NovelToon NovelToon
The Antagonist Wife : Maxime Bride

The Antagonist Wife : Maxime Bride

Status: sedang berlangsung
Genre:Cintapertama / Reinkarnasi / Time Travel / Kehidupan Manis Setelah Patah Hati / Obsesi / Transmigrasi ke Dalam Novel
Popularitas:7.1k
Nilai: 5
Nama Author: Adinda Kharisma

Mati dalam kecelakaan. Hidup kembali sebagai istri Kaisar… yang dibenci. Vanessa Caelum, seorang dokter spesialis di dunia modern, terbangun dalam tubuh wanita yang paling dibenci dalam novel yang dulu pernah ia baca—Vivienne Seraphielle d’Aurenhart, istri sah Kaisar Maxime. Masalahnya? Dalam cerita aslinya, Vivienne adalah wanita ambisius yang berakhir dieksekusi karena meracuni pelayan cantik bernama Selene—yang kemudian menggantikan posisinya di sisi Kaisar. Tapi Vanessa bukan Vivienne. Dan dia tidak berniat mati dengan cara tragis yang sama. Sayangnya… tidak ada yang percaya bahwa sang “Permaisuri Jahat” telah berubah. Bahkan Kaisar Maxime sendiri—pria yang telah menikahinya selama lima tahun namun belum pernah benar-benar melihatnya. Yang lebih mengejutkan? Selene tidak sebaik yang dikira. Di dunia yang dipenuhi permainan kekuasaan, cinta palsu, dan senyum penuh racun, Vanessa harus memilih: Bertahan sebagai tokoh antagonis… atau menghancurkan alur cerita dan menulis ulang takdirnya sendiri.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Adinda Kharisma, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Undangan

Kabut tipis menggantung di udara. Udara Mournveil selalu lembap, membawa aroma tanah, batu basah, dan sesuatu yang lebih tua—bau kematian yang tak sempat dikuburkan.

Maxime berjalan di depan, jubah panjangnya berkibar tertiup angin malam. Di belakangnya, Bastian mengikuti dengan langkah sigap, menggenggam gulungan catatan dan sarung pedang yang siap ditarik kapan saja.

Gedung di depan mereka tampak seperti rumah reyot biasa—tapi Bastian tahu, tak ada yang biasa dari bangunan yang sengaja dibangun di atas lorong penyelundupan lama.

Maxime berhenti di ambang pintu, menatap papan kayu tua itu dengan dingin.

“Tempat ini pernah jadi gudang logistik keluarga Aurenhart,” gumamnya. “Kini jadi sarang tikus yang menggigiti nama kami.”

Bastian mengangguk. “Sesuai pengakuan tahanan, transaksi terakhir dilakukan di ruang bawah rumah ini.”

Mereka masuk. Lantai kayu tua berderit di bawah langkah mereka, dan udara di dalam lebih pengap dari luar.

Bastian menarik obor dari dinding dan menuruni tangga kecil di sudut ruangan. Di bawah, lorong sempit membawa mereka pada sebuah ruangan tersembunyi—berisi tumpukan jubah hitam, kotak-kotak tua, dan meja penuh catatan.

Maxime menyapu ruangan dengan tatapan tajam. “Mereka meninggalkannya tergesa-gesa.”

Bastian menunjuk sebuah peta pasar ibu kota yang terbentang di meja. Titik merah melingkari beberapa area keramaian—dan satu lingkaran paling besar di titik insiden tempo hari.

“Ini bukti bahwa penyerangan pada Ratu bukan insiden acak,” ucap Bastian perlahan. “Mereka tahu jalur pergerakan Ratu hari itu… dan memilih tempat yang paling ramai.”

Maxime tidak menjawab. Tangannya mengangkat selembar surat yang terselip di bawah peta.

“Bayaran sudah diterima. Target: Aurenhart. Panggung: Festival. Jangan gagal lagi.”

Ia mengepalkan surat itu, lalu meletakkannya kembali di atas meja.

