NovelToon NovelToon
The Antagonist Wife : Maxime Bride

The Antagonist Wife : Maxime Bride

Status: sedang berlangsung
Genre:Cintapertama / Reinkarnasi / Time Travel / Kehidupan Manis Setelah Patah Hati / Obsesi / Transmigrasi ke Dalam Novel
Popularitas:7.3k
Nilai: 5
Nama Author: Adinda Kharisma

Mati dalam kecelakaan. Hidup kembali sebagai istri Kaisar… yang dibenci. Vanessa Caelum, seorang dokter spesialis di dunia modern, terbangun dalam tubuh wanita yang paling dibenci dalam novel yang dulu pernah ia baca—Vivienne Seraphielle d’Aurenhart, istri sah Kaisar Maxime. Masalahnya? Dalam cerita aslinya, Vivienne adalah wanita ambisius yang berakhir dieksekusi karena meracuni pelayan cantik bernama Selene—yang kemudian menggantikan posisinya di sisi Kaisar. Tapi Vanessa bukan Vivienne. Dan dia tidak berniat mati dengan cara tragis yang sama. Sayangnya… tidak ada yang percaya bahwa sang “Permaisuri Jahat” telah berubah. Bahkan Kaisar Maxime sendiri—pria yang telah menikahinya selama lima tahun namun belum pernah benar-benar melihatnya. Yang lebih mengejutkan? Selene tidak sebaik yang dikira. Di dunia yang dipenuhi permainan kekuasaan, cinta palsu, dan senyum penuh racun, Vanessa harus memilih: Bertahan sebagai tokoh antagonis… atau menghancurkan alur cerita dan menulis ulang takdirnya sendiri.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Adinda Kharisma, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Ajakan Maxime

Seperti biasa, Vanessa tengah tenggelam dalam tumpukan dokumen dan buku tebal berisi laporan diplomatik, catatan perdagangan antarkerajaan, serta arsip peraturan dalam negeri yang harus ia telaah sebagai Ratu. Di hadapannya terbuka gulungan peta besar yang menampilkan wilayah kekuasaan Kerajaan Aragon dan daerah-daerah yang menjalin kerja sama dagang dan politik, seperti Provinsi Velmar, Kota Pelabuhan Avenhart, hingga daerah perbatasan seperti Luthen dan Everen.

Dengan penanda bulu burung elang dan tinta hitam pekat, Vanessa membuat beberapa catatan kecil di tepi dokumen, memperhatikan pola ekspor-impor yang tidak seimbang dan pengeluaran kerajaan yang terlalu besar pada bagian istana utara. Ia mengerutkan kening, mempertimbangkan apakah bisa mengajukan restrukturisasi anggaran.

Lucien duduk di seberangnya, sama sibuknya. Pria muda itu tengah memeriksa daftar nama bangsawan yang akan menghadiri acara musim semi yang akan datang—sekaligus memilah mana yang memiliki catatan loyalitas goyah terhadap kerajaan. Jari-jarinya dengan cekatan membalik halaman, mulutnya bergerak pelan membaca nama demi nama, lalu menulis komentar singkat di sampingnya.

Mereka tampak seperti dua rekan kerja di ruang rapat yang tenang, bukan seperti seorang ratu dan asistennya. Sesekali Vanessa melontarkan pendapat, dan Lucien menjawabnya dengan cepat namun sopan.

“Kau tahu,” ucap Vanessa sambil menopang dagunya dengan tangan, “Daerah Everen ini… selama ini dianggap wilayah kecil, tapi sepertinya potensi sumber dayanya belum sepenuhnya digali. Jika kita kembangkan sistem irigasinya, bisa saja hasil panen mereka dua kali lipat.”

Lucien mengangguk pelan, kagum dengan pengamatan wanita itu. “Saya tidak menyangka Anda akan memperhatikan detail seperti itu, Yang Mulia. Biasanya… hal seperti ini hanya lewat begitu saja.”

Vanessa tersenyum samar. “Kebiasaan lama.”

Lucien terkekeh kecil. “Tapi tetap saja Anda membuat saya merasa kalah cepat.”

“Anggap saja aku memberimu tantangan,” balas Vanessa ringan.

