"aku pernah membiarkan satu Kalila merebut milik ku,tapi tidak untuk Kalila lain nya!,kau... hanya milik Aruna!"
Aruna dan Kalila adalah saudara kembar tidak identik, mereka terpisah saat kecil,karena ulah Kalila yang sengaja mendorong saudara nya kesungai.
ulah nya membuat Aruna harus hidup terluntang Lantung di jalanan, sehingga akhirnya dia menemukan seorang laki laki tempat dia bersandar.
Tapi sayang nya,sebuah kecelakaan merenggut ingatan Aruna,sehingga membuat mereka terpisah.
Akankah mereka bertemu kembali?,atau kah Aruna akan mengingat kenangan mereka lagi?
"jika tuhan mengijinkan aku hidup kembali, tidak akan ku biarkan seorang pun merebut milik ku lagi!"ucap nya,sesaat sebelum kesadaran nya menghilang.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aru_na, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
35.Usaha Kalila
Arza duduk terdiam, mendengarkan Kalila yang terus bercerita dengan nada mendayu, melebih-lebihkan setiap pertolongannya. Ayah dan Ibunya sesekali menanggapi dengan senyum, tampaknya terkesan dengan "kebaikan" Kalila.
Namun, di telinga Arza, setiap kata Kalila kini terasa seperti irisan tipis yang mengusik. Ia melirik Aruna, yang tetap tenang di sebelahnya, namun sorot matanya tak lepas dari Kalila. Arza melihat ada sesuatu di mata Aruna—bukan cemburu, melainkan semacam kekecewaan yang dalam, dan sedikit peringatan.
Ini bukan lagi sekadar firasat Aruna. Ini adalah kenyataan yang terpampang jelas. Kalila tidak hanya sekadar 'adik' atau 'teman baik'. Ada motif tersembunyi, dan dia berani melancarkan aksinya bahkan di depan orang tua Arza. Sebuah rasa sesal menyergap Arza. Ia merasa bodoh, terlalu buta oleh kepolosannya sendiri, atau mungkin, terlalu sibuk dengan Aruna dan pasiennya, hingga tidak menyadari drama yang terjadi di sekitarnya.
"Dulu, Mas Arza juga paling perhatian sama aku," Kalila melanjutkan, suaranya melengking manja, "kalau aku sakit, Mas Arza pasti langsung datang menjenguk, bahkan membawakan bubur."
Arza merasakan keningnya berkerut. Ia memang pernah menjenguk Kalila saat sakit, tapi bukan hanya Kalila. Ia menjenguk setiap pasien yang butuh perhatian lebih. Ia juga tidak ingat pernah membawakan bubur secara khusus. Cerita itu terlalu personal, terlalu dilebih-lebihkan.
Ayah dan Ibu Arza saling pandang, senyum kecil mengembang di bibir mereka. Mereka melihat 'chemistry' yang tampaknya kuat antara Arza dan Kalila, sebuah 'chemistry' yang disulut oleh narasi Kalila.
Aruna yang sedari tadi diam, akhirnya tidak bisa menahan diri. Ia tidak ingin Arza terlihat seperti pria yang punya hubungan lain di depan orang tuanya, apalagi dengan cerita fiksi Kalila.
"Kalila," suara Aruna terdengar tenang, namun setiap katanya memancarkan ketegasan yang dingin. Ia menatap lurus ke arah Kalila, mengabaikan Arza dan orang tuanya sejenak. "Sepertinya ingatanmu sedikit kabur ya? Mas Arza itu dokter, dan dia selalu peduli pada semua pasiennya. Dia juga menjenguk banyak warga desa yang sakit, bukan hanya kamu."
Senyum Kalila seketika menghilang. Wajahnya memerah. Ia tidak menyangka Aruna akan memotongnya dan menyerangnya secara langsung.
"Dan mengenai bubur," Aruna melanjutkan, suaranya sedikit lebih meninggi, "aku yakin Mas Arza tidak punya waktu untuk membuat bubur khusus untuk satu orang. Dia terlalu sibuk merawat banyak pasien. Mungkin yang kamu maksud itu bubur dari Puskesmas yang dibagikan untuk semua pasien yang rawat jalan?" Aruna menaikkan satu alisnya, senyum tipis sinis muncul di bibirnya.
Arza menahan napas. Orang tuanya tampak terkejut dengan interaksi ini. Kalila terlihat kalang kabut.
"Aruna! Apa yang kamu katakan itu?!" Kalila mencoba memprotes, suaranya sedikit goyah.
"Aku hanya meluruskan fakta, Kalila," jawab Aruna santai, kini pandangannya beralih ke Arza, lalu ke mertuanya. "Mas Arza ini sangat profesional dan tulus dalam pekerjaannya. Dia tidak pernah membeda-bedakan pasien. Jadi, semua yang dia lakukan itu murni karena tanggung jawabnya sebagai dokter, bukan karena ada hubungan istimewa dengan satu pasien saja."