“Ini bukan sekadar pembunuhan,” katanya pelan namun tajam. “Ini pembersihan darah.”

Bastian mengangguk tegang. “Simbol yang ditemukan di sini…” Ia mengambil sebuah koin logam berukir dua ular melilit tongkat berduri, sedikit berbeda dari lambang medis resmi kerajaan.

Maxime memandanginya lama. “Distorsi dari lambang penyembuh. Mereka menggunakan simbol hidup… untuk menyebar kematian.”

Tiba-tiba, Bastian mendekat ke sebuah peti di sudut. Ia membukanya perlahan—dan di dalamnya terbaring mayat seorang pria, membusuk, tapi wajahnya masih bisa dikenali.

“Dia… salah satu penghubung informasi. Seharusnya sudah dieksekusi dua tahun lalu karena pemberontakan,” gumam Bastian. “Tapi ternyata masih dipakai… sampai ia terlalu banyak bicara.”

Maxime menatap tubuh itu dalam-dalam, lalu berbalik pada Bastian. “Kirim semua bukti ke ruang penyelidikan pusat. Jangan tinggalkan satu serpih pun.”

“Baik, Yang Mulia.”

Maxime kembali berdiri di tengah ruangan. Kabut menyusup lewat retakan dinding, seolah mencoba menelan semua kebenaran yang telah terkuak.

“Siapa pun yang merencanakan ini…” ucap Maxime, nadanya dingin, “…akan kupastikan mereka mengerti, bahwa menyentuh istriku… sama saja menulis surat kematian mereka sendiri.”

——

Sementara itu, Vanessa duduk di meja kerja dengan beberapa dokumen kenegaraan yang belum sempat ia selesaikan. Saat itu, Sera datang membungkuk sopan sambil membawa baki perak.

“Yang Mulia, ada kiriman surat untuk Anda,” ucapnya.

Vanessa meletakkan penanya. “Dari siapa?”

“Dari Lady Selhurst dan beberapa nyonya agung istana. Mereka mengundang Anda untuk minum teh sore ini di Paviliun Ravellyn.”

Mata Vanessa menyipit pelan, membaca gulungan surat itu. Gaya bahasanya penuh sopan santun, tapi jelas menyiratkan: undangan itu lebih dari sekadar pertemuan santai. Ini adalah cara kaum bangsawan mengukur kekuatan, mencari celah, dan menyebar pengaruh.

“Vivienne yang dulu… pasti akan menolak mentah-mentah,” batin Vanessa sambil tersenyum samar. Ia tahu, Vivienne di masa lalu terkenal dingin, tertutup, dan sering menghindari interaksi sosial istana.

Namun dunia yang sedang ia hadapi sekarang adalah dunia politik. Dan untuk bertahan, ia butuh sekutu, relasi, dan kepercayaan—bukan hanya dari pria-pria kuat di dewan, tapi dari para wanita yang diam-diam menyusun pengaruh di balik tirai sutra dan cangkir teh.

Vanessa menegakkan tubuhnya.

“Sampaikan bahwa aku akan datang,” ucapnya tegas.

Sera tampak terkejut sejenak, sebelum akhirnya membungkuk dalam. “Baik, Yang Mulia.”

Begitu pelayan itu pergi, Vanessa berdiri perlahan dan menatap bayangannya di cermin besar di sisi ruangan. Sorot matanya tenang, tapi tegas.

“Jika mereka ingin menilai aku… maka biarlah mereka melihat sendiri siapa aku sekarang. Bukan Vivienne yang mereka kenal dahulu, tapi aku—Vanessa yang hidup di balik nama itu.”

——

Vanessa duduk di depan cermin panjang, rambutnya diurai lembut oleh tangan-tangan pelayan yang tengah menyisirnya. Di sampingnya, Sera berdiri sambil membuka satu per satu kotak berisi gaun formal pilihan.

“Kalau boleh jujur, Yang Mulia… ini pertama kalinya saya melihat Anda bersiap menghadiri acara sosial semacam itu,” ucap Sera, setengah berbisik, seolah masih belum percaya.