Tiba-tiba suara lembut Sera memecah konsentrasi keduanya. Gadis pelayan itu menatap mereka dengan cemas sekaligus kagum. “Apa kalian tidak lelah bekerja? Mau aku buatkan cemilan?”

Vanessa langsung menoleh dan tersenyum lembut. “Aku ingin kue keju madu hangat dan teh peppermint, Sera.”

Lucien menimpali, “Kalau boleh… saya ikut. Tapi saya pilih roti lapis isi daging asap saja, dan teh hitam.”

Sera terkekeh, “Baik, akan segera saya siapkan.” Ia berbalik meninggalkan ruangan, senyum puas terukir di wajahnya melihat dua orang di ruangan itu yang terlihat rukun dan produktif.

Ruangan kembali tenang setelah Sera pergi. Suara kertas dibalik, pena menyentuh lembaran laporan, dan sesekali tawa ringan dari Vanessa yang tengah membaca kalimat konyol yang dituliskan bangsawan baron dari wilayah sebelah.

“Aku tak percaya dia benar-benar menulis ‘sapi-sapi suci kami tidak boleh diganggu karena mereka lebih berguna dari rakyat biasa’—apa ini serius?” Vanessa menunjuk bagian surat itu, menahan tawa.

Lucien ikut terkekeh. “Baron Krestoff memang terkenal… eksentrik. Tapi aku tidak menyangka sampai segitunya.”

Vanessa tertawa pelan. “Sungguh. Kalau begini terus aku bisa ketagihan membaca laporan!”

Lucien tersenyum hangat, lalu menambahkan, “Kalau begitu saya akan pastikan Anda mendapatkan semua laporan-laporan paling lucu di kerajaan, Yang Mulia.”

Vanessa akan membalas, tapi suara berat tiba-tiba terdengar dari arah pintu yang kini terbuka lebar.

“Aku harap kalian tidak sedang bercanda saat jam kerja.”

Suara itu dingin dan rendah. Maxime berdiri di ambang pintu, tubuhnya tegap, rambutnya masih basah setelah mandi, mengenakan pakaian santai berwarna gelap yang justru membuat sorot matanya semakin tajam.

Vanessa refleks menoleh, sedikit terkejut.

“Yang Mulia,” ucap Lucien buru-buru bangkit dan menunduk dalam.

Vanessa menatap Maxime sebentar. Ia menyadari ekspresi pria itu—bukan marah, tapi… tidak suka.

“Kami hanya sedikit mencairkan suasana. Lucien membacakan surat baron yang terlalu absurd untuk tidak ditertawakan,” jawab Vanessa dengan nada datar namun tenang.

Maxime berjalan masuk perlahan, matanya masih tertuju pada Lucien sebelum akhirnya duduk di kursi di dekat meja panjang. Ia tak langsung bicara. Suasana mendadak berat.

Lucien masih menunduk, tak berani menatap langsung. Vanessa mengangkat alis, lalu berkata, “Jika ada yang perlu dibahas, aku rasa kami bisa membicarakannya di luar jam kerja, bukan?”

Maxime akhirnya membuka suara, nada suaranya masih terdengar tenang namun mengandung sesuatu yang mengganggu.

“Aku hanya ingin memastikan pekerjaanmu sebagai Ratu berjalan baik. Kukira aku melihatmu terlalu… bersantai.”

Vanessa menatapnya. “Aku justru merasa lebih produktif dari sebelumnya. Lucien sangat membantu, dan suasana ringan justru membuat otakku lebih jernih. Tapi jika Yang Mulia merasa tak suka, mungkin Yang Mulia sebaiknya merevisi metode kerja di seluruh kerajaan.”

Maxime menoleh pelan ke arah Lucien, suaranya tenang namun jelas tak bisa dibantah.

“Keluar. Aku ingin bicara berdua dengannya.”

Lucien segera menunduk. “Baik, Yang Mulia.” Ia tak perlu diberi tahu dua kali. Dengan cepat namun tetap sopan, ia meninggalkan ruangan, menutup pintu perlahan di belakangnya.

Kini hanya Maxime dan Vanessa di dalam ruangan itu. Suasana terasa jauh lebih berat, namun tak ada yang bicara selama beberapa detik. Hanya suara denting jam tua di sudut ruangan yang mengisi keheningan.

