka-lukanya nggak parah," kata Wahyu. "Sepertinya luka-luka ini cuma bisa dibuat dengan pistol paku."

"Berarti," kata Cindy sambil melayangkan pandangan pada setiap orang, "gimana kalo kita main geledah-geledahan sebentar?"

Abil langsung berdiri di depan anak-anak The Judges. "Tolong ya, sopan sedikit. Ini anak-anak The Judges, tau?"

"Bodoh amat, emang kupikirin," balas Cindy nyolot. "Pokoknya, kalo mencurigakan, ya harus diperiksa. Dan tersangka yang defensif kayak kalian gini, udah jelas-jelas nyembunyiin sesuatu!"

Anak-anak ini dari tadi bersikap defensif dan mencurigakan. Aku tidak heran kalau mereka menyembunyikan sesuatu seperti yang dituduhkan Cindy.

"Aku nggak keberatan digeledah atau diinterogasi," tegas Erza. "Tapi bukan olehmu, melainkan oleh pihak berwenang."

"Baguslah kalau begitu, karena kami memang akan melakukannya."

Kami semua menoleh dan melihat Inspektur Benjamin muncul dengan langkah lebar dan cepat. Tanpa dikomando, kami segera memberinya akses menuju korban. Inspektur Benjamin menghampiri Zaidan, memeriksanya dengan tangan berlapis sarung tangan.

"Siapa yang menyentuhnya sejauh ini?" tanyanya tanpa menoleh.

"Saya," ucap Wahyu. "Soalnya saya kepingin mastiin dia nggak luka parah."

"Oke, thank you. Lalu siapa lagi yang menyentuh anak ini?"

"Saya," sahut Abil tergagap. "Saya yang pertama menemukannya."

"Saya juga menyentuhnya sedikit," kata Arinda takut-takut.

"Oke," Inspektur Benjamin berdiri dan memberi isyarat pada paramedis yang sedang menunggu di luar. "Kalian boleh masuk, anak-anak. Kita keluar supaya tidak mengganggu kerja para medis."

Kami semua keluar dari area belakang auditorium. Semakin kami keluar, semakin kusadari di luar ternyata ribut banget. Para polisi dan petugas paramedis hilir-mudik, beberapa saling meneriaki, dan setiap mobil yang tiba selalu meraungkan sirine.

Namun area belakang auditorium tidak menangkap suara-suara ini. Suara-suara di dalam gudang juga tak bakalan bisa terdengar oleh orang-orang di luar gudang. Itulah sebabnya kami tidak bisa mendengar aksi si pelaku yang menembakkan paku pada Zaidan.

Selama perjalanan keluar, aku menyadari bahwa Inspektur Benjamin menerima keterangan dari Cindy. Begitu tiba di auditorium, dia langsung mengumpulkan keterangan para anggota The Judges dan bicara dengan mereka secara terpisah.

"Fa, siapa mereka berdua?" tanyaku pada Ralfa, penasaran tentang dua orang dewasa yang tidak kukenali.

"Perkenalkan, aku adalah Viktor, tangan kanan ayah Tuan Ralfa."

"Dan aku Daigo, tangan kanan ayah Nona Adelia."

"Mereka tadi nguntit kami berdua dari semak-semak. Terus gimana kalian tahu kami ada di sini?"

"Aku tadi sedang ingin mengunjungi anda di asrama sekolah, tapi anda tidak ada dan kata Viona kemungkinan anda ada di sekolah bersama teman-teman anda," ucap Viktor menjelaskan.

"Dan aku mendapat telepon darinya, kemungkinan Nona Adelia juga berada di sini," sahut Daigo.

"Tapi kejadian ini benar-benar parah, mengingat ini adalah sekolah elit."

"Tolong jangan ceritakan kejadian ini pada ayahku," ucap Ralfa pada Viktor. "Setidaknya sampai masalah ini selesai."

"Tolong jangan beritahu ayahku juga, Daigo," ucap Adelia.

"Baiklah, kami tidak akan memberitahu ayah kalian tentang masalah ini, untuk saat ini," ucap Viktor dan Daigo.

"Akan aku pikirkan cara untuk segera menangkap pelakunya."

"Aku percaya pada kemampuanmu, Tuan Ralfa."

"Baiklah, Viktor, Daigo, dan Adelia. Ayo sekarang kita pergi cari makan malam."

"Oke, ketegangan tadi membuatku sangat lapar," ucap Adelia.

"Baiklah kalo gitu, aku duluan ya, dan sampai jumpa besok," ucap Ralfa sambil berjalan pergi dan melambaikan tangan padaku.

Aku tahu Ralfa pasti bisa memikirkan cara untuk menangkap si pelaku, sama seperti saat dia difitnah dan terkena masalah pencemaran nama baiknya di sekolah beberapa waktu lalu.

Tapi apa yang akan dia rencanakan?

1
Mbak Inama
bagus banget ceritanya,dari segi alur sangat menarik
Matsuri :v
Gak akan bosan baca cerita ini berkali-kali, bagus banget 👌
Hachi Gōsha: makasih/Smile/
total 1 replies
Star Kesha
Ceritanya sangat menghibur, thor. Ayo terus berkarya!
Hachi Gōsha: terima kasih
total 1 replies
Raquel Leal Sánchez
Bikin adem hati.
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!