Vanessa terkekeh pelan. “Aku juga belum percaya. Tapi ada banyak hal yang harus kuperbaiki, Sera. Termasuk reputasiku di mata mereka.”

Sera mengangguk pelan, lalu mengangkat dua pilihan gaun berwarna biru safir dan emas pucat. “Kalau begitu, gaunnya harus menyampaikan pesan yang tepat. Yang biru… elegan dan tenang. Yang emas… lebih menonjol dan berani.”

Vanessa melirik keduanya lalu menunjuk yang biru. “Kita butuh elegan dulu. Kalau langsung menonjol, mereka akan curiga. Aku ingin mereka penasaran, bukan merasa terancam.”

Sera tersenyum. “Pilihan yang cerdas.”

Vanessa memutar tubuh sedikit, menatap Sera dari balik bahunya. “Sekarang, bantu aku memahami medan perang kecil itu. Siapa saja yang akan hadir?”

Sera langsung duduk, matanya tajam seperti penasihat veteran yang telah lama mengamati.

“Pertama, Lady Selhurst—tuan rumah. Usianya sekitar lima puluh, istri dari penasihat senior kerajaan. Terlihat ramah, tapi sangat konservatif. Ia tidak suka perubahan, dan Anda di masa lalu adalah simbol dari… kekacauan.”

Vanessa mengangguk. “Berarti harus berhati-hati dengan kata-kata saat bersamanya.”

“Benar,” sahut Sera. “Lalu ada Lady Armelle dari keluarga Lysandre. Cerdas, tajam, dan dikenal licin. Dia dulu sangat setuju dengan kedekatan Kaisar dan pelayan itu. Mungkin masih.”

Vanessa mengernyit. “Dekat dalam artian sekutu?”

“Lebih dari itu. Dia yang menyebarkan rumor bahwa Anda tidak layak mendampingi Kaisar.” Nada Sera menjadi dingin. “Jadi bisa dibilang, salah satu musuh utama Anda.”

Vanessa tak berkata apa-apa. Hanya menggenggam lengan kursinya lebih erat.

Sera melanjutkan, “Tapi tidak semuanya musuh. Lady Yseult dari keluarga Dorne cukup netral. Tidak suka drama, lebih peduli pada seni dan anak-anak. Ia hanya datang karena sopan santun.”

“Dan sekutuku?” tanya Vanessa.

Sera tersenyum tipis. “Sayangnya… jumlahnya tidak banyak. Tapi Lady Caliste—istri komandan pengawal timur—pernah Anda bantu secara pribadi dulu. Ia punya utang budi. Mungkin… dia bisa menjadi jembatan.”

Vanessa mengangguk pelan, lalu menarik napas panjang. “Jadi… medannya penuh jebakan halus dan senyum palsu.”

Sera terkekeh. “Sama seperti jamuan teh bangsawan pada umumnya, Yang Mulia.”

“Kalau begitu,” ujar Vanessa seraya berdiri, menatap gaunnya, “kita pastikan kali ini aku tidak hanya sekadar hadir—tapi memimpin percakapan.”

Sera menunduk hormat. “Dan saya akan pastikan Anda bersinar, Yang Mulia.”

——

Suara angin malam hanya terdengar lembut dari sela tirai sutra yang sedikit bergerak. Api perapian di sudut ruangan berpendar hangat, memberi cahaya temaram pada ruangan luas yang dipenuhi ukiran-ukiran emas. Di atas meja kecil dekat tempat tidur, selembar surat undangan terbuka, terbaca jelas lambang keluarga Selhurst di ujung atasnya.

“Jamuan minum teh?” tanya Maxime, menatap surat itu dengan alis sedikit terangkat.

Vanessa duduk di sisi ranjang, rambut panjangnya tergerai, gaun tidurnya sederhana namun anggun. “Lusa. Para nyonya bangsawan yang dulu sering kutolak mentah-mentah kini mengundang lagi.”

