"Aku tidak mau dijodohkan! Bukankah kalian semua tau kalau aku sudah memiliki kekasih? " "Kami semua tau nak, tapi tidak bisakah kamu menolong papa sekali ini saja, ? " "Tidak! Yang menjadi anak dirumah ini bukan hanya aku saja, masih ada Melodi di rumah ini, kenapa bukan dia saja yang kalian jodohkan! "
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Alizar, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
35
Arkan berdiri tegak, matanya berkaca-kaca namun penuh tekad. "Aku harus mencari Melody," ujarnya dengan suara yang lebih tenang daripada sebelumnya, namun nada putus asa masih tersirat jelas. Dia menatap Fajar, temannya, yang masih berdiri termangu di sampingnya, raut wajahnya mencerminkan penyesalan yang dalam.
Fajar, dengan kepalanya tertunduk, hanya bisa menggumamkan, "Maafkan aku, Arkan. Aku tidak seharusnya..." suaranya tercekat, tidak mampu melanjutkan kata-katanya.
Mengabaikan rasa sakit di hatinya, Arkan meletakkan tangannya di bahu Fajar sejenak sebelum berbalik pergi. Langkah kakinya tergesa-gesa, menunjukkan urgensi dan determinasi untuk menemukan Melody, gadis yang telah lenyap tanpa jejak yang jelas. Fajar hanya bisa menatap punggung Arkan yang menjauh, merasa dirundung kesalahan yang tak termaafkan.
Fajar menatap jalan yang memanjang dengan gelisah, cahaya fajar baru saja menyapa, memberikan sedikit penghiburan di tengah kepanikannya. "Tuhan, tolong kami," gumamnya dalam hati, sambil meremas-remas ujung baju yang sudah basah oleh keringat dingin.
Di sisi lain, Arkan menginjak pedal gas lebih dalam, tangannya mencengkeram setir dengan kekuatan penuh, urat-uratnya menonjol tanda tekanan. Mata Arkan tidak berkedip, memastikan tidak ada yang terlewat dari pandangannya. Setiap detik terasa begitu berharga untuk mencapai kantor pusat para ahli IT yang mungkin bisa membantu melacak keberadaan Melody.
Ponsel di dasbor berdering, memecah kesunyian mencekam dalam mobil, namun hanya menampilkan panggilan tak terjawab dari nomor yang tidak dikenali. Arkan menghela napas berat, rasa frustrasi dan ketakutan bercampur menjadi satu. "Harus ada cara untuk menemukanmu, Melody," bisiknya, suara serak penuh emosi.
Ketika mereka akhirnya tiba di kantor pusat, Arkan melompat dari mobil sebelum sepenuhnya berhenti, berlari kencang memasuki gedung dengan nafas tersengal-sengal. Setiap langkahnya seolah membawa beban berat, beban ketidakpastian dan ketakutan kehilangan yang menghantui setiap sudut pikirannya.
Fajar, dengan langkah yang lebih ragu, mengikuti di belakang, masih berdoa dalam hati, berharap kabar baik menanti mereka di depan.
Dengan langkah tergesa-gesa, Arkan memasuki ruangan yang dipenuhi dengan peralatan teknologi canggih. Di sana, dia langsung didekati oleh seorang ahli IT yang tampak serius dengan kacamata tebalnya. "Saya perlu bantuan Anda," ucap Arkan dengan nada mendesak, "Istri saya, Melody, terakhir kali terlihat di kampus dan sekarang menghilang."
Ahli IT itu mengangguk, "Baik, mari kita mulai dengan memberikan semua informasi yang Anda miliki." Arkan lantas menjelaskan secara detail, sambil sesekali mengeluarkan foto dan data pribadi Melody dari tasnya.
Mata ahli IT itu fokus pada layar laptop, jemarinya lincah mengetik dan mengklik. Wajahnya tampak tegang, tanda bahwa ia tengah melakukan pekerjaan penting. "Ini dia," katanya tiba-tiba, menunjukkan rekaman CCTV yang terletak tidak jauh dari area kampus. Pada layar, tampak Melody sedang dibawa oleh seseorang yang tidak dikenal menuju sebuah kendaraan.
"Coba perbesar gambar itu," perintah Arkan, jantungnya berdebar kencang. Ahli IT itu mengikuti perintah tersebut, dan dengan teknologi yang ada, wajah penculik itu menjadi lebih jelas.