Maxime bersandar pada meja kerjanya, tangan bersedekap di dada. “Besok pagi aku akan berangkat ke wilayah Belvoir”

Belvoir adalah sebuah distrik yang dikenal sebagai pusat tanaman obat dan distribusi bahan medis.

Vanessa menatapnya, dahi sedikit berkerut. “Lalu?”

“Aku ingin kau ikut bersamaku.”

Vanessa terdiam sesaat, mencoba membaca arah maksud Maxime. “Untuk apa?”

“Mengamati langsung kondisi wilayah yang kau tandatangani proposalnya. Kau ingin serius menjalankan tugas sebagai Ratu, bukan? Maka mulailah melihat dengan matamu sendiri.” Ia berhenti sebentar sebelum menambahkan, “Perjalanan akan memakan waktu satu hari, dan kita akan tinggal di sana selama tiga hari penuh.”

Vanessa membulatkan mata sedikit. “Menginap?”

“Ya. Jangan khawatir, tempatnya cukup nyaman bahkan untuk standar seorang Ratu. Dan Sera akan ikut, kalau itu bisa membuatmu merasa lebih tenang.”

Vanessa mengalihkan pandangan sejenak, lalu kembali menatap Maxime. “Kau yakin ini bukan cara halus untuk mengawasi aku lebih dekat?”

Maxime hanya menatapnya tajam. “Kalau aku ingin mengawasimu, aku tidak perlu repot-repot membawamu ke tempat yang jauhnya dua hari perjalanan pulang-pergi.”

Vanessa menghela napas pelan, lalu menyandarkan punggungnya pada sandaran kursi. Tatapannya tak lagi menantang, hanya datar dan lelah—namun tetap dengan sorot percaya diri yang tak goyah.

“Baiklah,” ucapnya akhirnya. “Aku ikut.”

Keputusan itu terdengar ringan, tapi di ruangan itu, seolah udara yang tertahan ikut mengalir kembali.

Maxime mengangguk pelan, nyaris tak terlihat. Namun di sudut bibirnya, terlukis senyuman tipis—sangat samar, hampir tak nyata—tapi cukup untuk menunjukkan bahwa ia tidak sepenuhnya dingin seperti yang selama ini ia perlihatkan.

Vanessa tidak menyadarinya. Ia sudah sibuk menatap ke luar jendela, membayangkan seperti apa perjalanan ke wilayah Belvoir nanti. Namun bagi Maxime, keputusan wanita itu terasa seperti awal dari sesuatu yang belum bisa ia beri nama… dan mungkin—belum ingin ia akui.

——

Di dapur bagian belakang, aroma rempah dan daging panggang memenuhi udara. Selene tengah memotong sayuran di meja marmer panjang, tangannya cekatan namun pikirannya melayang entah ke mana. Pelayan di sebelahnya tengah bergosip ringan sambil menyusun bumbu.

“Aku dengar Yang Mulia dan Ratu akan pergi ke Belvoir selama beberapa hari,” bisik salah satu pelayan, suara pelan namun penuh antusiasme. “Katanya sih, mereka akan menginap di sana. Perjalanan dinas, tapi siapa tahu malah jadi bulan madu.”

“Bulan madu? Dengan Ratu Vivienne?” balas pelayan lain setengah tertawa. “Rasanya Kaisar lebih suka tidur di padang perang daripada satu atap dengan Ratu.”

Meski mereka berbicara setengah bercanda, hati Selene langsung mencelos. Tangan yang memotong wortel pun berhenti, dan wajahnya langsung memucat. Belvoir… menginap? Hanya mereka berdua?

Tanpa menunggu, Selene meletakkan pisaunya dan segera bergegas keluar dari dapur, bahkan tanpa sempat memberi penjelasan kepada para pelayan lain yang menatap heran. Rok panjangnya terseret di lantai batu istana, menyapu debu ringan yang tak sempat dibersihkan. Nafasnya cepat dan berat saat ia menyusuri lorong panjang menuju ruang kerja Kaisar Maxime.

Begitu sampai di depan pintu besar berukir lambang kerajaan Aragon, langkah Selene terhenti. Dua pengawal berdiri tegak di depan pintu, pedang tergantung di pinggang, wajah mereka dingin tak menunjukkan ekspresi.