Maxime menoleh, menatapnya. “Kau ingin hadir?”

“Aku ingin meminta izinmu dulu,” ucap Vanessa sambil menatap wajah suaminya. “Aku tahu aku bebas memilih… tapi tetap saja aku ingin tahu pendapatmu.”

Maxime menghela napas pelan. Ia berjalan mendekat lalu duduk di samping Vanessa. Tangannya menyentuh lembut punggung tangan sang istri. “Semua keputusan ada di tanganmu. Jika kau nyaman, datanglah. Tapi kalau kau merasa itu hanya buang waktu, maka tak perlu memaksakan diri.”

Vanessa menatap api perapian sesaat sebelum menggeleng pelan. “Aku akan datang. Mereka sudah terlalu lama menganggapku angkuh, jahat, tak bisa bersosialisasi… Dan aku ingin membuktikan kalau mereka salah. Setidaknya… aku ingin menjaga nama baikku, agar tak terus-menerus dicemooh di balik punggung.”

Maxime menatapnya lama, lalu menarik tubuh Vanessa ke pelukannya. “Jangan terlalu keras pada dirimu sendiri,” bisiknya hangat. “Kau sudah jauh lebih baik dari apa pun yang mereka pikirkan. Dan aku yang akan membuktikannya… bahwa istri penguasa Aragon bukan wanita yang bisa dipandang rendah.”

Vanessa tersenyum kecil dalam pelukan itu. Saat Maxime mengecup pelipisnya dengan lembut, ia membalas dengan membelai pelan lengan suaminya.

“Aku bersyukur kau mempercayaiku,” gumamnya.

Beberapa detik berlalu dalam keheningan yang hangat sebelum Maxime bersuara, masih dengan nada lembut.

“Aku juga mendengar soal eksperimenmu,” katanya. “Tentang ramuan dari akar purnama dan daun leiryn… dan juga soal Tabib Alana yang membantumu.”

Vanessa terdiam. Matanya sedikit melebar karena terkejut.

“Kau tahu?” tanyanya hati-hati.

Maxime mengangguk perlahan. “Aku tidak mungkin tidak tahu aktivitas di kerajaan ini. Aku hanya… ingin tahu apa yang sedang kau kerjakan.”

Vanessa menarik napas dan duduk sedikit tegak. “Ramuan itu… masih dalam tahap awal. Tapi aku yakin, kalau berhasil, bisa digunakan untuk menyembuhkan luka dalam dan mungkin penyakit yang sulit disembuhkan. Aku ingin menyempurnakannya.”

Matanya menatap Maxime dengan tekad yang jernih. “Jika ramuan ini bisa membantu rakyat, aku akan membagikannya secara cuma-cuma. Anggap saja sebagai penebusan—untuk apa yang pernah dilakukan ayahku dulu. Setidaknya… aku ingin membuat nama Aurenhart tidak selalu diingat dengan ngeri.”

Maxime menatapnya, dan perlahan mengangkat tangannya untuk membelai pipi sang istri. “Kau… sungguh luar biasa.”

Ia kemudian menarik Vanessa dalam pelukan yang lebih erat. Pelukannya bukan hanya sebagai suami—tapi juga sebagai lelaki yang merasa bangga, terlindungi, dan mencintai dengan seluruh hatinya.

“Aku mencintaimu,” ucap Maxime pelan di dekat telinga Vanessa. “Bukan karena kau sempurna… tapi karena kau memilih untuk terus berubah, bukan demi orang lain, tapi demi dirimu sendiri.”

Vanessa menutup matanya dalam pelukan itu, membiarkan kehangatan suaminya meresap hingga ke dalam hatinya.

Maxime masih memeluknya erat saat ia menyadari Vanessa hanya diam. Tidak ada jawaban, tidak ada gumaman lembut… bahkan tidak ada gerakan kecil sekalipun. Hanya keheningan yang terasa manis namun juga… menyebalkan.

Alis Maxime mengerut pelan.

