Dikhianati oleh suami dan adiknya sendiri, Putri Wei Lian menyaksikan keluarganya dihukum mati demi ambisi kekuasaan. Di saat nyawanya direnggut, ia berdoa pada langit—dan mukjizat terjadi. Ia terbangun sebulan sebelum perjodohan maut itu terjadi. Dengan tekad membara, Wei Lian berjuang membatalkan takdir lamanya dan menghancurkan mereka yang menghancurkannya. Tanpa ia tahu, seorang pria misterius yang menyamar sebagai rakyat biasa tengah mengawasinya—seorang kaisar yang hanya menginginkan satu hati. Saat dendam dan cinta bersilangan, akankah takdir berubah?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon inda, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 26
Kabut pagi belum sepenuhnya tersibak, namun suara langkah kaki kuda telah menggema dari halaman belakang kediaman Wei Lian. Di sinilah pasukan kecil pilihan, sebanyak dua puluh orang, tengah bersiap melakukan perjalanan ke utara. Mereka tidak memakai panji kekaisaran, tidak juga membawa simbol Hanbei. Mereka hanya memakai warna kelabu—warna bayangan.
Mo Yichen dan Wei Lian memimpin sendiri pasukan itu.
Yan’er berdiri di samping Wei Lian, mengenakan baju tempur ringan, wajahnya serius namun matanya tak kehilangan sinarnya yang tajam.
Zhao Jin memeriksa perbekalan terakhir. “Jika laporan ini benar, mereka punya kekuatan cukup untuk meruntuhkan dua kota dalam semalam.”
Ah Rui, sambil mengikat pelana kuda, menambahkan dengan suara ringan, “Kalau begitu, kita pastikan mereka tak bisa tidur tenang walau satu malam pun.”
Wei Lian berdiri di depan mereka semua. “Ini bukan perang terbuka. Kita akan menyusup, menyelidiki, dan bila mungkin… memutus jalur logistik mereka sebelum mereka bergerak.”
Mo Yichen menatap semua pasukan satu per satu. “Misi ini bukan untuk kemenangan besar. Tapi untuk mencegah kehancuran besar.”
Ia menatap langit.
“Karena kalau kita tidak melangkah sekarang… mereka akan datang membawa api dan abu.”
—
Malam pertama perjalanan, dekat Sungai Jiuhua
Mereka berhenti di pinggir hutan pinus yang sepi. Api kecil dinyalakan di bawah naungan batu besar.
Wei Lian duduk di samping Mo Yichen. Ia membuka peta kuno yang mereka dapat dari markas tua Hanbei. Ada jalur rahasia yang membentang menuju benteng tua milik Klan Liao di Utara—tempat yang kini kembali hidup dengan aktivitas mencurigakan.
“Menurutmu, kenapa mereka baru bergerak sekarang?” tanya Wei Lian pelan.
Mo Yichen menatap api. “Mungkin karena mereka menunggu momen ketika dua negeri terbesar saling melemahkan.”
“Dan kita nyaris masuk perang saudara,” gumam Wei Lian.
Ia menatap tangannya sendiri.
“Aku pikir setelah membalas dendam, semuanya akan berakhir. Tapi ternyata bukan itu…”
Mo Yichen menoleh.
“Balas dendam hanya membuka pintu. Tapi apa yang kita pilih setelahnya, itu yang menentukan apakah kita hidup... atau hanya bertahan.”
Wei Lian tertawa lirih.
“Kau mulai bicara seperti tabib tua dari gunung barat.”
Mo Yichen tersenyum. “Mungkin aku belajar dari wanita yang keras kepala, cerdas, dan suka memerintah.”
Wei Lian menyikutnya pelan.
—
Dua hari kemudian, desa tua di perbatasan Hanbei
Pasukan kecil itu sampai di desa Yanzhou yang telah ditinggalkan selama lima tahun akibat kekeringan. Namun saat malam tiba, terlihat bayangan-bayangan bergerak. Obor dinyalakan. Dan terdengar suara besi ditempa.
Zhao Jin mengintai dari atas bukit. “Mereka membangun kembali benteng tua. Tapi tidak terbuka. Mereka menyembunyikan aktivitasnya.”
Yan’er mengangguk. “Pasukan bayangan. Mereka melatih prajurit di bawah tanah.”
Mo Yichen memerintahkan semua tim mundur ke jarak aman.
“Kita butuh masuk dan lihat siapa yang memimpin dari dalam. Kalau benar dugaan kita… ini bukan hanya sisa-sisa Klan Liao. Tapi juga jaringan rahasia dari pengkhianat lama istana Hanbei dan Luoyang.”
Wei Lian membuka gulungan kecil.
“Aku dan Yan’er akan masuk malam ini. Kita menyamar sebagai pedagang teh dari utara. Rute lama masih bisa dilewati lewat celah timur.”
Mo Yichen hendak menolak. “Terlalu berisiko untukmu.”
Wei Lian menatapnya serius. “Justru karena itu aku harus yang masuk. Kalau aku bisa melihat wajah musuh... aku bisa memotong jalurnya lebih cepat.”
Mo Yichen diam sejenak, lalu menyerah.
“Tapi Yan’er tak boleh meninggalkanmu. Dan kau harus bawa ini.” Ia menyodorkan cincin giok emas berbentuk naga yang bisa menyulut sinyal suar khusus jika dalam bahaya.
Wei Lian memegangnya erat. “Baik. Jika aku tidak kembali sebelum fajar... lanjutkan rencana cadangan.”
Mo Yichen menggenggam tangannya sejenak.
“Jangan mati.”
Wei Lian tersenyum.
“Aku sudah pernah melakukannya. Tidak akan kuulangi lagi.”
—
Malam itu, Wei Lian dan Yan’er menyelinap ke dalam desa
Mereka berhasil masuk melalui celah batu besar dan menyamar sebagai dua wanita pedagang rempah dari wilayah utara. Mereka bahkan membawa bungkusan daun teh dan lilin aromatik sebagai pengalih.
Tapi begitu memasuki aula kayu besar di tengah desa, mereka melihat sesuatu yang tak terduga:
Lukisan besar Kaisar lama Hanbei—ayah Mo Yichen—terpampang.
Di bawahnya, seseorang berdiri memunggungi mereka. Tubuhnya tinggi, berjubah hitam dengan bordir merah darah. Suaranya rendah dan menyeramkan.
“Aku tahu kalian datang.”
Yan’er langsung mencabut belati, tapi tiga pria bertopeng hitam muncul dan mengepung mereka.
Wei Lian mundur selangkah. “Siapa kau?”
Pria itu berbalik perlahan… dan saat wajahnya terlihat, mata Wei Lian membelalak.
Karena pria itu adalah Jenderal tua Hanbei yang dulu dipercaya sebagai pelindung keluarga kerajaan—dan telah lama dinyatakan gugur dalam perang besar.
bersambung