"Mereka membawanya ke arah hutan, lihat jalur ini," ahli IT itu menunjuk pada peta digital yang dilapisi dengan rute yang ditandai. "Jaraknya lumayan jauh, tapi kita bisa mulai dari sini."
Arkan menggenggam erat kursi di depannya, rasa cemas dan marah bercampur menjadi satu. "Terima kasih, Anda sudah membantu saya banyak." Namun di dalam hatinya, sebuah tekad kuat terbentuk ia tidak akan membiarkan apapun terjadi pada Melody.
Arkan bangkit dari tempat duduknya dengan mata yang berkobar-kobar. Kedua tangannya digenggam erat, rahangnya mengeras sementara ia menatap Fajar dengan tatapan yang sangat serius dan mendalam. "Fajar, aku minta kau kerahkan semua anggota terkuat kita. Kita harus temukan Melody secepatnya," ujarnya dengan suara yang berat dan penuh tekad.
Fajar, yang merasakan urgensi dalam suara Arkan, mengangguk tegas. "Tentu, Arkan. Aku akan siapkan tim terbaik. Kita tidak akan biarkan mereka yang bertanggung jawab atas ini lolos begitu saja," balasnya, suaranya penuh dengan determinasi.
Arkan menghela napas dalam-dalam, matanya tidak lepas dari peta yang terbentang di hadapan mereka yang menunjukkan hutan tempat Melody terakhir kali terlihat. "Begitu kita temukan Melody, tidak ada ampun bagi mereka yang telah melakukan ini padanya," sumpah Arkan, suaranya keras dan tegas, menggema di ruangan itu.
Tangan Arkan terkepal semakin kuat, seolah-olah ia sudah bisa merasakan keadilan yang akan ia berikan. Fajar dan timnya mengangguk, semua terikat dalam satu misi: menyelamatkan Melody dan menghukum setiap orang yang terlibat dalam penculikannya.
***
Melody merasakan sakit di seluruh tubuhnya saat ia terbangun dari tidur yang tidak nyaman. Kepalanya berdenyut, matanya berkunang-kunang, mencoba menyesuaikan dengan cahaya remang yang menembus ruang sempit gudang yang berdebu. Ketakutan memenuhi pikirannya saat ia menyadari dirinya terikat erat di sebuah kursi kayu tua. Ia mencoba meronta, namun tali yang mengikatnya begitu kuat hingga hanya mampu membuatnya meringis kesakitan.
Melody berusaha mengumpulkan ingatannya. Ia ingat pulang dari kampus dan tertidur di dalam mobil, namun sekarang ia terjebak di tempat yang tidak dikenal, dingin dan menakutkan. Teriakannya untuk meminta tolong teredam oleh kain yang tersumbat di mulutnya, hanya suara gemeretak giginya yang terdengar di ruang suram tersebut.
Dengan setiap detik yang terasa seperti jam, Melody merasakan kepanikannya meningkat. Ia menggerakkan matanya kesana kemari, mencari sesuatu atau seseorang yang bisa memberinya petunjuk atau bahkan menyelamatkannya. Namun, hanya kegelapan dan barisan rak tua yang dipenuhi kotak dan peralatan yang terlihat. Air mata mulai mengalir di pipinya, rasanya seperti mimpi buruk yang tak kunjung berakhir.
Melody terbangun dari lamunannya ketika pintu ruangannya dihantam dengan kekuatan yang luar biasa. Suara dentuman keras itu menggema di seluruh ruangan, menggetarkan setiap sudut. Serombongan pria berpakaian serba hitam memasuki ruangan, langkah mereka tegas dan penuh autoritas. Seorang wanita berdiri di antara mereka, postur tubuhnya tegap, menandakan kepemimpinan. Dia mengenakan topeng yang menutupi seluruh wajahnya, hanya matanya yang tajam terlihat, memancarkan ketegasan.
Melody mencoba memicingkan matanya, berusaha mengenali wajah-wajah di balik topeng itu, tapi sia-sia. Setiap orang di hadapannya adalah misteri. Dengan tangan dan kaki terikat ke kursi, dia meronta, berusaha melepaskan diri, namun tali yang mengikatnya terlalu kuat, andai mulutnya tidak tersumbat sudah pasti Melody akan berkata "Lepaskan aku!" teriaknya dengan suara yang bergetar karena ketakutan.