“Saya ingin bertemu dengan Yang Mulia,” ucap Selene, suaranya tegas meski terdengar gemetar.

Salah satu penjaga menoleh, menggeleng pelan. “Tidak bisa. Beliau sedang tidak ingin diganggu.”

“Tapi ini penting,” desaknya. “Tolong sampaikan bahwa Selene ingin berbicara. Hanya sebentar.”

Penjaga masih tak bergeming. Namun, saat itulah pintu kayu terbuka dari dalam dan Bastian keluar, membawa setumpuk dokumen.

Begitu melihatnya, Selene segera maju satu langkah. “Tuan Bastian, tolong… bisakah Anda menyampaikan kepada Yang Mulia bahwa saya ingin bertemu dengannya?”

Bastian menghentikan langkahnya. Tatapannya tajam dan terukur, namun ia mengangguk singkat. “Tunggu di sini.”

Selene mengangguk, hatinya sedikit lega. Ia berdiri tegak, meski tangannya gemetar saat menggenggam rok gaunnya. Beberapa menit berlalu yang terasa seperti jam.

Lalu, pintu kembali terbuka. Bastian keluar.

Tatapan mata pria itu kosong dan suaranya datar saat berkata, “Yang Mulia tidak menerima tamu. Ia tidak ingin bertemu siapa pun saat ini.”

Selene terbelalak, sulit mempercayai apa yang didengarnya. “Apa… maksudnya tak ingin bertemu siapa pun? Biasanya dia tidak menolak kehadiranku…”

“Situasi telah berubah, Selene,” ucap Bastian tenang namun tegas. “Dan kau seharusnya mulai memahami posisi dirimu.”

“Posisiku?” ulang Selene, napasnya berat.

“Kau adalah pelayan,” lanjut Bastian tanpa basa-basi. “Kau tidak memiliki hak untuk sembarangan meminta audiensi dengan Kaisar, kecuali itu menyangkut urusan yang benar-benar mendesak atau melalui jalur yang semestinya.”

Selene menggigit bibirnya. Luka di hatinya lebih tajam dari kata-kata Bastian.

“Aku hanya…” gumamnya, “Aku hanya ingin tahu…”

“Dan karena itulah seharusnya kau lebih berhati-hati. Jika terlalu mencolok, orang akan mulai membicarakanmu. Bahkan Kaisar pun mungkin akan menjauh. Jangan jadikan perhatian yang pernah kau dapat sebagai jaminan posisi. Dunia istana… selalu berubah.”

Bastian memberi anggukan singkat lalu melangkah pergi, membiarkan Selene berdiri sendiri di lorong yang mulai terasa dingin dan sunyi. Hatinya terasa semakin jauh dari sang Kaisar, seakan hanya dalam satu hari, jarak mereka membentang sangat lebar.

Tepat saat hendak berbalik pergi dengan langkah kecewa, Selene mendadak terhenti. Suara langkah anggun dan berirama membuatnya menoleh—dan di sanalah Vivienne berdiri, anggun dalam balutan gaun biru senja yang menonjolkan keanggunan alami miliknya. Wajahnya tenang, penuh percaya diri, dan sorot matanya dingin saat menatap Selene.

Vivienne mengangkat tangannya, hendak membuka pintu ruang kerja Kaisar, namun sebelum tangannya sempat menyentuh gagang pintu, suara Selene terdengar.

“Kaisar sedang tidak ingin menerima tamu,” ucap Selene, berusaha terdengar tenang, namun nada suaranya terdengar seperti peringatan halus.

Vivienne berhenti. Tatapannya tertuju pada Selene, namun tak sepatah kata pun ia ucapkan. Ia hanya mengangkat sebelah alisnya, seolah mengatakan “kau sedang apa di sini?”

“Setelah bertemu denganku… Yang Mulia mengatakan tidak ingin menemui siapa pun lagi,” lanjut Selene, menyisipkan senyuman samar di bibirnya. Sebuah kebohongan yang dilontarkan dengan begitu ringan.

Vanessa—dalam tubuh Vivienne—menatapnya beberapa detik lebih lama. Dalam batinnya, ia ingin tertawa. Dia pikir aku bodoh?

“Begitukah?” ucap Vanessa, nada suaranya terdengar netral, namun penuh ironi. “Lucu sekali. Karena beberapa menit yang lalu, justru Kaisar sendiri yang memintaku datang.”