Ia menjauh sedikit, menatap wajah sang istri yang masih memejamkan mata dengan damai, seolah menikmati momen itu terlalu dalam.

“Istriku…” gumamnya.

Vanessa membuka satu matanya, menoleh padanya dengan senyum kecil yang mengambang. “Hm?”

“Aku baru saja bilang aku mencintaimu,” Maxime mengingatkan dengan nada yang pura-pura serius. “Dan kau… diam saja. Seolah itu hanya angin lalu.”

Vanessa tertawa kecil, tapi berusaha menahannya agar tidak terlalu jelas.

Maxime memutar matanya. “Jangan bilang kau tidak mendengarnya. Itu penghinaan paling tenang yang pernah kuterima.”

“Aku tidak tidur,” jawab Vanessa akhirnya, nadanya menggoda. “Aku hanya… menikmati betapa hangatnya pelukan Kaisar Aragon. Kupikir itu sudah cukup jadi balasan.”

Maxime mengerjapkan matanya. “Balasan? Itu bahkan belum sepadan.”

Ia lalu mendekat, hingga hidung mereka hampir bersentuhan. “Jadi katakan. Sekarang. Atau aku akan… menyiksamu.”

Vanessa mengangkat alis. “Menyiksaku bagaimana?”

Maxime menyeringai. “Dengan menciumimu sampai kau lupa caranya bicara.”

Vanessa terkekeh. “Ancaman yang manis.”

“Dan efektif.” Maxime langsung mencondongkan diri, mencium ujung hidung mancung Vivienne dengan sengaja perlahan—lalu pipinya, keningnya, hingga Vanessa tertawa pelan dan mendorong dada suaminya.

“Baiklah, hentikan… Aku mencintaimu juga, dasar pria manja.”

Maxime menghentikan aksinya dan mengangkat dagunya tinggi-tinggi, berpura-pura bangga. “Itu dia. Sudah kuduga. Tapi tetap saja, pengakuan ini akan kuhitung sebagai milik pertama. Tak bisa dibatalkan.”

Vanessa memutar mata. “Dasar.”

Lalu ia tertawa pelan, dan Maxime menatapnya seolah tak ingin mengedip sama sekali.

Dalam kesederhanaan malam itu, mereka saling menertawakan cinta mereka sendiri—sebuah kisah yang dulu dibangun dari kesalahpahaman dan luka, tapi kini tumbuh perlahan menjadi sesuatu yang lebih utuh.

1
ririn nurima
suka banget ceritanya
Melmel
thanks thor crazy upnya. pembaca hanya baca dengan menit, sedng yg ngetik siang malam mikir setiap katanya.. kerenn 🫶
Melmel
keren thor 👍
Eka Putri Handayani
pokoknya harus bertahan jd wanita yg kuat jngn percaya muka medusa yg sok polos itu
Eka Putri Handayani
geramnya aku sm pelayan gak tau diri ini, ayo vanessa km bisa jd lebih kuat dan berani
Eka Putri Handayani
jadikan viviane gadis yg kuat yg gak takut apapun klo bisa dia jg bisa bela diri
Murni Dewita
tetap semangat dan double up thor
Murni Dewita
lanjut
Murni Dewita
💪💪💪💪
double up thor
Murni Dewita
lanjut
shaqila.A
kak, lanjut yukk. semangat up nyaaa. aku siap marathon💃💃
Murni Dewita
mexsim terlalu egois
rohmatulrohim
critanya menarik di buat pnasan dg kelanjutannya.. yg semangat up nya thor.. moga sampai tamat ya karyanya dan bisa buat karya yg lain
Murni Dewita
tetep semangat thor
Murni Dewita
ratu di lawan ya k o lah
Murni Dewita
tetap semangat jangan lupa double up thor
Murni Dewita
dasar tak tau diri
Murni Dewita
pelayanan tak tau diri
ya udah cerai aja vanesa
Murni Dewita
double up thor
Murni Dewita
apakah vanesa tidak memiliki ruang dimensi thir
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!