Wanita bertopeng itu melangkah mendekat, tatapannya menusuk langsung ke arah Melody. Dengan senyum sinis yang terbentuk di balik topeng, dia berkata, "Kau pikir kau bisa lolos begitu saja?" Suara wanita itu dingin dan mengejek, membuat bulu kuduk Melody berdiri.
Melody merasakan desakan panik yang membanjiri pikirannya. Wanita itu kemudian mendekat, hampir berbisik, "Kau akan menyesal telah mencampuri urusan yang bukan tempatmu." Setiap kata yang diucapkannya dilontarkan dengan nada menghina, seolah-olah Melody hanyalah pion dalam permainan yang lebih besar.
Melody mengerutkan alisnya, rasa bingung menyelimuti pikirannya saat ia menatap wanita misterius yang berdiri di hadapannya. "Apa maksudmu, urusan apa yang kucampuri hingga kau culik aku?" gumamnya dengan tidak jelas, suara gemetar memenuhi ruang suram itu.
Wanita misterius itu tertawa terbahak, suaranya menggema di dinding-dinding sempit, sambil menepuk jidatnya. "Sorry, aku lupa membuka ikatan itu dari mulutmu," katanya seraya bergerak mendekat ke Melody. Dengan gerakan cepat, ia melepaskan ikatan di mulut Melody, membiarkan kata-kata yang terpendam akhirnya terlontar.
"Apa maksud dari semua ini? Mengapa kau culik aku?" tanya Melody dengan nada suara yang meninggi.
mencoba menahan rasa takut yang menggelayuti hatinya. Wanita itu menghela nafas, matanya menatap Melody dengan tatapan yang sulit dibaca. "Kau tidak menyadari apa yang telah kau campuri, Melody. Tapi tenang, aku akan menjelaskan semuanya, dan aku berharap kau bisa memahami alasan di balik semua ini." Suaranya rendah dan berat, seolah membawa beban rahasia yang akan segera terungkap.
Dengan napas yang tersengal, Melody menarik nafas panjang ruangan sempit dan gelap itu benar benar tipis udara. Tali yang mengikat pergelangan tangannya terasa menggigit kulit. Di depannya, seorang wanita berdiri dengan tatapan tajam yang menerobos ke dalam jiwa Melody.
"Kamu harus mengerti, Melody. Ini hanya peringatan," ucap wanita itu dengan nada serius yang mendalam. "Arkan... dia bukanlah milikmu semata."
Mendengar nama suaminya, Melody merasakan jantungnya berdetak kencang. Pikirannya melayang ke masa lalu, ke saat-saat bahagia bersama Arkan. Namun, kehadiran wanita misterius ini membuyarkan semua kenangan itu. Apakah mungkin dia adalah Rina, mantan kekasih Arkan yang selalu mencari gara gara dengan nya?
Melody mencoba memfokuskan pandangannya pada wajah wanita di depannya. Mata wanita itu, berwarna coklat terang, sangat berbeda sekali dengan Rina yang memiliki mata biru. Kesimpulan logis mulai terbentuk dalam benaknya, bahwa wanita ini bukan Rina, melainkan orang suruhan yang dipakai untuk menakut-nakuti.
"Jangan berpikir kamu bisa lolos dengan ini," sambung wanita tersebut, suaranya dingin namun terkendali. "Kami memiliki banyak cara untuk mendapatkan apa yang kami inginkan. Dan saat ini, kami menginginkan Arkan kembali."
Melody merasakan air matanya mulai menetes, rasa takut dan kebingungan bercampur menjadi satu. Bagaimana mungkin kehidupan yang baru saja terasa sempurna kini terancam oleh bayang-bayang dari masa lalu Arkan? Wanita itu mundur selangkah, menatap Melody dengan sebuah senyuman sinis sebelum berbalik dan meninggalkan ruangan, meninggalkan Melody terikat, sendirian dengan pikirannya yang kacau.
Ketika wanita itu berbalik meninggalkan ruangan, Melody hanya bisa menundukkan kepala, merasakan ketidakberdayaan yang mendalam sambil mendengar derap langkah para pria berpakaian hitam yang mengikutinya keluar dari ruangan. Ketakutan dan kebingungan menyelimuti pikirannya, sementara dia terus mempertanyakan, siapakah mereka dan apa yang mereka inginkan darinya.