Selene terdiam. Ia tidak memperkirakan respons itu.

Vanessa melangkah satu langkah lebih dekat, senyum tipis terukir di wajahnya—bukan senyum ramah, melainkan senyum seorang wanita yang tahu dirinya tak perlu menurunkan martabat untuk membuktikan kedudukannya.

“Aku Ratu di tempat ini, Selene,” lanjut Vanessa lembut namun tegas. “Jika memang Kaisar tidak ingin menemuiku, biarlah beliau sendiri yang mengatakannya. Bukan dari mulut seorang pelayan.”

Nada bicara Vanessa tidak meninggi, namun cukup untuk menusuk harga diri siapa pun yang mendengarnya—terutama bagi seorang Selene yang selama ini merasa mendapat tempat istimewa.

Seketika Bastian muncul, tampak kaget melihat sang Ratu yang berdiri di depan pintu dengan atmosfer yang begitu tegang. Tatapannya segera tertuju pada Vanessa.

“Yang Mulia,” ucap Bastian sopan sambil menunduk. “Kaisar sedang menunggu Anda di dalam.”

Sebuah pukulan telak bagi Selene.

Vanessa menatap Selene sekali lagi sebelum akhirnya melangkah masuk ke dalam ruangan, meninggalkan pelayan bersurai merah itu yang kini menggigit bibirnya, menahan gejolak rasa malu yang melanda dirinya.

Pintu besar berlapis ukiran itu tertutup pelan di belakang Vanessa, meninggalkan Selene yang terdiam kaku di lorong luar, wajahnya masih memerah oleh rasa malu yang menamparnya dengan keheningan yang menyakitkan.

Di dalam, langkah Vanessa melambat. Sorot matanya sedikit berubah saat menyadari betapa jauh dirinya telah melenceng dari rencana awal.

Ia menghela napas pelan.

Aku seharusnya tidak seperti itu…

Tujuannya sederhana sejak awal: menjauh dari Maxime, membiarkan jalan cerita mengalir sesuai kehendak penulis, dan memberikan tempat itu pada Selene—tokoh utama yang semestinya berakhir bahagia bersama Kaisar.

Namun semakin lama ia di sini, semakin sulit rasanya untuk tetap diam saat harga diri Vivienne diinjak begitu saja. Apalagi oleh seorang pelayan yang seharusnya tahu batas.

Memangnya salah kalau aku ingin Vivienne dihargai? batinnya. Aku tidak pernah berniat menggantikan siapa pun. Tapi jika aku harus tetap berada di tubuh ini, setidaknya biarkan aku menjaga martabatnya.

1
ririn nurima
suka banget ceritanya
Melmel
thanks thor crazy upnya. pembaca hanya baca dengan menit, sedng yg ngetik siang malam mikir setiap katanya.. kerenn 🫶
Melmel
keren thor 👍
Eka Putri Handayani
pokoknya harus bertahan jd wanita yg kuat jngn percaya muka medusa yg sok polos itu
Eka Putri Handayani
geramnya aku sm pelayan gak tau diri ini, ayo vanessa km bisa jd lebih kuat dan berani
Eka Putri Handayani
jadikan viviane gadis yg kuat yg gak takut apapun klo bisa dia jg bisa bela diri
Murni Dewita
tetap semangat dan double up thor
Murni Dewita
lanjut
Murni Dewita
💪💪💪💪
double up thor
Murni Dewita
lanjut
shaqila.A
kak, lanjut yukk. semangat up nyaaa. aku siap marathon💃💃
Murni Dewita
mexsim terlalu egois
rohmatulrohim
critanya menarik di buat pnasan dg kelanjutannya.. yg semangat up nya thor.. moga sampai tamat ya karyanya dan bisa buat karya yg lain
Murni Dewita
tetep semangat thor
Murni Dewita
ratu di lawan ya k o lah
Murni Dewita
tetap semangat jangan lupa double up thor
Murni Dewita
dasar tak tau diri
Murni Dewita
pelayanan tak tau diri
ya udah cerai aja vanesa
Murni Dewita
double up thor
Murni Dewita
apakah vanesa tidak memiliki ruang dimensi thir
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!