Arza merasa terpukul. Kata-kata Aruna menusuknya, sekaligus membuka matanya lebar-lebar. Ia melihat Kalila yang kini menunduk, tidak berani menatap Aruna. Ia juga melihat raut wajah orang tuanya yang berubah, kini menunjukkan kebingungan.
"Iya, Kalila," Ayah Arza akhirnya angkat bicara, nadanya sedikit berubah. "Benar juga kata Aruna. Putra kami memang sangat profesional." orang tua arza tersenyum, mereka merasa bangga pada putra nya.
Kalila semakin merana. Jebakannya justru menjadi bumerang. Aruna tidak hanya meluruskannya, tapi juga menggunakan keprofesionalan Arza sebagai tameng, sekaligus membuat orang tua Arza sedikit 'sadar' dengan drama yang sedang terjadi.
Melihat keadaan ini, Kalila akhirnya berdiri. "Maaf, Bapak, Ibu. Sepertinya saya harus pulang. Ada urusan mendadak." Ia melirik Aruna dengan tatapan penuh dendam, lalu buru-buru pergi tanpa menunggu Arza atau orang tuanya menanggapi.
Suasana menjadi canggung. Arza merasa tidak enak hati. Ia menatap Aruna, matanya penuh penyesalan. "Aruna..."
Aruna hanya tersenyum tipis, meraih tangan Arza dan menggenggamnya erat. "Tidak apa-apa, Mas. Kita lanjutkan obrolan kita saja dengan Mama dan Papa."
Mereka melanjutkan mengobrol banyak hal dengan orang tua arza, mereka pun seolah olah melupakan begitu saja prihal Kalila.
Sehingga tidak terasa malam semakin larut, orang tua arza segera pamit untuk beristirahat,sedang arza dan Aruna masih terduduk di tempat yang sama tapi dengan pemikiran yang berbeda.
Malam itu, setelah orang tuanya masuk ke kamar, Arza menarik Aruna ke pelukannya di ruang tamu.
"Sayang, maafkan aku," Arza berbisik, mencium puncak kepala Aruna. "Aku... aku benar-benar baru sadar. Kamu benar. Kalila itu memang..." Ia tidak melanjutkan kalimatnya, namun Aruna tahu apa yang ingin Arza katakan.
"Aku sudah bilang, Mas," Aruna mengelus punggung Arza. "Mas terlalu baik. Terlalu polos. Kadang kebaikan itu bisa dimanfaatkan orang."
"Aku merasa bodoh sekali, Aruna," Arza menghela napas. "Selama ini aku mengira dia tulus. Aku... aku bahkan tidak menyadari kalau dia sampai memutar balikkan cerita di depan orang tuaku." tampak jelas sekali raut kekecewaan diwajah nya arza.
"Tidak apa-apa, Mas. Yang penting sekarang Mas sudah tahu," Aruna mendongak, menatap mata Arza. "Aku tidak pernah meragukan cintamu, Mas. Hanya saja, aku tidak bisa membiarkan siapa pun mengusik rumah tangga kita."
Arza memeluk Aruna lebih erat. "Terima kasih, Sayang. Terima kasih sudah melindungiku, melindungi kita. Aku janji, aku akan lebih peka dan berhati-hati mulai sekarang."
Aruna tersenyum lega. Ini adalah kemenangan. Bukan kemenangan melawan Kalila secara langsung, melainkan kemenangan dalam membuka mata Arza. Arza kini melihat, dan itu adalah hal yang paling penting.
Arza membawa Aruna kedalam kamar, mereka duduk disana, menyandarkan kepalanya di kepala tempat tidur, tapi masih berpelukan.
"maafkan aku sayang. Aku tau aku yang salah, terlalu percaya sama orang, aku kenal Kalila semenjak pertama datang kesini, dan keluarga nya pun sangat baik. Aku pikir... Dia akan bersikap sama seperti mereka tapi ternyata.." arza menghela nafas.
Aruna melepaskan pelukan arza,lalu menatap wajah arza Lamat Lamat. "apa mas, kecewa?. Maksud ku ... dengan sikap Kalila atau... Dengan dia yang tidak sesuai dengan keinginan mu?" pertanyaan Aruna membuat arza terkejut, dia menatap Aruna intens.
"aku kecewa... Karena dia bukan lah teman yang sebenarnya, sayang" meskipun agak sedikit lega,entah kenapa, Aruna masih merasakan firasat buruk yang akan datang kedepan nya. Kalila tidak mudah di lawan, dia tidak akan menyerah.
"ayo tidur, aku sudah sangat mengantuk" Aruna menarik selimutnya, dia masih merasakan perasaan tidak nyaman itu. Entah apa, yang pasti dia akan tetap berusaha untuk mempertahankan milik nya.